KPAI soal Kasus Penculikan dan Penjualan Anak: Berawal dari Modus Adopsi, Tawarannya Halus dan Baik
Selasa, 25 November 2025 | 18:15 WIB
Jakarta, NU Online
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menyampaikan bahwa kasus penculikan dan perdagangan anak di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Ia menyebut praktik penjualan bayi dan anak kini dibungkus dengan modus yang tampak halus melalui tawaran adopsi, namun pada kenyataannya membuka ruang luas bagi eksploitasi.
“Jadi kasus penculikan anak dan bayi lalu mereka dijual, penjualan bayi, perdagangan anak itu selalu dikaitkan dengan adopsi. Jadi kalimatnya atau tawarannya itu sangat halus dan baik. Tapi ironisnya, karena ilegal, ternyata membuka sekian banyak eksploitasi,” ujarnya kepada NU Online pada Senin (24/11/2025).
Ai mencontohkan kasus Bilqis, balita yang diculik di Sulawesi pada awal November. Ia diperdagangkan lintas pulau dengan harga yang terus meningkat, mulai dari Rp3 juta, Rp15 juta, Rp30 juta, Rp80 juta, hingga Rp85 juta.
“Itu kan jelas akumulasi duitnya, sehingga eksploitasi ekonominya juga jelas,” katanya.
KPAI juga mengawasi kasus penjualan bayi ke luar negeri, termasuk ke Singapura. Dalam pengungkapan terbaru di Bandung, polisi mencatat 18 anak telah dibawa ke Singapura, sementara 8 anak berhasil dicegah sebelum diberangkatkan. Harga jualnya mencapai Rp245 juta per anak.
“Pertanyaan kita yang waras ini, apakah untuk adopsi itu ada harga yang harus dibayar?,” ujar Ai.
Ia menuturkan bahwa sebagian pelaku ternyata adalah orang tua kandung, sementara lainnya merekrut perempuan hamil untuk kemudian menjual bayinya. Dari temuan KPAI di Bali, pada tahun 2024 tercatat sekitar 12.000 ibu hamil, yang sebagian diduga menjadi target sindikat adopsi ilegal.
Ai memperingatkan bahwa kejahatan ini tidak hanya terkait perdagangan orang, tetapi juga berpotensi bersinggungan dengan kejahatan kesehatan seperti transplantasi organ ilegal atau uji coba medis pada anak.
Menurutnya, pola kejahatan kini semakin rapi dan sistematis, termasuk memanfaatkan percepatan transaksi dan komunikasi melalui platform digital.
“Semua dilakukan saat ini percepatan melalui online, ini ancaman bagi kita semua,” ujar Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU) itu.
Ia menegaskan bahwa penculikan tidak boleh dipandang sebagai kasus sederhana. “seperti kasus Malika mungkin hanya disuruh ngamen, hanya disuruh memulung sampah, tapi situasi kemungkinan-kemungkinan ini yang membuat kita harusnya lebih memiliki awareness,” ujarnya.
Ai menghimbau keluarga harus memperketat pengawasan kepada anak, terutama terhadap orang asing yang tiba-tiba bersikap sangat baik kepada anaknya.
“Itu tidak boleh longgar, karena ini bisa disalahgunakan bentuk grooming, bujuk rayu untuk anak,” ujarnya.
Ia juga mendesak pemerintah memperkuat fasilitas keamanan publik seperti CCTV dan meningkatkan kapasitas SDM di ruang bermain anak, Di sekolah, perlu adanya infrastruktur dasar seperti CCTV, zebra cross, dan SOP antar jemput masih dinilai belum memadai.
Ai juga mendesak kepolisian untuk meningkatkan respons cepat terhadap laporan anak hilang. “Jangan nunggu seminggu dua minggu tiga minggu sampai sebulan dahulu baru dicari anaknya. Polisi seharusnya bergerak lebih cepat lagi,” tegasnya.