Jakarta, NU Online
Kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual di lingkungan kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat semakin pelik. Terbaru, pelaku pelecehan pegawai KPI justru melaporkan korban ke Polisi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Hal tersebut direspons tegas oleh Dosen Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Muhtar Said, yang menurutnya KPI sebagai lembaga publik dinilai bermasalah dalam penanganan kasus tersebut.
"Sebagai lembaga publik, ini membuktikan ada yang salah dalam mengurus organisasi KPI," kata Said kepada NU Online, Jumat (10/9/2021) malam.
Dengan tegas, ia menyarankan seluruh Komisioner KPI untuk mengundurkan diri. "Seharusnya pimpinannya malu dan sebaiknya semua Komisioner mengundurkan diri," tegasnya.
Hal itu dinyatakan Said, karena kasus tersebut mengandung unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam dugaan perundungan dan pelecehan seksual yang diungkap MS, pegawai di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Kasus yang sangat besar seharusnya membutuhkan tindakan yang luar biasa (extraordinary), bukan malah menggunakan tindakan yang biasa," ujar pengamat hukum administrasi negara Unusia Jakarta itu.
Kendati demikian, ia menerangkan bahwa pelaporan balik pelaku pelecehan merupakan hak yang dijamin Undang-undang.
"Dalam hukum pidana mengenal asas praduga tak bersalah, maka sebelum adanya putusan pengadilan yang mengatakan bersalah, kita harus menghormati hak-hak terduga pelaku," terangnya.
Namun yang disayangkan, tambah dia, adalah langkah atau tindakan KPI dalam menangani perkara ini. Apalagi sebelumnya dikabarkan sudah ada beberapa tindakan, salah satunya memindahkan tempat kerja korban.
"Nah memindahkan korban ke tempat lain adalah hal yang keliru karena yang ditindak adalah si korban, seharusnya yang ditindak adalah terduga pelaku," sambung Dosen yang juga seorang Advokat ini.
Mengutip Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 10 ditegaskan bahwa korban seharusnya mendapatkan perlindungan.
Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik, tulis Ayat 1 Pasal 10 UU tersebut.
Sementara di Ayat 2, juga ditegaskan polisi tidak boleh langsung mengusut pelaporan balik tersebut. Pengusutan baru bisa dilakukan setelah ada putusan berkekuatan tetap dari laporan korban.
Dalam hal itu, terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap, bunyi Ayat 2.
Untuk diketahui kasus ini mencuat setelah adanya pesan berantai, yang menyebut kalau MS mengalami pelecehan sepanjang 2012-2014.
"Selama 2 tahun saya di-bully dan dipaksa untuk membelikan makan bagi rekan kerja senior. Mereka bersama sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya. Padahal kedudukan kami setara dan bukan tugas saya untuk melayani rekan kerja. Tapi mereka secara bersama sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh." tulis MS dalam surat terbukanya pada Rabu (1/9/2021).
MS yang bekerja di kantor KPI Pusat sejak 2011 juga mengaku dipukul, dimaki dan direndahkan terus menerus dan berulang-ulang sehingga merasa tertekan, stres dan sakit akibat persoalan ini. Atas hal tersebut, kasus ini pun telah ditangani Polres Metro Jakarta Pusat.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Fathoni Ahmad