Krisis Iklim Global, Ini Sederet Seruan Organisasi Masyarakat Sipil untuk COP28
Ahad, 3 Desember 2023 | 09:00 WIB
Jakarta, NU Online
Perubahan iklim sudah menjadi krisis global. Sekjen PBB menyebut dunia telah memasuki era pendidihan global. Dampak krisis iklim bahkan sudah sangat nyata dirasakan masyarakat Indonesia.
Sebut saja meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana banjir, topan, badai, gelombang tinggi, kekeringan, dan cuaca ekstrim lainnya. Termasuk memburuknya karhutla yang telah melalap 1 juta ha lahan di 2023, gagal panen, menyebarnya penyakit dan pandemi baru, kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut. Hingga hilangnya pulau-pulau dan daerah di Indonesia.
Sebagai negara kepulauan di wilayah tropis, kerentanan Indonesia terhadap dampak krisis iklim adalah yang ke-3 tertinggi di dunia (Bank Dunia, 2021). Jika krisis iklim memburuk, perekonomian (GDP) Indonesia diperkirakan akan tergerus hingga 7% pada 2100.
Untuk menghindarkan bahaya krisis iklim, dunia membutuhkan aksi iklim segera. Oleh karenanya, dalam momen Conference of The Parties 28 (COP 28) di Expo City Dubai, United Emirat Arab pada 30 November hingga 12 Desember ini, masyarakat sipil Indonesia dalam keterangan resmi yang diterima NU Online, Sabtu (2/12/2023) menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan dunia untuk mengeluarkan komitmen politik dan mandat yang tegas untuk meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.
Berikut 7 hal yang harus jadi keluaran COP28.
- Asistensi bagi negara-negara dan komunitas yang paling terdampak, serta memiliki kapasitas terendah dalam merespon krisis iklim.
- Perkuat komitmen iklim sesuai dengan hasil Global Stocktake.
- Adopsi target global untuk phasing out all fossil fuels.
- Adopsi target global untuk menghentikan kerusakan dan memulihkan seluruh ekosistem alam termasuk hutan, pesisir, mangrove, dan laut pada 2030.
- Perubahan sistemik yang radikal dalam hal produksi pangan, energi, penggunaan hutan dan lahan, dan pembangunan.
- Rekognisi peran dan hak masyarakat adat dan lokal serta solusi lokal perubahan iklim.
- Mengakui gagalnya kepemimpinan negara-negara kaya dalam mencegah kerusakan bumi.
Seruan untuk delegasi Republik Indonesia
- Kembali ke lapangan: hutan alam masih terus hilang, pulau-pulau kecil terancam, transisi energi yang tidak berkeadilan justru merusak lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat, perusakan pesisir, perairan, terumbu karang, mangrove terus terjadi sehingga perekonomian masyarakat lokal hilang.
- Data masyarakat sipil mencatat, selama periode 2001-2022 telah terjadi kehilangan 6,5 juta hektare tutupan hutan alam, termasuk mangrove. Seluas 176 ribu hektare di antaranya hilang dalam tiga tahun terakhir (Mapbiomas, 2023).
- Menindaklanjuti dan memasukkan pertimbangan evaluasi GST untuk memperkuat ambisi Second NDC Indonesia sesuai dengan pathway 1,5C dengan implementasi yang lebih transparan, akuntabel, inklusif, dan partisipatif.
- Selaraskan seluruh rencana, kebijakan, dan proyek pembangunan dengan upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca. Berikut peningkatan ketahanan iklim secara berkeadilan, serta koreksi mendasar terhadap sistem dan model ekonomi yang tinggi karbon.
- Adaptasi dan mitigasi tidak boleh dilakukan secara terpisah, tapi harus selalu bersama-sama agar aksi mitigasi tidak mengurangi kapasitas adaptif.
- Jalankan transisi energi yang adil dan inklusif, baik dari kebijakan yang mendukung ekosistem hulu ke hilir, pendanaan, terobosan teknologi, pengembangan sumber daya manusia, partisipasi, kondisi pemungkin, dan akses sumber daya. Serta dukung upaya transisi energi yang ditentukan di tingkat lokal dan komunitas.
- Lindungi dan pulihkan ekosistem alam tidak terbatas pada hutan, gambut, ekosistem pesisir, dan laut. Namun meliputi kekayaan hayati di dalamnya dengan menghentikan alih guna lahan yang menurunkan kapasitas masyarakat dalam beradaptasi, memicu kepunahan satwa secara cepat dan tidak sesuai dengan upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca.
- Bersiap dan mengantisipasi bencana iklim yang akan semakin sering terjadi dengan mendorong adaptasi yang dipimpin dan sesuai konteks lokal. Serta menyiapkan mekanisme penyaluran dana loss and damage yang bisa sampai di tingkat lokal.
- Akui dan lindungi hak-hak masyarakat adat, petani, dan masyarakat lokal termasuk hak atas tanah, serta hak-hak kelompok rentan sebagai prakondisi aksi adaptasi dan mitigasi yang efektif.
- Lindungi hak-hak seluruh warga melalui uji tuntas hak asasi manusia dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi.
- Hentikan segala bentuk ancaman dan intimidasi kepada setiap warga yang berupaya untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat untuk generasi kini dan mendatang.
- Alihkan aliran pendanaan sektor-sektor yang intensif emisi ke sektor-sektor yang berfokus pada pemulihan dan restorasi lingkungan.
- Pemerintahan baru harus lebih tegas dalam mengantisipasi risiko bencana iklim dan menyusun rencana aksi iklim yang lebih ambisius dan terukur hingga 2030.
- Memastikan setiap solusi yang diajukan berdampak nyata pada penurunan emisi dan menahan kenaikan temperatur.
Adapun seruan ini didukung oleh 19 organisasi masyarakat sipil Indonesia, yakni:
- Yayasan Auriga Nusantara
- Perkumpulan HuMa
- Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial
- Yayasan MADANI Berkelanjutan
- Perkumpulan Mandala Katalika Indonesia (Manka)
- Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL)
- Institute for Essential Services Reform (IESR)
- Yayasan EcoNusa
- Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
- Yayasan Intsia di Tanah Papua
- Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA)
- Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
- Forest Watch Indonesia (FWI)
- Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
- Working Group ICCAs Indonesia
- Trend Asia
- WALHI Nasional
- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
- Koaksi Indonesia