Nasional

Laporan Celios: Kenaikan PPN 12% Berpotensi Turunkan Daya Beli Masyarakat dan Perlambat Ekonomi

Kamis, 19 Desember 2024 | 09:00 WIB

Laporan Celios: Kenaikan PPN 12% Berpotensi Turunkan Daya Beli Masyarakat dan Perlambat Ekonomi

Ilustrasi penurunan ekonomi. (Ilustrasi: NU Online)

Jakarta, NU Online

Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan dampak kenaikan Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen terhadap perekonomian Indonesia. Kenaikan PPN berpotensi memperberat daya beli masyarakat, meningkatkan inflasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. 


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan III 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91 persen secara tahunan dan bahkan menurun sebesar -0,48 persen secara triwulanan. Selain itu, deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut Mei-September 2024 serta penurunan omzet UMKM hingga 60 persen menurut laporan Bank BRI menandakan lemahnya kondisi ekonomi masyarakat. 


"Kenaikan tarif PPN hanya akan memperburuk situasi ini," tulis laporan Celios [PDF] bertajuk PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah, dikutip NU Online Rabu (18/12/2024).


Meski pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan untuk menutupi defisit anggaran, ada opsi lain seperti optimalisasi penerimaan pajak dari sektor tambang ilegal yang lebih besar potensinya. Sektor sawit misalnya, memiliki potensi penerimaan pajak yang dapat mencapai Rp300 triliun, namun upaya ini belum menjadi prioritas dibandingkan dengan menaikkan tarif PPN.


Saat ini, tarif PPN Indonesia yang sebesar 11 persen sudah lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN seperti Malaysia (8 persen) dan Singapura (9 persen). Dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, Indonesia akan sejajar dengan Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan ini.


Kenaikan tarif PPN diprediksi akan menyebabkan inflasi yang lebih tinggi. Celios mencatat bahwa pada tahun 2022 saat PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen, inflasi Indonesia meningkat tajam dari 1,56 persen menjadi 4,21 persen. Untuk tahun 2025, saat tarif PPN menjadi 12 persen, inflasi diperkirakan bisa mencapai 4,11 persen yang akan berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga.


"Ketika inflasi meningkat, konsumsi rumah tangga juga akan terkoreksi," tulis Celios.


Kenaikan tarif PPN juga dapat menyebabkan fenomena pre-emptive inflation, di mana pelaku usaha mulai menyesuaikan harga barang dan jasa sebelum tarif baru diterapkan guna mempertahankan margin keuntungan. Hal ini diperkirakan akan meningkatkan inflasi lebih tinggi terutama pada akhir tahun 2024 hingga kuartal I 2025.


"Selain karena momentum seasonal libur natal tahun baru, terindikasi akibat pemberlakuan tarif PPN 12 persen. Fenomena pre-emptives inflation akan membuat proyeksi inflasi jauh lebih tinggi pada akhir tahun 2024," tulis laporan tersebut.


Berdasarkan simulasi Celios, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan menyebabkan penurunan output ekonomi dan PDB. Dengan tarif PPN 12 persen, kontribusi terhadap PDB Indonesia diperkirakan bisa berkurang hingga Rp65,33 triliun. Begitu pula dengan konsumsi rumah tangga, yang diproyeksikan akan menurun signifikan hingga mencapai Rp40,68 triliun.


Selain itu, sektor ekspor juga akan terkena dampak negatif meskipun pengaruhnya relatif lebih kecil. Biaya produksi barang ekspor yang lebih tinggi akibat kenaikan PPN akan menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar global.


Dalam skenario tarif PPN 12 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan melambat menjadi 4,03 persen, jauh di bawah proyeksi lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1 persen.


Kenaikan tarif PPN juga akan berdampak pada pendapatan masyarakat, dengan penurunan yang signifikan. Pada tarif PPN 12 persen, pendapatan masyarakat diperkirakan akan menurun hingga Rp64,81 triliun, sementara surplus usaha akan berkurang sebesar Rp41,41 triliun. Penurunan ini akan memberikan tekanan besar pada daya beli masyarakat dan sektor usaha, yang dapat menyebabkan peningkatan pengangguran.


"Ketika PPN meningkat, harga barang dan jasa naik, yang mengurangi jumlah konsumsi masyarakat. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan subsidi atau insentif untuk mendukung daya beli, dampaknya dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi," jelasnya.


Meskipun pemerintah berencana memberikan bantuan tunai dan subsidi tambahan bagi masyarakat menengah ke bawah, Celios menilai kebijakan ini berisiko tinggi. Bantuan yang diberikan sementara waktu belum tentu dapat mengimbangi dampak jangka panjang dari kenaikan tarif PPN. Sebagai solusi, pemerintah disarankan untuk mempertimbangkan kebijakan yang lebih hati-hati dan mengoptimalkan potensi sektor pajak yang lebih besar.


"Apabila bantuan diberikan 2-3 bulan kemudian tarif PPN tetap naik menjadi 12 persen maka dampak ke ekonomi tetap negatif. Bantuan hanya bersifat temporer sementara kenaikan tarif PPN 12 perssn akan berimbas pada jangka panjang," tulis Celios dalam laporannya.