Lora Ismael Ajak Masyarakat Teladani Kearifan Ulama dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat
Jumat, 18 Agustus 2023 | 08:00 WIB
Lora Muhammad Ismael Al Kholilie, ulama muda dari Madura keturunan Syaikhuna Khalil Bangkalan di Ma'had Aly Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)
Bireuen, NU Online
Perbedaan pandangan di antara para ulama atas satu hal kerap terjadi. Ia memiliki pendapat yang berselisih karena didasari ilmu pengetahuan yang sama-sama kuat. Menariknya, alih-alih saling menyerang dan berkata kasar, ulama-ulama itu justru tetap saling menghormati dan tidak baperan. Karena hakikatnya perbedaan merupakan rahmat dan keistimewaan yang Allah berikan kepada umatnya.
Demikian di antara poin penting yang disampaikan Lora Muhammad Ismael Al Kholilie, ulama muda dari Madura keturunan Syaikhuna Khalil Bangkalan di Ma'had Aly Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga.
Ia mengajak kepada masyarakat untuk meneladani sikap arif dari para ulama saat terjadi perbedaan pendapat. Sikap bijak atau arif itu bisa diwujudkan di antaranya dengan memperkaya wawasan dan banyak membaca. Dalam hal ini, Lora bercerita tentang sikap dua tokoh terkemuka, KH M Hasyim Asy'ari dan KH Faqih Maskumambang tentang perbedaan pendapat di antara mereka.
"KH Hasyim Asy'ari dan Faqih Maskumambang memiliki perbedaan pandangan tentang hukum memukul kentongan pada saat mulai masuk waktu shalat. Kentongan ini hampir sama dengan bedug, tapi ukuran lebih kecil dan agak panjang," ujarnya, Senin (14/8/2023).
Sebagaimana kebiasaannya menurut Lora Muhammad para Muhaddis, Kiai M Hasyim Asy'ari memiliki pandangan hukum yang lebih ketat dan ihtiyath, sehingga beliau berpandangan bahwa kentongan hukumnya haram. Sementara dalam pandangan Kiai Faqih Maskumambang, kentongan boleh-boleh saja digunakan, sama halnya seperti bedug.
"Pada suatu hari, Kiai Hasyim Asy'ari mengumpulkan para ulama di Jombang. Ketokohan dan keilmuan beliau waktu sampai pada tingkatan jika beliau mengucapkan A, maka semua ulama yang hadir di sana akan mengikutinya," paparnya.
lebih lanjut, Lora menambahkan, sikap yang beliau tunjukkan waktu itu saat membahas hukum kentongan adalah selain mengemukakan pendapatnya pribadi, beliau juga membaca pendapat Kiai Faqih Maskumambang dan berkata kepada para pendengar, bahwa "ini ada dua pendapat, kalian boleh ikut mana saja, karena masing-masing ada dalilnya. Adapun saya pribadi, saya tidak akan pernah menggunakan kentongan".
"Perbedaan kedua ulama ini sangat sengit, sampai-sampai Kiai Hasyim Asy'ari menulis kitab yang berjudul Risalah Al-Jasus fii Bayan Hukum al-Naaqus, yang menegaskan posisinya sebagai pihak yang mengharamkan naqus (kentongan). Kitab ini kemudian direspons dengan kitab balasan oleh Kiai Faqih Maskumambang dengan judul yang diksinya bisa dibilang sangat tajam, Hazzu al-Ruus fii Radd al-Jasus 'an Tahrim al-Naqus. Hazzu al-Ruus ini kalau terjemah Indonesia kira-kira bahasanya "Menggoyangkan (tempeleng) kepala", penolakan atas kitab Al-Jasus yang mengharamkan naqus," paparnya.
Meski dalam ranah diskursus keilmuan, Lora menjelaskan bahwa kedua ulama ini sangat keras, tetapi dalam sikap saling menghormati, mereka menunjukkan keteladanan yang luar biasa. Sebagaimana Kiai Hasyim Asy'ari yang tidak hanya mengemukakan pandangannya di hadapan ulama Jombang.
"Saat KH Hasyim Asy'ari pada suatu waktu berkunjung ke Gresik dan kabar itu diketahui oleh Kiai Faqih Maskumambang, sehari sebelum kedatangan Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Faqih Maskumambang menginstruksikan kepada pengurus masjid dan mushala di seputaran tempatnya untuk menurunkan semua kentongan, demi untuk menghormati Kiay Hasyim Asy'ari," pungkasnya.
Lora Ismael menyampaikan, sikap kedua ulama itu pada khilaf yang mu'tabar, yaitu perbedaan pendapat yang sama-sama berlandaskan dalil dan memiliki potensi untuk benar. "Ada perbedaan yang perlu ditempatkan pada ranah khilaf yang perlu dihormati, tetapi ada juga perbedaan yang harus diluruskan agar umat selamat dari berbegai distorsi," ulasnya