Nasional

LP3ES: Ruang Digital Indonesia Dikooptasi Buzzer dan Pasukan Siber

Kamis, 9 Oktober 2025 | 18:00 WIB

LP3ES: Ruang Digital Indonesia Dikooptasi Buzzer dan Pasukan Siber

Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Bangkit A. Wiryawan (pegang mic). (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online

 

Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Bangkit A. Wiryawan menilai ruang digital Indonesia kini tidak lagi bebas dan netral.

 

Menurutnya, demokrasi digital tengah dikooptasi oleh pasukan siber dan operasi pengaruh yang bekerja secara sistematis untuk mengendalikan opini publik dan melemahkan partisipasi masyarakat sipil.

 

“Kita sedang menghadapi apa yang disebut operasi pengaruh, di mana aktor-aktor politik maupun aparat negara menggunakan buzzer dan pasukan siber untuk mengatur percakapan publik,” ujarnya dalam forum The Role of Civil Society in Building a Democratic Digital Ecosystem di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

 

Bangkit memaparkan hasil riset LP3ES yang menemukan sedikitnya 52 kelompok pasukan siber (cyber troops) aktif beroperasi di ruang digital Indonesia. Mereka terdiri dari berbagai latar belakang, mulai dari simpatisan partai politik hingga aparatur negara.

 

“Satu operator bisa mengendalikan hingga dua ratus akun anonim. Mereka bisa memanipulasi percakapan publik, memviralkan narasi tertentu, bahkan menyerang individu atau kelompok yang berbeda pandangan,” jelasnya.

 

Menurut Bangkit, pola ini menunjukkan bahwa ruang digital tidak lagi menjadi arena bebas bagi demokrasi, melainkan arena pertarungan kekuasaan yang terorganisir.

 

“Ruang publik kita kehilangan sifat deliberatifnya. Demokrasi digital berubah menjadi arena pengendalian persepsi,” tambahnya.

 

Bangkit menegaskan bahwa perkembangan ruang digital di Indonesia tengah berada di persimpangan antara kebebasan dan kendali.

 

“Kalau situasi ini dibiarkan, demokrasi tanpa kebenaran akan menjadi ilusi. Dan itu sedang terjadi di ruang digital kita hari ini,” ungkapnya.

 

Ia menilai, operasi pengaruh bukan hanya merusak kebebasan berekspresi, tetapi juga menghancurkan fondasi kepercayaan publik terhadap kebenaran informasi. Akibatnya, masyarakat menjadi mudah terpolarisasi dan kehilangan kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang beredar.

 

Bangkit menekankan pentingnya peran masyarakat sipil, akademisi, dan media dalam menjaga ruang digital agar tetap berpihak pada nilai demokrasi.

 

“Kita tidak boleh menyerahkan ruang digital begitu saja pada operasi pengaruh. Masyarakat sipil harus hadir, melakukan pengawasan, dan membangun ekosistem digital yang berkeadaban,” tegasnya.

 

Ia mendorong kolaborasi antara organisasi masyarakat sipil, media independen, dan lembaga pendidikan untuk memperkuat literasi digital kritis, khususnya bagi generasi muda.

 

Menjaga Demokrasi di Era Algoritma

Menurut Bangkit, tantangan utama demokrasi di era digital bukan lagi pada keterbukaan informasi, tetapi pada kebenaran dan integritas data.

 

“Pertarungan di ruang digital bukan hanya soal teknologi, melainkan soal masa depan demokrasi kita. Apakah kita akan membiarkan ruang digital dikuasai oleh algoritma dan propaganda, atau kita rebut kembali untuk kepentingan publik,” ujarnya.

 

Forum ini turut dihadiri oleh perwakilan masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga media yang sepakat pentingnya membangun ruang digital yang demokratis, inklusif, dan berkeadaban.