Nasional

LPBI PBNU Nilai Banjir Bandang di Sumatra Jadi Alarm Serius Krisis Iklim

Senin, 22 Desember 2025 | 09:00 WIB

LPBI PBNU Nilai Banjir Bandang di Sumatra Jadi Alarm Serius Krisis Iklim

Ilustrasi: banjir bandang merusak tempat tinggal dan akses jalan di Agam, Sumatra Barat. (Foto: dok PCNU Agam)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) PBNU, H Maskut Candranegara, menilai banjir yang kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatra sebagai peringatan keras atas krisis perubahan iklim yang kian nyata di Indonesia. Menurutnya, bencana tersebut tidak bisa lagi dipandang semata sebagai fenomena alam.


Ia menjelaskan, perubahan iklim telah memicu peningkatan frekuensi dan intensitas hujan ekstrem dalam waktu singkat. Kondisi ini membuat wilayah yang secara ekologis rapuh menjadi sangat rentan terhadap banjir, terutama daerah yang sistem drainase alaminya telah mengalami kerusakan.


Namun demikian, LPBI PBNU menegaskan bahwa meluasnya dampak banjir juga berkaitan erat dengan berkurangnya tutupan hutan di kawasan hulu, masifnya alih fungsi lahan, serta rusaknya daerah aliran sungai (DAS). Ketika fungsi penyangga alam melemah, air hujan tidak lagi terserap secara optimal dan akhirnya meluap ke permukiman warga.


“Bencana ini mencerminkan persoalan struktural yang sudah lama terjadi. Jika akar masalahnya tidak dibenahi, banjir dengan skala yang lebih besar akan terus berulang,” ujar Maskut dalam keterangannya kepada NU Online.


Gerakan Reboisasi Nasional

LPBI PBNU memandang salah satu langkah strategis yang mendesak adalah menggerakkan reboisasi secara nasional. Reboisasi dinilai tidak sekadar menanam pohon, melainkan memulihkan fungsi ekologis hutan sebagai pengendali tata air, penjaga kestabilan tanah, serta penyangga kehidupan masyarakat di wilayah hilir.


Gerakan reboisasi nasional, lanjutnya, harus dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan fokus pada kawasan hulu sungai, daerah tangkapan air, dan wilayah rawan bencana. Keterlibatan aktif pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, pesantren, serta komunitas lokal dinilai menjadi kunci keberhasilan upaya tersebut.


Selain reboisasi, LPBI PBNU juga mendorong penguatan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Langkah tersebut meliputi penataan ulang tata ruang berbasis risiko bencana, rehabilitasi ekosistem, serta penegakan hukum lingkungan yang tegas dan konsisten.


Maskut menegaskan bahwa penanganan pascabencana tidak boleh berhenti pada respons darurat semata. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu memastikan proses pemulihan berjalan seiring dengan upaya pengurangan risiko bencana dalam jangka panjang.


Ia juga mengajak masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam menjaga lingkungan, mulai dari perlindungan kawasan resapan air hingga dukungan terhadap kebijakan pembangunan berkelanjutan. “Menjaga alam adalah bagian dari ikhtiar kemanusiaan dan tanggung jawab bersama,” ujarnya.


LPBI PBNU menilai, tanpa perubahan pendekatan pembangunan yang lebih adil dan ramah lingkungan, dampak krisis iklim akan terus membesar. Reboisasi dan perlindungan ekosistem disebut sebagai investasi strategis untuk melindungi keselamatan rakyat dan keberlanjutan generasi mendatang.