Maraknya Perjokian Karya Ilmiah, Akademisi Angkat Bicara
Rabu, 15 Februari 2023 | 08:30 WIB
Akademisi Universitas Nahldatul Ulama Indonesia (Unusia) Fariz Alnizar memandang fenomena ini bukan persoalan dosen semata melainkan lahir dari kultur dan atmosfer akademik yang ada di Indonesia. (Foto ilustrasi: NU Online)
Jakarta, NU Online
Fenomena perjokian karya ilmiah untuk meraih gelar guru besar dan kenaikan pangkat mencuat di publik dalam beberapa waktu terakhir. Para peneliti dan akademisi turut buka suara.
Akademisi Universitas Nahldatul Ulama Indonesia (Unusia) Fariz Alnizar memandang fenomena ini bukan persoalan dosen semata melainkan lahir dari kultur dan atmosfer akademik yang ada di Indonesia.
Menurutnya, dosen didorong untuk melakukan riset tapi di saat yang sama kompetensi riset belum menjadi keterampilan utama yang dimiliki oleh dosen.
"Perjokian ini bukan lagi persoalan keilmuan melainkan rimba akademik yang persoalannya sangat pelik," tulis Fariz, Selasa (14/2/2023) lewat twitternya.
Pemerintah, lanjutnya, mengadopsi regulasi dan ketentuan internasional, namun di saat yang bersamaan dalam dunia akademisi masih punya problem SDM dosen yang tidak cakap dalam melakukan riset.
"Ringkasnya, barangkali kita memang pandai menciptakan ukuran-ukuran, namun kurang terampil untuk merumuskan dan menyiapkan tangga dan ekosistem yang baik agar dosen bisa mencapai ukuran-ukuran yang diharapkan itu. Ini yang kasat dan terlihat," jelas Fariz.
Lahirkan involusi akademik
Fariz mengatakan praktik ini dapat melahirkan involusi akademik atau kualitas karya akademik yang cenderung tidak bermutu dan rendah.
"Seminar dan kegiatan ilmiah banyak, tapi kenapa perdebatan intelektual dan adu gagasan semakin sepi? Bukankah dulu pendiri bangsa riuh dengan adu gagasan? Miris," ucap doktor lulusan UGM itu.
Kerja-kerja riset pragmatis seperti ini, lanjutnya, akan menghasilkan hasil penelitian yang justru menjadi sampah akademik dibandingkan rumusan rekomendasi untuk kepentingan kehidupan yang jauh lebih baik.
"Kontribusi penelitian jenis proyek ini bukan tidak ada, tapi sangat minim," ujar Fariz.
Senada dengan itu, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Amin Mudzakkir menyebutkan faktor yang mendorong praktik perjokian di kalangan akademis salah satunya regulasi yang memaksa dosen dan peneliti untuk menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional.
"Mereka terpaksa melakukan perjokian itu lantaran sistem kita memaksa mereka untuk menulis dalam publikasi internasional, sementara ekosistem yang ada belum tersedia," kata Amin.
Oleh karena itu, ia mengaku tak heran jika saat ini sebagian akademisi melakukan perjokian dengan memanfaatkan sebagian karya mahasiswanya.
"Itu tidak masuk akal tidak terjadi di negara-negara maju. Saya kira yang perlu dikoreksi adalah sistem yang membuat para dosen dan peneliti menempuh berbagai macam cara yang tidak etis," ujarnya.
Perubahan yang harus dilakukan
Menghindari praktik-praktik perjokian kembali terjadi menurutnya perlu dilakukan reformasi besar-besaran terhadap sistem pendidikan dan penelitian nasional.
"Jadi jangan dulu terobsesi dengan ranking-ranking nasional itu tanpa memperbaiki kultur, struktur, infrastruktur, dan riset pengajaran kita yang masih jauh dari kata ideal," tandasnya.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad