Nasional

Masyarakat Sipil Tegaskan Penobatan Soeharto sebagai Pahlawan Cederai Nilai Demokrasi

Jumat, 31 Oktober 2025 | 16:30 WIB

Masyarakat Sipil Tegaskan Penobatan Soeharto sebagai Pahlawan Cederai Nilai Demokrasi

Peneliti dari Perludem dalam Diskusi Media bertema Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto yang diinisiasi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) di Gedung Resonansi, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (31/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep, menilai bahwa menobatkan Soeharto sebagai pahlawan berarti mengkhianati prinsip-prinsip demokrasi yang sejati.


Menurutnya, wacana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional mencederai nilai-nilai demokrasi dan keadilan yang diperjuangkan sejak reformasi.


Pernyataan itu disampaikan dalam Diskusi Media bertema Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto yang diinisiasi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) di Gedung Resonansi, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (31/10/2025).


Menurut Usep, di bawah pemerintahan Soeharto pada masa Orde Baru, demokrasi sejati tidak pernah terwujud. Pemilu kala itu hanyalah formalitas politik tanpa makna partisipatif.


“Lima tahun sebelum pemilu, masyarakat sudah tahu siapa pemenangnya. Tidak ada kebebasan politik, tidak ada jajak pendapat, bahkan tidak ada ruang bagi sikap politik rakyat,” tegasnya.


Lebih jauh, Usep menjelaskan bahwa Orde Baru telah menghancurkan sistem multipartai di Indonesia. Meski secara formal terdapat tiga partai yakni Golkar, PPP, dan PDI tapi secara efektif hanya satu partai yang berkuasa karena dominasi suara Golkar mencapai 70-90 persen.


Selain merusak sistem politik, Orde Baru juga mematikan ideologi dan menanamkan pandangan negatif terhadap politik. Setelah 1965, ideologi komunis dilenyapkan dan ideologi Islam ditekan. Akibatnya, hingga kini Indonesia sulit membangun partai politik yang berbasis ideologi kuat.


“Politik dijadikan kotor, dianggap urusan elite. Warga negara cukup mendukung pemerintah tanpa perlu belajar politik. Itu yang membuat pembusukan politik berlangsung begitu lama,” ujar Usep.


Ia juga menyoroti bagaimana kekuasaan dan pemerintahan menyatu di tangan Soeharto. Jabatan politik diisi oleh orang-orang pemerintahan yang loyal, dan seluruh sistem diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan.


Usep menambahkan bahwa pada masa Orde Baru, politik tidak lagi bermakna partisipasi rakyat, melainkan menjadi alat kontrol dan pengekangan. Dalam konteks ekonomi, ia juga membantah klaim bahwa Soeharto menciptakan stabilitas dan kemakmuran.


“Itu mitos. Tidak ada negara besar dan beragam seperti Indonesia yang bisa maju jika politiknya dibungkam. Pembungkaman politik justru melahirkan ketimpangan ekonomi dan kronisme,” jelasnya.


Usep menegaskan, argumentasi bahwa pembungkaman politik diperlukan demi stabilitas ekonomi adalah keliru. Ia menjelaskan, negara-negara yang maju secara ekonomi justru memiliki tingkat kebebasan politik yang tinggi. Hal itu terbukti dari indeks Freedom House dan Economic Freedom Index yang menunjukkan korelasi kuat antara kebebasan politik dan kesejahteraan ekonomi.


“Indeks demokrasi kita terus turun. Skor terbaru dari The Economist Intelligence Unit hanya 56, terendah sepanjang sejarah, padahal ekonomi sedang tumbuh. Jadi, jangan sampai kita mengulang kesalahan masa lalu,” ujarnya.


Dalam penjelasannya, Usep menegaskan pentingnya membedakan antara tokoh penting dan pahlawan. Ia menilai, banyak orang keliru ketika menyamakan dua hal tersebut.


“Kalau ada orang yang masih menganggap Soeharto itu pahlawan, kita pertama-tama perlu membedakan antara tokoh penting dan pahlawan,” ujar Usep.


“Soeharto jelas tokoh penting karena ia Presiden kedua Indonesia. Tapi kalau pahlawan, dalam definisi apa pun, tidak ada yang bisa mewakili sosok Soeharto," katanya.


Menurut Usep, pahlawan sejati adalah sosok yang memerdekakan rakyat untuk bersuara dan berpikir kritis, bukan sebaliknya.


“Pemahaman saya, pahlawan sejati adalah sosok yang memerdekakan rakyat bersuara. Soeharto justru bukan hanya membuat rakyat takut bersuara, tapi juga membungkamnya,” tegas Usep.