Jakarta, NU Online
25 tahun gerakan reformasi 1998 cukup mempengaruhi kondisi sosial politik masyarakat Indonesia hingga saat ini. Di balik jatuhnya Orde Baru, ada peran anak-anak muda yang tanpa lelah menyuarakan aspirasinya di jalanan.
Solidaritas aktivis 98 dalam menuntut reformasi di Indonesia patut menjadi contoh oleh anak-anak muda yang hidup di era sekarang. Seyogianya, kekompakan dan kemauan anak-anak muda untuk berdiskusi dan mengkaji kebijakan pemerintah harus terus dipelihara.
Di satu sisi, saat ini, gerakan anak-anak muda dalam menuntut keadilan memiliki ragam model, yang juga jauh lebih efektif. Bahkan, turun ke jalan dianggap bukan lagi satu-satunya cara untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.
Mantan aktivis 98, Toto Prastowo, mengatakan, pada masa orde baru, gerakan mahasiswa cukup masif dilakukan dengan turun ke jalan. Sedangkan yang dilakukannya saat itu, yaitu menulis dan menyebarkan tulisan berisi keresahan mahasiswa terhadap situasi saat itu.
Sebelum sering ikut terlibat turun ke jalan bersama para aktivis yang lain, Toto memang sudah terlebih dahulu aktif di media pers kampus IKIP Jakarta (sekarang UNJ) Didaktika. Melalui cara-cara tersebut, kata dia, perlawanan terhadap Orde Baru berjalan efektif.
Lebih dari itu, situasi saat ini, belum tentu bisa berjalan sama persis dengan saat gerakan reformasi 1998. Oleh sebab itu, mahasiswa harus tetap kritis dengan mekanisme penyampaian aspirasi yang juga berbeda, mengikuti perkembangan zamannya.
“Sebelum masa 98 saya terlibat aktif di pers kampus di Didaktika yang kemudian teman-teman di sana melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Pada zaman itu, saya ikut juga aksi-aksi gerakan mahasiswa 1998 baik itu Forkot Famred dan lain sebagainya,” ujar Toto, Sabtu (20/5/2023).
Sementara menurut mantan aktivis 98 yang lain, Muhammad Syafi’i Alieha atau biasa disapa Savic Ali, gerakan 21 Mei 1988 tidak lagi menjadi satu-satunya model dalam mengkritik pemerintah. Menurut dia, era digital seperti saat ini, menyampaikan aspirasi cenderung lebih efektif dengan menggunakan media sosial.
Hal ini, kata Savic Ali, sudah dibuktikan oleh anak-anak muda di Indonesia beberapa bulan terakhir, seperti pada kasus Sambo dan Rafael Alun Trisambodo. Dengan kesadaran media yang tinggi, para pengguna internet tersebut turut serta membantu aparat menindak kegiatan melawan hukum yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah itu sendiri.
“Hari ini semua anak muda menggunakan sosial media, ini bisa mempengaruhi kebijakan yang diputuskan oleh pihak terkait. Kita tahu ada kasus Sambo dan Rafael Alun, itu diusut tuntas karena ada suara rakyat. Juga ada kebijakan Jokowi yang dibatalkan, itu karena suara anak muda di sosial media,” kata Savic Ali.
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Fathoni Ahmad