Oleh Muhammad Syamsudin
Pada waktu krisis moneter dunia tahun 1998, kurang lebih ada 16 perbankan yang tercatat pernah diliquidasi oleh Bank Indonesia. Buntut dari liquidasi ini adalah menurunnya derajat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Industri Perbankan Nasional. Kepercayaan menurun seiring keamanan dana nasabah yang tersimpan di berbagai perbankan tersebut. Guna mengatasi krisis tersebut, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan untuk menjamin keselamatan dana nasabah di antaranya melalui Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum yang disusul dengan penerbitan Keputusan Presiden No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Prekreditan Rakyat.
Puncak dari kebijakan ini adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat (blanket guarantee).
Apa makna diterbitkannya UU tersebut dan didirikannya LPS bagi industri perbankan?
Setidaknya ada beberapa nilai penting dari nilai penting didirikannya LPS tersebut baik bagi perbankan maupun bagi masyarakat selaku nasabah perbankan, antara lain:
1. Industri perbankan memainkan peranan penting bagi stabilitasnya iklim ekonomi nasional
2. Iklim usaha perbankan nasional di negara kita tercinta ini memiliki hubungan yang erat dengan iklim perekonomian dunia.
3. Dunia perbankan kita masih didominasi oleh peran segelintir orang selaku kepanjangan tangan dari kapitalisme global.
4. Dunia perbankan konvensional yang memakai sistem riba ternyata tidak mampu menjadi soko guru yang kuat bagi perekonomian negara
Keempat nilai penting di atas, merupakan titik balik pemikiran arus ekonomi baru sebagai alternatif terbaik untuk mengantikan sistem perbankan konvensional.
Di mana letak nilai penting perbankan syariah?
Sebagaimana diketahui bahwa kapitalisme merupakan sistem perekonomian yang dibangun dengan pilar tumpukan modal (ihtikar). Pilar ini berawal dari asumsi bahwa masyarakat selalu memiliki kebutuhan dasar yaitu memegang uang (demand for holding money). Semakin tinggi tingkat kebutuhan memegang uang tersebut yang terjadi di masyarakat, mengasumsikan bahwa semakin tinggi nilai pendapatan masyarakat sehingga semakin maju sebuah negara.
Yang menarik adalah, jumlah uang yang diterbitkan oleh pemerintah lewat BI, akan selalu dalam “jumlah yang tetap.” Dengan adanya uang tertumpuk pada segelintir orang, menandakan bahwa uang yang beredar di masyarakat sedang langka. Sebagai imbasnya adalah nilai kebutuhan akan uang semakin tinggi, beban kerja semakin banyak, namun uang yang mengalir ke masyarakat menjadi semakin sedikit. Ujung-ujungnya adalah timbul persaingan tidak sehat di kalangan masyarakat, gap antara si kaya dan si miskin menjadi semakin menjauh, dan terjadi penindasan antara pemilik modal dan pekerja. Padahal, ini yang paling dikhawatirkan oleh Nabi SAW di awal risalah beliau yang kemudian menggalakkan peran zakat, melarang ihtikar (monopoli/penumpukan modal), dan solidaritas sosial.
Sebagai contoh, Sabda Beliau Rasulillah SAW:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ - قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئفَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُقَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ رواه مسلم
Artinya: Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah bersabda: Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia adalah seseorang yang berdosa. Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar. (HR. Muslim)
Hadits di atas memberikan penegasan bahwa pelaku ihtikar adalah seorang pendosa. Mafhum muwafaqah dari nash hadits tersebut adalah bahwa Nabi SAW tidak ridlo umatnya melakukan praktik ihtikar (monopoli/menumpuk modal).
Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzy (3/374), Syeikh Ibnu Hajar Al-Asyqalani menyampaikan sebuah hadits, bahwa:
قوله عليه السلام: مَرْفُوعًا: مَنْ اِحْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللَّهُ بِالْجُذَامِ وَالْإِفْلَاسِ . أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ قَالَ الْحَافِظُ فِي الْفَتْحِ: إِسْنَادُهُ حَسَنٌ قوله عليه السلام: من احتكر طعاما أربعين يوما ثم تصدق به لم يكن له كفارة
Artinya: “Nabi SAW bersabda dalam hadits marfu’: Barangsiapa melakukan monopoli makanan atas kaum muslimin, Allah akan menimpakan kepada mereka penyakit judzam dan kebangkrutan (krisis). Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah. Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Kitab Al-Fath menyebutkan: Sanad hadits hasan. Nabi SAW juga bersabda: Barangsiapa memonopoli makanan selama 40 hari, kemudian baru ia menshodaqahkan setelahnya, maka baginya hal tersebut bukan kafarah (pelebur dosa).”
Kedua hadits di atas, setidaknya cukup menjadi peringatan kita bahwa tindakan menumpuk modal (monopoli/ihtikar) merupakan hal yang dibenci oleh Baginda Rasulillah SAW.
Berangkat dari hal ini, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa tindakan ihtikar merupakan haram secara mutlak. Namun, dalam Kitab Al-Majmu’: 13/46, Imam Nawawy menyebutkan bahwa para santri Imam Syafi’i sepakat bahwa ihtikar adalah haram berlaku pada makanan. Namun pada bagian akhir dari qaul, beliau juga menyampaikan bahwa:
ويمكن أن يلحق بالاقوات ما يترتب على احتكاره من تلف وهلاك يصيب الناس، كاحتكار الثياب في وقت البرد الشديد مع حاجة الناس إليه
Artinya: “Ada kemungkinan menyamakan ihtikar terhadap makanan pokok dengan segala hal yang bisa membawa akibat kepada kerusakan dan kerugian pada manusia, seperti monopoli pakaian di situasi cuaca sangat dingin, sementara masyarakat membutuhkan.”
Tawaran Sistem Ekonomi Islam
Islam membenci adanya penumpukan modal pada segelintir orang. Islam juga melarang praktik monopoli, penindasan dan kesewenang-wenangan. Maka dari itu, Islam menawarkan sebuah sistem ekonomi yang dibangun berdasar tiga pilar perekonomian: pertama adalah religiusitas (teks keagamaan), kemaslahatan (maslahat mursalah) dan keadilan. Uraian lebih lanjut tentang ketiga pilar ini akan disampaikan pada tulisan berikutnya. Insyaallah!
Penulis adalah pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Kab. Gresik, Jatim