Jakarta, NU Online
Para ulama Nusantara banyak melahirkan karya tulis dengan berbagai bidang pengetahuan. Namun, tak sedikit karya tersebut masih berbentuk manuskrip, belum terpublikasikan dan dipelajari masyarakat. Hal ini menjadi kekhawatiran para filolog pesantren mengingat usia manuskrip yang dapat lapuk dimakan zaman. Karenanya, mereka sepakat membentuk satu forum yang dinamai Nahdlatut Turats di Bangkalan, Madura.
Koordinator Nahdlatut Turats Lora Usman Kholil menyampaikan bahwa forum ini dibentuk untuk mencapai tujuan bersama dalam rangka mendakwahkan karya-karya ulama Nusantara yang masih berserakan di pesantren-pesantren untuk didigitalisasi, dijaga fisiknya, hingga dicetak untuk dipublikasikan ke masyarakat.
“Prosesnya bukan hanya pengumpulan tapi didigitalisasi tapi dicetak,” katanya kepada NU Online pada Senin (29/11/2021).
Pendiri Lajnah Turats Syaikhona Kholil itu menyampaikan bahwa lembaga yang didirikannya itu telah mencetak ulang tujuh manuskrip Syaikhona Kholil. Saat ini, imbuhnya, pihaknya tengah memproses pencetakan kitab Alfiyah dan Tafsir Kholili.
Ra Usman, sapaan akrabnya, berharap bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga, merawat, dan mempublikasikan manuskrip-manuskrip ulama Nusantara ini bisa menjadi bola salju yang bergulir di pesantren-pesantren dan para kiai.
Sebab, selama ini masih ada stigmatisasi bahwa karya para ulama sudah ketinggalan zaman. Menurutnya, bukan soal karyanya, melainkan cara para penerusnya untuk menyajikannya dengan penyesuaian kekinian.
“Ini masalah bukan karena ulama kita ketinggalan. Tetapi bagaimana bisa kita menyajikan agar generasi bisa memahami,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga menegaskan bahwa catatan para ulama bukan lembaran tanpa arti. Hal tersebut justru sarat makna sehingga perlu untuk dikreasikan dengan konteks masa kini.
Pendirian forum tersebut disepakati di dalam rangkaian agenda pameran Syaikhona Kholil. Ada 11 manuskrip dari 30 manuskrip karya Syaikhona Kholil yang dipamerkan, tiga surban Syaikhona Kholil, meja bundar milik Syaikhona Kholil, hingga lukisan-lukisan yang menggambarkan indahnya perangai guru dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari itu.
Selain itu, pameran tersebut juga menampilkan infografis jejaring keilmuan Syaikhona Kholil. Hal itu banyak ditelusuri dari karya-karya dua muridnya, yakni Syekh Yasin bin Isa al-Fadani dan Habib Salim bin Jindan.
Sementara itu, Filolog Pesantren Ahmad Ginanjar Sya’ban menjelaskan bahwa forum Nahdlatut Turats ini dibentuk dalam rangka membumikan dan menyebarkan ajaran para ulama Nusantara. Untuk mencapai tujuan itu, ia menyebut empat langkah yang bakal dilakukan Nahdlatut Turats.
Pertama, Nahdlatut Turats akan melakukan pendataan pesantren tua, karya-karya ulamanya, kitab cetakan lama yang sudah tidak ada manuskripnya dan belum dicetak lagi, arsip, dokumen dan lainnya. Sebab, para ulama terdahulu tidak hanya melakukan pergerakan dan tabligh, melainkan juga ta’lif, menyusun kitab.
Kedua, Nahdlatut Turats akan membuat pola dan pemetaan dari data yang sudah terkumpul. Peta karya ulama Nusantara bisa menjadi orkestrasi kesadaran di kalangan santri untuk diketahui dan dipelajari.
“Selama ini belum terpetakan secara baik. Hal ini penting untuk memudahkan para santri dan peneliti,” kata Pengajar Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.
Ketiga, Nahdlatut Turats akan rutin mengadakan pameran turats, membuka jaringan intelektual, sehingga wacana mengenai sanad dan pengetahuan keagamaan menjadi utuh.
Keempat, Nahdlatut Turats mengupayakan untuk meningkatkan penerbitan karya ulama Nusantara. Lebih dari itu, kitab yang dicetak itu bukan hanya bacaan, tetapi jadi kebijakan bahan publikasikan karya tersebut di timur tengah.
Bahkan, ia berencana menerbitkan karya ulama Nusantara itu di Timur Tengah guna mewarnai pemikiran Islam di dunia. Hal ini sebetulnya telah terjadi sejak zaman dahulu dengan terbitnya karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di India dan karya Kiai Ihsan Jampes di Mesir.
“Itu pentingnya khazanah jaringan intelektual para ulama Nusantara di Timur Tengah. Jaringan penerbitan dulu hidup,” kata akademisi yang menamatkan studi sarjananya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Sekarang, imbuhnya, ada karya KH Afifuddin Dimyati yang terbit di Mesir. Ia berharap karya Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2014 KH Sahal Mahfudz dapat dibaca dan dikaji di Universitas Al-Azhar Mesir, seperti kitab Thariqatul Hushul fi Ilmil Ushul. Pun karya-karya ulama Nusantara lainnya agar dapat memberi warna dalam kajian dan pemikiran mengenai Islam di belahan dunia lain.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad