Filolog Persoalkan Data Otentik Film Jejak Khilafah di Nusantara
Selasa, 25 Agustus 2020 | 19:00 WIB
Ahmad Rifaldi
Kontributor
Jakarta, NU Online
Film Jejak Khilafah di Nusantara yang diluncurkan pada Kamis (20/8) lalu dan diklaim adanya data otentik yang membuktikan sejumlah kesultanan di Nusantara adalah naungan dari kekhilafahan Turki Utsmani menuai banyak kritik. Salah satunya dari Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Oman Fathurrahman.
Prof Oman yang banyak meneliti beragam manuskrip keislaman di Nusantara menyebut tidak ada bukti manuskrip yang membuktikan bahwa beberapa kesultanan Islam di Nusantara menjadi bagian dari kekhilafahan Turki Utsmani.
Hal tersebut ia sampaikan pada acara Dialog Sejarah: Khilafah di Nusantara, Benarkah Ada Jejaknya? yang diselenggarakan oleh historia.id, Selasa (25/8) siang.
“Kalau pertanyaannya tentang adakah jejak khilafah di Nusantara, saya sesungguhnya ingin memulai dengan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan jejak khilafah itu? Kalau yang dimaksud adalah kesultanan-kesultanan di Nusantara pernah menjadi bagian dari khilafah, jawabannya tidak ada,” ujarnya.
Baca juga: Prof Oman: Nusantara Bukan Bagian dari Turki Utsmani
“Saya mengkaji sejumlah manuskrip dari Aceh, Palembang, Jawa, Cirebon, dan lain-lain, tidak mengindikasikan bahwa Kesultanan di Nusantara adalah bagian dari Turki Utsmani,” sambung akademisi alumnus Pondok Pesantren Cipasung dan Haurkuning, Tasikmalaya itu.
Menurut dia, apabila ada manuskrip terkait Turki Utsmani, khususnya bukti-bukti manuskrip Kesultanan Aceh, maka itu menjadi bagian dari jejak-jejak hubungan diplomatik antara Kesultanan Aceh dengan Turki Utsmani.
“Kalau mengklaim bahwa Nusantara adalah bagian dari Khilafah Utsmaniyah, persatuan Islam sedunia yang sudah musnah pada tahun 1924, lalu kita harus kembali ke zaman itu untuk keagungan Islam, saya kira itu terlalu mengglorifikasi,” ucapnya.
Tampilkan data
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam konteks sejarah bahwa sesungguhnya kewajiban sejarawan adalah menampilkan data apa adanya. Jika kemudian ada penafsiran, tentu itu sah berdasarkan metodologi yang sesuai secara akademis.
Tetapi, kata Prof Oman, yang menjadi masalah adalah menjadikan penafsiran tersebut untuk disesuaikan sebagaimana keinginan dalam benak sehingga keluar dari makna keaslian data.
“Ketika penafsiran itu diarahkan untuk menjustifikasi apa yang sudah ada dalam kepala (pikiran) kita, maka hal itu yang menjadi problem. Karena dalam konteks akademik itu kita yang harus mengikuti data,” paparnya.
“Bukan data yang harus mengikuti (keinginan) kita. Bahwa kita punya subjektivitas, itu iya (sah). Tetapi prinsip keilmuannya harus mengikuti data lalu kita tafsirkan,” sambung Kang Oman.
Misal soal data dalam konteks Kesultanan Yogyakarta, ada pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono X tentang Kesultanan Demak merupakan bagian dari Turki Utsmani. Akan tetapi, pernyataan tersebut harus diverifikasi dan diuji keabsahannya.
Lalu ada sumber lain yang lebih primer adalah yang diteliti oleh ahli sejarah kearsipan Turki Utsmani di Istanbul, Ismail Hakki Kadi, yang menjelaskan bahwa tidak ada data yang membuktikan Kesultanan Demak bagian dari Turki Utsmani.
Lain hal dengan Kesultanan Aceh,lanjut dia, harus lebih spesifik kajian mengenai relasi Kesultanan Aceh dengan Turki Utsmani. Sebab, Aceh sudah memiliki hubungan dengan Turki Utsmani sejak abad ke-15.
Bahkan dalam berbagai dokumen, Aceh beberapa kali mengajukan diri untuk menjadi vasal dari Turki Utsmani, terutama di Abad ke-16 masa Sultan Salim II. Akan tetapi permintaan itu ditolak oleh Turki Utsmani.
“Memang ada respon dan bantuan solidaritas keagamaan untuk melawan Portugis, kemudian di Abad ke-19 ditagih lagi dari Aceh untuk membantu melawan Belanda dan minta ditegaskan kembali bahwa Aceh bagian dari Turki Utsmani,” ujarnya.
“Tetapi Turki Utsmani, dalam sumber yang dijelaskan oleh Ismail Hakki Kadi bahwa permintaan tersebut ditolak. Bahkan sampai dirapatkan, dan jawabannya tetap tidak,” ungkap Prof Oman.
Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa Aceh yang sangat jelas memiliki hubungan diplomatik dengan Turki Utsmani tidak bisa diklaim sebagai bagian dari Khilafah Turki Utsmani. Apalagi kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara lainnya, sehingga tidak bisa dibuktikan bahwa kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara menjadi naungan Turki Utsmani.
Acara ini disiarkan secara virtual di kanal YouTube dan Facebook historia.id dengan moderator Bonnie Triyana selaku Pemred Historia. Narasumber dalam acara ini adalah Oman Fathurrahman dan Sutradara film Jejak Khilafah di Nusantara, Nicko Pandawa, yang menyatakan berhalangan hadir.
Kontributor: Ahmad Rifaldi
Editor: Musthofa Asrori
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua