Nasional

Menimbang Peluang dan Tantangan Persatuan di Indonesia

Rabu, 28 November 2018 | 09:50 WIB

Jakarta, NU Online
Pesta demokrasi dalam pemilihan umum April 2019 kelak akan menjadi ajang ujicoba kekuatan persatuan bangsa dan rakyat Indonesia. Sebab akan ada perbedaan pilihan politik yang berpotensi besar melahirkan konflik antara kelompok masyarakat. Walaupun masih beberapa bulan lagi, momen itu telah melahirkan perdebatan terbuka antar kedua pendukung di media sosial yang bahkan sempat berujung pada kematian seorang warga Madura dalam sebuah duel sebagai buntut perdebatan di media sosial.

Kendati tampak begitu menyeramkan, namun bagi Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Bimas Islam dan Layanan Keagamaan, Muharram Marzuki, persatuan di Indonesia masih terbilang kuat untuk menghadapi tantangan politik seperti itu.

Ia menyampaikan bahwa, kejadian-kejadian yang terjadi beberapa waktu terakhir ini masih tergolong ‘masih bisa diatasi’. “Saya kira persatuan Indonesia masih sangat kuat. Dalam penelitian kami, tren toleransi di Indonesia cenderung membaik. Banyak kebaikan yang ada di lapangan yang justru harus lebih kita sebarluaskan,” kata Muharram Marzuki pada NU Online di sela-sela ‘International Workshop’ yang digelar Balitbang Kemenag di Double Tree Hotel di Jakarta, Rabu (28/11). 

Ia mengatakan bahwa kasus-kasus yang mengemuka seperti itu perlu ditangani secara baik, namun bukan berarti kita bisa menarik kesimpulan bahwa kejadian itu merepresentasikan keseluruhan dari wajah kerukuran toleransi dan kehidupan sosial di Indonesia. 

Dalam kesempatan itu akademisi dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Muhammad Atho Mudzhar menjelaskan bahwa harmoni antar umat beragama memiliki akar yang cukup kuat. Ia setidaknya berakar dari enam hal; faktor ideologi, konstitusi, hukum, sistem sosial, budaya hingga pada level praktek.

Salah satu landasan kuat harmonisasi masyarakat Indonesia berasal dari ideologi Pancasila yang merupakan konsensus bersama yang menjembatani antara perbedaan agama, budaya, bahasa dan perbedaan lain.

Sebagai dasar negara, Pancasila yang mengandung nilai harmoni diterjemahkan dengan baik ke dalam sistem perundang-undangan secara lebih detail. Indonesia juga sejak lama mengakui adanya hak asazi manusia dan kebebasan setiap orang untuk menjalankan ajaran dan keyakinan yang dipegang. 

Semangat moderasi juga tertanam dalam ajaran Islam yang dipeluk mayoritas warga Indonesia. “Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah Islam yang tidak menghendaki ektrimisme agama. Islam sunni yang dianut di Indonesia adalah Islam yang berdiri antara pemahaman ekstrim seperti jabbariyah dan qodariyah. Jadi pada dasarnya tidak ada ruang untuk melahirkan ektrimisme di Indonesia,” jelas pakar Hukum Islam ini. 

Menurutnya, penguatan kebudayaan dan kebijaksanaan lokal yang berhubungan dengan relasi antarumat beragama perlu diperkuat untuk menguatkan hubungan kemasyarakatan. Budaya baik seperti 'Menyame Braye' di Bali, 'Rumah Betang' di Kalimantan Timur, 'Gawe Sabumi' di Kalimantan Selatan, 'Tigo Sapilin' di Sumatra Barat dan lain-lain perlu dikembangkan luas untuk memperkuat hubungan antar masyarakat.

“Kebudayaan kita adalah salah satu akar penting toleransi antar komunitas umat beragama yang telah berhasil menjembatani perbedaan suku sejak dulu. Jadi saya kira kita perlu memperkuat itu,” lanjutnya.

Namun begitu, bukan berarti harmoni di antara berbagai komunitas tak menghadapi tantangan. Pemilu adalah salah satu di antaranya. Ada beberapa tantangan lain yang dipaparkan akademisi kelahiran Serang ini; (1) Tantangan bersifat ideologis seperti ateisme, komunisme, hingga kapitalisme (2) Ide yang mendorong agar Indonesia menjadi negara sekuler atau sebaliknya negara agama, (3) Kinerja antara lembaga pemerintahan yang cenderung tak kompak bahkan cenderung bersaing, (4) Perbedaan sosial yang tidak terakomodir dengan baik dan (5) Disparitas status ekonomi dan politik antara kelompok masyarakat. 

Prof Atho Mudzhar merupakan salah seorang narasumber dalam acara Workshop International bertajuk ‘Promoting Religious Tolerance and Moderation in Indonesia’. Selain dia, ada pula Prof Abdurrahman Mas'ud yang menarik kesimpulan bernada optimis bahwa; pada dasarnya baik Pemerintah maupun masyarakat sama-sama menghendaki harmoni dan toleransi. 

Secara umum seminar yang digelar dalam bahasa Inggris ini bang bertujuan memotret, mempromosikan dan menyebarluaskan praktik baik tentang hubungan antar komunitas dan umat beragama di Indonesia, baik dalam level lokal, nasional hingga pada dunia Internasional. (Ahmad Rozali)


Terkait