Muktamar NU Desak DPR-Pemerintah Sahkan RUU TPKS dan RUU PPRT
Sabtu, 25 Desember 2021 | 16:00 WIB
Bandarlampung, NU Online
Komisi Rekomendasi Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Hal itu untuk menjamin dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta menghindarkan perempuan dari kekerasan seksual.
Ketua Komisi Rekomendasi Muktamar NU, Alissa Wahid, menegaskan bahwa negara atau pemerintah untuk memperkuat upaya pencegahan kekerasan dalam keluarga, terutama terhadap anggota keluarga yang cenderung lemah seperti perempuan, anak, dan individu berkebutuhan khusus.
“Negara perlu segera mengesahkan RUU TPKS sebagai payung hukum untuk memberantas kekerasan seksual yang telah menelan korban sangat banyak. Inisiatif untuk mengembangkan RUU terkait Ibu dan Anak juga perlu untuk ditindaklanjuti,” kata Alissa, dalam Sidang Pleno III pengesahan sidang-sidang komisi Muktamar NU, pada Kamis (23/12/2021).
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan upaya penguatan nilai kebangsaan berbasis keluarga dan upaya penguatan moderasi beragama berbasis keluarga. Hal tersebut bertujuan untuk mendorong keluarga Indonesia mempraktikkan keseimbangan, antara hidup sebagai umat beragama dengan sebagai warga negara.
Alissa juga mendesak pemerintah agar mengembangkan strategi nasional untuk memperkuat ketangguhan keluarga secara komprehensif dengan keseluruhan aspek dan fungsi keluarga.
Strategi itu meliputi kebijakan dan program pemerintah, penguatan praktik kehidupan berkeluarga, pelibatan organisasi masyarakat, serta pelibatan tokoh agama dan tokoh masyarakat.
“NU mendorong pemerintah untuk merevisi UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dengan semangat memperkuat subtansi kemaslahatan keluarga dan menjawab tantangan keluarga masa kini,” tegas Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Upaya pendidikan masyarakat mengenai keluarga dengan pelibatan multi-stakeholders, terutama organisasi masyarakat juga perlu diperkuat dengan kerangka kerja yang lebih efektif dan efisien.
Sebab hingga kini, pemerintah Indonesia tidak memiliki strategi pendidikan kehidupan berkeluarga yang komprehensif sehingga program-program ketangguhan keluarga yang selama ini masih berjalan secara parsial dan belum menunjukkan hasil yang diharapkan, perlu direvitalisasi dengan pengelolaan program yang lebih baik.
“Program penguatan kualitas keluarga berbasis kawasan desa sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat desa perlu diakselerasi, mengingat potensinya. Juga karena beberapa persoalan terkait keluarga banyak ditemukan di desa, misalnya kehamilan remaja, perkawinan anak, stunting, praktik kawin cerai, dan lain-lain,” kata Alissa, membacakan draf putusan komisi rekomendasi.
Sebagai unit terkecil masyarakat, Konsep Keluarga Maslahah An-Nahdliyah memiliki definisi bahwa keluarga yang maslahah itu mampu memberikan kebaikan kepada seluruh anggota keluarga. Kemudian kebaikan keluarga kepada masyarakat agar menjadi khaira ummah (umat terbaik), kepada negara agar menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, dan pada semesta agar menjadi rahmat (rahmatan lil alamin).
Namun realitanya, muncul berbagai persoalan di dalam keluarga terutama pada kelompok terbawah masyarakat. Angka perceraian terus meningkat, mencapai 19 persen dari jumlah perwakinan pada 2018.
Angka kasus kekerasan dalam rumah tangga juga terus meningkat. Bahkan data Pengadilan Agama menunjukkan, hingga 2018 terjadi sejumlah 335 ribu kasus kekerasan terhadap istri yang berujung pada perceraian.
“Kekerasan seksual tidak hanya meningkat dalam lingkup keluarga tetapi dalam dunia pendidikan, dunia kerja dan dunia aparat penegakan hukum, sebagaimana terungkap di media massa dan media sosial,” kata Alissa.
Sementara itu, pada konteks kemaslahatan anak sebagai salah satu kelompok usia rentan dan harus dilindungi, telah ditemukan berbagai permasalahan. Di antaranya stunting, kekerasan (termasuk kekerasan seksual), dan perkawinan anak.
Alissa menyebutkan bahwa angka perkawinan anak dalam sepuluh tahun terakhir tidak menujukkan penurunan yang berarti. Dari 14,7 persen pada 2008 menjadi 11,2 persen pada 2018. Bahkan justru mengalami peningkatan pada periode 2016-2017.
Angka kejadian stunting juga cukup memprihatinkan. Satu dari tiga anak Indonesia terlahir dengan kondisi kurang gizi (stunting). Hal itu berarti kapasitas kecerdasan dan perkembangannya di bawah rata-rata. Imbasnya tentu pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.
“Rendahnya perhatian terhadap kualitas dasar keluarga juga cenderung melemahkan posisi manusia dan keluarga Indonesia dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial. Data-data yang ada menunjukkan belum optimalnya upaya negara dan masyarakat untuk mengatasi persoalan yang ada secara efektif,” jelas Alissa.
Padahal, lanjut dia, ketangguhan individu dan keluarga yang melemah juga berpengaruh terhadap kualitas masyarakat. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang belum berada di titik memuaskan menjadi bukti nyata.
“Dampak pandemi Covid-19 semakin memperparah situasi ini. Akibatnya, peluang bonus demograsi terancam berubah menjadi bencana demografi, tidak memberikan keuntungan bagi sebagian besar warga Indonesia, justru bisa berubah menjadi ancaman kemiskinan dan keterbelakangan,” imbuh Alissa.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori