Nasional

Muktamar NU: Masyarakat Perlu Desak Penegak Hukum Tegas Berantas Korupsi

Jumat, 24 Desember 2021 | 02:30 WIB

Muktamar NU: Masyarakat Perlu Desak Penegak Hukum Tegas Berantas Korupsi

Komisi Rekomendasi Muktamar NU Alissa Wahid dalam Sidang Pleno III, di Gedung Serbaguna (GSG) Universitas Lampung, pada Kamis (23/12/2021). 

Bandarlampung, NU Online

Salah satu yang menjadi putusan dalam Komisi Rekomendasi Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) adalah di bidang demokrasi, hukum, dan anti-korupsi. Pada konteks ini, Muktamar NU mendorong masyarakat agar mendesak lembaga-lembaga penegak hukum untuk lebih aktif dan tegas terhadap pemberantasan korupsi. 


“Mendesak kepemimpinan nasional agar mengambil tanggung jawab dan kendali kepemimpinan dengan sungguh-sungguh dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,” kata Ketua Komisi Rekomendasi Muktamar NU Alissa Wahid dalam Sidang Pleno III, di Gedung Serbaguna (GSG) Universitas Lampung, pada Kamis (23/12/2021). 


Komisi Rekomendasi juga menyoroti soal sistem demokrasi yang oligarkis dan hegemonik. Untuk mengatasi itu, perlu dilakukan penguatan masyarakat sipil dan mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok kritis, termasuk di parlemen dan partai politik. 


“Seluruh kekuatan politik, khususnya pemerintah dan parlemen agar segera mendorong tersusunnya regulasi yang memungkinkan pembelanjaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih besar pada penguatan politik masyarakat bawah ketimbang kepada para pengusaha dan elit politik,” tegas Alissa, membacakan draf putusan hasil Sidang Komisi Rekomendasi.


Sementara pembelanjaan APBN itu harus didukung regulasi yang menyebutkan indikator pembelanjaan APBN lebih besar kepada rakyat dan kelompok masyarakat, termasuk minoritas budaya dan agama. 


Muktamar NU juga mendesak agar negara atau pemerintah memperbaiki desain dan sistem demokrasi Indonesia yang lebih mendasarkan pada kondisi demografi lokal dan nasional, daripada internasional.


“Perlu dibangun suatu sistem yang benar-benar mengikutkan masyarakat paling bawah, lemah, dan minoritas. Secara khusus, diperlukan afirmasi pengarusutamaan gender untuk memastikan partisipasi perempuan dan kepemimpinan perempuan dalam sistem demokrasi,” tegas putri sulung Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid itu.


Kemudian dalam hal otonomi daerah, negara perlu memperbaiki mekanisme pemilihan kepala daerah dengan mencegah politik berbiaya tinggi untuk menghasilkan kepempinan lokal yang efektif. Selain itu, perbaikan mekanisme tersebut juga dapat menyempurnakan skema desentralisasi agar semakin berdampak optimal dalam mengurangi kesenjangan antar-daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat


Rekomendasi tersebut dikeluarkan dan diputuskan karena muncul tantangan yang semakin membesar dalam proses demokratisasi di Indonesia. Dikatakan Alissa, demokrasi yang substantif, mengakar, dan deliberatif merupakan persyaratan bagi terwujudnya keadilan, kesejahteraan, dan kesetaraan.


“Sayangnya, proses demokrasi prosedural yang mapan pasca reformasi belum memastikan terbangunnya kesetaraan, keadilan, dan partisipasi politik yang inklusif hingga lapisan masyarakat paling bawah dan lemah serta perempuan. Hal itu disebabkan menguatnya sistem oligarki dalam politik dan ekonomi,” tegas Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian itu.


Kuatnya partai-partai politik dalam sistem demokrasi tidak menjadi saluran aspirasi dan kepentingan rakyat, melainkan justru akumulasi kekuasaan dan ekonomi yang bersifat oligarkis dan hegemonik. 


“Hal itu berkombinasi dengan merosotnya moralitas publik yang parah, para pejabat dan politisi yang didikte oleh kepentingan para pemilik modal dengan membeli suara dan menyingkirkan para pemimpin yang potensial adil dan transpran,” ujar Alissa.


“Akibatnya, umum terjadi hasil dari pemilihan kepada daerah jatuh menjadi para pengabdi kepentingan pemilik modal dengan serta merta mengabaikan kepentingan dan aspirasi rakyat itu sendiri,” imbuhnya.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF


Terkait