Naskah Pidato Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Asrorun Niam Sholeh di UIN Jakarta
Rabu, 22 Februari 2023 | 15:30 WIB
H Asrorun Niam Sholeh saat menyampaikan pidato ilmiah pada pengukuhannya sebagai guru besar bidang ilmu fiqih di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Ir H Juanda, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (22/2/2023). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Living Fatwa: Transformasi Fatwa dalam Perilaku dan Kebijakan Publik di Era Milenial
Assalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Bismillaah walhamd lillah was shalatu was salamu ala sayyidina rasulillah, walaa haula walaa quwwata illaa billaah. Rabbisyrahlii shadri wa yassir li amri wahlul uqdatam min lisaanii yafqahuu qauli; Amma Ba’du
Yang amat terpelajar Ketua dan Sekretaris serta Anggota Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Yang amat terpelajar Rektor, para Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; para Dekan Fakultas, serta Direktur Sekolah Pascasarjana, di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Yang amat terpelajar para pejabat struktural, pendidik, tenaga kependidikan, dan seluruh civitas akademika kampus tercinta; UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Yang amat terpelajar; Para tamu kehormatan
- Yang Mulia Wakil Presiden RI
- Yang terhormat Para Menteri Kabinet Indonesia Maju
- Pimpinan Lembaga Negara dan Pemerintahan, baik sipil maupun militer; baik Pusat maupun Provinsi dan Kabupaten/Kota
- Para Kiai, Masyayikh, Ulama dan pimpinan organisasi Keagamaan
- Para Rektor, Cerdik Cendekia, dan pimpinan lembaga pendidikan tinggi
Yang amat terpelajar para tamu undangan dan hadirin yang kami muliakan.
Pertama, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan inayahnya kepada kita semua sehingga kita bisa berada di tempat terhormat ini, Sidang Senat Terbuka pengukuhan guru besar.
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Dalam forum yang mulia ini, perkenankan saya menyampaikan pidato ilmiah yang berjudul “Living Fatwa: Transformasi Fatwa dalam Perilaku dan Kebijakan Publik di Era Milenial”. Saya akan fokus tentang fatwa MUI; dunia yang lebih 20 tahun saya berkhidmat, mulai dari backstage hingga frontstage, mulai di belakang layar sebagai tim asistensi hingga menjadi ketua yang membidangi fatwa dan harus berhadapan dengan publik, meski harus menjelaskan masalah yang sensitif dan pelik. Semoga pidato ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan untuk mengokohkan sendi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara kita.
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, hukum Islam menjadi salah satu sumber hukum yang hidup di tengah masyarakat. Meski tanpa kehadiran negara, hukum Islam sudah menyatu dan hidup dalam perilaku masyarakat. Salah satu pilar penting yang menjaga tetap hidupnya norma hukum Islam di tengah masyarakat adalah dengan adanya fatwa keagamaan. Fatwa merupakan jawaban fikih atas berbagai pertanyaan yang muncul untuk dijadikan panduan dan pedoman dalam aktifitas keagamaan. Sesuai karakternya, fatwa dalam diskursus fikih bersifat kontekstual karena ia merupakan jawaban atas pertanyaan; yang kongkrit, faktual, dan kekinian. Fatwa dan aturan fikih yang dijadikan pedoman serta kaedah penuntun dalam kehidupan masyarakat, baik pribadi, keluarga, maupun aktifitas sosial kemasyarakatan menjelma menjadi hukum yang hidup (living law).
Istilah living law itu sendiri, sebagaimana ditulis Mahfud MD sekurang-kurangnya, mempunyai dua arti. Pertama, norma yang hidup karena ditaati keberlakuannya oleh masyarakat meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara. Kedua, hukum resmi yang bersifat dinamis dan kenyal atau supel, sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman dan selalu aktual dalam keadaan apapun. Pandangan saya dalam pembahasan mengenai “living fatwa” merujuk pada pengertian pertama ini.
Dengan demikian, hukum fikih yang hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat itu yang dikenal sebagai living law. Living law tidak harus diformulasikan oleh negara, namun berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Bahkan tidak jarang daya pengaruhnya melebihi hukum positif yang diformulasikan oleh negara.
Dalam konteks masyarakat yang terus berubah, maka akan ada dinamika fatwa sebagai respons atas dinamika dan perubahan masyarakat kontemporer. Karena itu, the living law, atau hukum yang hidup itu bersifat dinamis sejalan dengan perkembangan masyarakat, dengan fatwa menjadi salah satu instrumen pentingnya. Dan untuk menjadikan fatwa itu “hidup”, maka butuh upaya dan ikhtiar dalam siyasatul ifta’.
Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Keberlakuan Fatwa
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Di dalam perspektif pemikiran politik hukum Islam, setidaknya ada tiga paradigma hubungan antara agama dan negara: (i) paradigma integralistik (simbolistik formalistik); memahami bahwa agama dan negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integrated). Dalam praktiknya, menjadi negara teokrasi. (ii) paradigma sekularistik; memahami pemisahan antara agama dan negara. Dalam praktiknya, menjadi negara sekuler, di mana sistem hukum tidak boleh digabung dengan nilai agama. dan (iii) paradigma simbiotik; memahami bahwa agama dan negara berhubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Dari ketiga paradigma di atas, dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, kita memiliki konsensus untuk memilih paradigma yang ketiga. Hal ini nampak pada dasar negara dan konstitusi kita yang menempatkan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan nampak dalam praktek penyusunan peraturan perundang-undangan yang menyerap aspirasi agama, pun sebaliknya penetapan fatwa keagamaan yang memberi panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Selama ini, dalam menjalankan tugas membangun hubungan simbiotik antara hukum Islam dan negara, saya mencatat setidaknya fatwa-fatwa MUI mengambil empat pola relasi, ta’yidy (menguatkan), ishlahy (memperbaiki), tashhihy (membenarkan), inysa’y (menginisiasi), yang disingkat TITI.
1. Ta’yidy
Ta'yidy adalah menguatkan kebijakan negara yang diambil untuk kemaslahatan publik. Fatwa kelompok ini hadir untuk mengonfirmasi, menguatkan, dan memberikan alas keagamaan agar penerimaan terhadap kebijakan publik tersebut semakin kokoh.
Hal ini bisa terlihat, misalnya, pada penetapan Fatwa Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem. Fatwa ini ditetapkan untuk mendukung komitmen Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dalam menjaga dan melindungi satwa langka dari kepunahan.
Di samping itu, ada juga fatwa tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, yang merupakan dukungan fatwa terhadap upaya Pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan memastikan keseimbangan antara aktifitas pertambangan yang berdimensi ekonomi dengan menjaga keberlanjutan alam.
Demikian juga fatwa tentang Bermuamalah Melalui Media Sosial, yang memberikan dukungan upaya Pemerintah dan masyarakat untuk membangun literasi media digital untuk mewujudkan kemaslahatan. Juga Fatwa Pembuktian Terbalik dalam Kasus Korupsi yang ditetapkan dalam forum Munas MUI 2010 dan Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia, Tahun 2012 yang lalu; sebagai penguatan atas upaya pemberantasan korupsi dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.
2. Ishlahy
Ishlahy ialah menguatkan substansi kebijakan publik dengan memberikan koreksi serta perbaikan pada normanya agar sejalan dengan ketentuan hukum Islam. Di antaranya fatwa tentang Imunisasi. Pada 2016, atas dasar permohonan fatwa dari Kementerian Kesehatan, MUI membahas dan menetapkan Fatwa nomor 4 tahun 2016 tentang Imunisasi.
Fatwa ini menegaskan dukungan terhadap program imunisasi sebagai mekanisme untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin. Namun, imunisasi sebagai mekanisme pengobatan preventif, harus menggunakan vaksin yang halal. Dengan demikian, bukan sekedar mendukung imunisasi sebagai program Pemerintah, tetapi harus dilaksanakan sesuai ketentuan agama.
Demikian juga fatwa terkait dengan Keluarga Berencana. KB sebagai mekanisme perencanaan keturunan diperkenankan, dengan alat kontrasepsi dan tata cara yang dibenarkan secara syar’i. Sementara, KB dengan cara tahdidun nasl atau membatasi keturunan hukumnya haram, demikian juga alat kontrasepsi yang masuk kategori pemandulan tetap. Karenanya, dalam praktiknya, perlu dilakukan perbaikan dan penyesuaian.
3. Tashhihy
Tashhihy adalah mengoreksi, membenarkan dan/atau memberikan sandingan norma atas kebijakan publik yang tidak sejalan dengan hukum Islam. Hal ini bisa terlihat pada fatwa tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan, pada 2008. Fatwa ini diterbitkan sebagai koreksi atas kebijakan Kementerian Kesehatan yang mengeluarkan Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Tenaga Kesehatan, yang intinya melarang praktek sunat terhadap perempuan.
Merespons dinamika kontemporer tersebut, dengan pola ishlaly, dan atas pertanyaan masyarakat, MUI menetapkan Fatwa Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan Bagi Perempuan. Isinya mengoreksi dan memperbaiki SE yang melarang praktek sunat perempuan. Selanjutnya, atas dasar Fatwa tersebut, pada 2010 Menteri Kesehatan mencabut SE larangan medikalisasi sunat perempuan, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan; yang intinya mengatur pelaksanaan sunat perempuan yang benar secara syari dan aman secara medis.
Demikian juga Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, ditetapkan sebagai bentuk tashhih dari putusan MK terkait permohonan uji materi terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Implikasi dari putusan MK ini, kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah dalam hak keperdataan.
Masyarakat resah. Atas dasar itu, MUI menetapkan fatwa sebagai tashhih dan penjelasan perspektif hukum Islam terkait anak hasil zina dan perlakuannya.
4. Insya-y
Insya-y ialah memulai dengan menetapkan fatwa terhadap masalah baru yang penting untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat, dan dibutuhkan sebagai sandaran dalam penyusunan dan pengambilan kebijakan publik.
Fatwa ini ditetapkan atas dasar inisiasi seiring dengan dinamika kontemporer. Misalnya Fatwa Tahun 2018 tentang Zakat Maal untuk Bantuan Hukum, yang kemudian menjadi dasar bagi BAZNAS dan juga lembaga amil zakat untuk pengelolaan dan pendistribusian zakat pada bantuan hukum, dan menjadi panduan bagi pengawas untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan.
Contoh lain, Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia 2012 tentang Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH Haji Yang Masuk Daftar Tunggu (Waiting List). Fatwa ini menjadi salah satu rujukan keagamaan dalam penyusunan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Substansi ketentuan dalam Ijtima Ulama diserap dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Pengelolaan Keuangan Haji.
Pasal 6 menjelaskan kedudukan BPKH sebagai wakil yang sah dari jamaah haji dalam menerima setoran BPIH, dan juga mengelolanya. Sementara, Pasal 7 menegaskan bahwa “setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus merupakan dana titipan Jemaah Haji untuk penyelenggaraan Ibadah Haji”, jadi statusnya belum milik Pemerintah. Dua pasal dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji ini menjelaskan posisi dan kedudukan hukum dana setoran haji dan nilai manfaat hasil pengembangannya.
Secara khusus, kita menyampaikan apresiasi kepada Komisi VIII DPR-RI dan Pemerintah yg pada Rabu 15 Februari 2023 telah menetapkan BIPIH lebih rendah dari usulan semula; sebesar 49,8 juta rupiah. Namun, penetapan BIPIH Tahun 2023 ini dari aspek fatwa dan UU PKH masih menyisakan catatan secara keagamaan; mengingat “formulasi pembiayaan haji menjadi 55,3% dibayar jamaah dan 44,7% diambil dari nilai manfaat.
Nilai manfaat ini diambil dari tahun berjalan dan akumulasi Nilai manfaat yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)”. Sebagian nilai manfaat yang digunakan, dalam riset saya, berasal dari dana calon jamaah lain yang belum berangkat. Padahal secara fikih, nilai manfaat dari pengembangan uang setoran calon jamaah haji tersebut adalah milik calon jamaah secara personal. Ini ditegaskan dalam Keputusan Ijtima Ulama 2012, dan lantas juga diatur dalam Pasal 26 huruf F, yang mengatur kewajiban BPKH, yaitu “membayar nilai manfaat setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus secara berkala ke rekening virtual setiap Jemaah Haji”.
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Seluruh fatwa MUI mengenai ekonomi dan keuangan syariah berada dalam kelompok pola insya’i. Seluruh fatwa DSN-MUI menjadi binding dan dijadikan dasar dalam praktek ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Bahkan, UU terbaru terkait keuangan, UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang diundangkan 12 Januari 2023 menegaskan bahwa seluruh aktifitas ekonomi keuangan syariah, baik bank maupun non-bank harus mengikuti prinsip syariah.
Prinsip syariah didefinisikan sebagai “prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. UU ini menyebutkan secara eksplisit, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 337 huruf h UU PPSK bahwa “lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia”.
Fatwa MUI terkait produk halal juga merupakan produk fatwa dengan pola insya’i. Fatwa-fatwa MUI dijadikan dasar dalam penyusunan standar jaminan produk halal (SJPH) dan dasar dalam penerbitan Sertifikat Halal. SJPH yang dipakai BPJPH hari ini bersumber dari SJH yang dimiliki oleh MUI. MUI juga terus mendorong lahirnya UU Jaminan Produk Halal yang mengatur kewajiban sertifikasi halal produk pangan sebagai wujud jaminan negara dalam melindungi keyakinan keagamaan umat.
Ujian Penerapan Paradigma Simbiotik dalam Relasi Agama dan Negara
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Pendekatan simbiotik meniscayakan harmoni antara fatwa keagamaan dengan kebijakan negara. Masing-masing memiliki wilayahnya. Wilayah substansi agama menjadi ranah lembaga agama yang punya kewenangan. Sementara negara bertugas mengadministrasikan urusan agama agar dapat dilaksanakan secara baik serta dapat terwujud kemaslahatan dan ketertiban. Sejauh ini, pola relasi tersebut, meski ada dinamika, secara umum berjalan dengan memegang prinsip, kompetensi, dan yurisdiksi masing-masing.
UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal secara jelas mendudukkan agama dan negara secara proporsional, dalam hubungan simbiotik. Penetapan kehalalan produk menjadi domain lembaga agama dan BPJPH sebagai representasi negara mengadministrasikan urusan agama, dengan menjalankan registrasi, dan juga penerbitan Sertifikat Halal.
Namun, setelah lahirnya PERPU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, khususnya terkait Jaminan Produk Halal, ada pergeseran pola relasi simbiotik yang menjadi konsensus berbangsa dan bernegara, dengan pembentukan komite fatwa oleh negara. PERPU telah menggeser pola simbiotik antara wilayah agama dan negara ke pola integralistik, dengan mengambil alih peran agama ke dalam institusi negara.
Pasal 33A dan 33B mengatur Penetapan kehalalan Produk untuk UMK yang melalui jalur self declare dilakukan oleh Komite Fatwa Produk Halal, yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri. Aturan ini menggambarkan bahwa negara masuk dalam wilayah agama dengan membentuk institusi negara yang bertugas menentukan hukum agama.
Dalam paradigma hubungan agama dan negara sebagaimana digambarkan di atas, PERPU telah menggeser paradigma simbiotik menjadi paradigma integralistik; di mana negara men-takeover peran agama dalam penetapan kehalalan produk. Akankah, dengan PERPU ini negara akan bergerak menjadi negara teokrasi? Saya yakin tidak. Bisa jadi ini bagian dari kesalahan kalkulasi dalam penyusunan materi muatan PERPU. Bahkan patut diduga, perubahan norma baru dalam Perppu ini merupakan penyelundupan hukum mengingat tidak ada kegentingan yang memaksa terkait penyelenggaraan sertifikasi halal sehingga membutuhkan komite fatwa. Karenanya, perlu ada rekonsolidasi.
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Di samping UU PPSK dan Perppu Cipta Kerja, produk hukum dalam dua bulan terakhir ini yang menegaskan hubungan agama dan negara dengan paradigma simbiotik adalah Putusan MK Nomor 24/PUU-XX/2022 bertanggal 31 Januari 2023. UU PPSK dan Putusan MK Nomor 24/PUU-XX/2022 menegaskan konsistensi paradigma simbiotik dalam membangun relasi agama dan negara. Tidak pada Perppu Cipta Kerja.
Saya menilai konsideransi dan putusan MK terkait dengan perkawinan beda agama adalah argumen akademik dan hukum terbaik yang menjelaskan implementasi hubungan agama dan negara dalam ketatanegaraan kita, khususnya ketika menjelaskan keterkaitan antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertimbangan MK memberikan gambaran jelas mengenai paradigma simbiotik antara agama dan negara; di mana wilayah agama dan di mana wilayah negara. Keduanya memiliki wilayahnya masing-masing dan berjalan beriringan, tidak bersimpang jalan, pun juga tidak saling berebut wilayah garapan.
Dalam pertimbangannya, MK telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa mengenai keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan. Peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi keagamaan tersebut”.
Dalam relasi agama dan negara pada masalah perkawinan, maka agama yang menentukan keabsahan perkawinan. ... Mahkamah telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum”.
Berdasarkan putusan MK ini, jelas sekali bahwa negara tidak boleh masuk pada ranah hukum agama; menentukan hukum sah atau tidak sahnya perkawinan yang merupakan domain agama. Demikian juga seharusnya, negara tidak masuk dalam hal menentukan halal-haram dalam konteks jaminan produk halal. Ketika negara masuk pada wilayah agama, maka negara bisa dikategorikan offside dan bisa merusak prinsip bernegara serta konsensus nasional kita. Mengutip Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, negara kita ini adalah negara kesepakatan; Darul Mitsaq. Dan paradigma simbiotik merupakan bagian dari al-mitsaq. Begitu keluar dari koridor paradigma simbiotik dalam relasi agama dan negara, berarti telah keluar dari mitsaq; dan harus diluruskan.
Menghidupkan Fatwa: Prinsip Living menuju Fatwa Progresif
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Untuk mengoptimalkan peran fatwa dalam mewujudkan kemaslahatan publik, menghidupkan fatwa dalam kesadaran kolektif, serta mengefektifkan proses transformasi fatwa dalam perilaku dan kebijakan publik, dibutuhkan langkah-langkah penguatan fatwa, baik pada metodologi, substansi, maupun administrasi dan advokasi fatwa.
Untuk kepentingan itu, saya merumuskan konsep “Living” dalam penetapan fatwa. Living Fatwa dapat dimaknai sebagai upaya menghidupkan dan menghadirkan fatwa sebagai panduan bagi masyarakat serta menjadikannya hidup dalam perilaku yang menyatu dengan denyut nadi kehidupan masyarakat.
Secara detil; prinsip penetapan fatwa agar hidup perlu mangdopsi pendekatan Living, yaitu Luwes, Implementatif, Visioner, Ilmiah, Nalar-kritis, dan Gerak-dinamis.
1. Luwes (murunah)
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Fatwa keagamaan memiliki karakter yang murunah, luwes, lentur dan fleksibel. Murunah dalam fatwa merupakan manifestasi dari prinsip “al-yusr” atau kemudahan yang menjadi karakter dasar dalam pensyariatan hukum.
Kelenturan dalam penetapan fatwa tidak berarti tasahuli (menggampangkan dalam berfatwa), terlebih tahakkum, (menetapkan hukum tanpa dasar ilmu). Kelenturan fatwa tetap dalam koridor kaedah hukum syar’i, mendasarkan diri pada metode ijtihad dan pedoman dalam penetapan fatwa. Ada quyud dan dlawabith yang dipegang secara konsiten. Namun pada saat yang sama, fatwa bersifat lentur, khususnya terhadap masalah-masalah yang masuk kategori “al-mutaghayyirat”.
Kelenturan fatwa memiliki basis akademik melalui berbagai kaedah fikih, di antaranya kaedah yang disampaikan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin yang menyatakan:
تغير الفتوى واختلافها بحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد
"Perubahan fatwa dan perbedaannya disebabkan oleh perubahan waktu, tempat, kondisi, niat dan dan adat istiadat."
Dalam fatwa MUI, perubahan fatwa dapat terlihat dalam berbagai fatwa yang ditetapkan, di antaranya saat menetapkan fatwa tentang Vaksin Meningitis.
Pada 2009, MUI menetapkan hukum boleh (mubah) penggunaan vaksin Meningitis produksi GSK; yang dalam proses pembuatannya telah terjadi persinggungan dengan bahan babi. Kebolehan ini berlaku hanya sementara selama belum ditemukan vaksin Meningitis yang memenuhi standar halal. Tahun berikutnya, 2010, setelah adanya Produk Vaksin lain yang dalam proses produksinya memenuhi standar halal, maka Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2009 dinyatakan tidak berlaku, mengingat sudah ada Vaksin yang halal.
Akan tetapi, tidak semua perubahan kondisi dapat mengubah fatwa. Fatwa MUI tentang Vasektomi, merupakan salah satu contohnya. MUI pada 1979 telah memfatwakan bahwa vasektomi/tubektomi hukumnya haram, karena masuk kategori tahdidun nasl, atau pembatasan keturunan permanen. Pada 2009 ada informasi ilmiah bahwa vasektomi dapat dipulihkan kembali pada situasi semula.
Setelah mendengar penjelasan ahli urologi dan BKKBN, kembali ditetapkan bahwa vasektomi hukumnya tetap haram. Pada 2012, ada pertanyaan kembali mengenai hukum vasektomi seiring dengan perkembangan baru. Dan Penemuan ilmiah tersebut, sebagai “novum baru” belum bisa dijadikan alasan syari mengubah hukum, forum Ijtima Ulama menyatakan Vasektomi hukumnya tetap haram, kecuali kondisi tertentu.
2. Implementatif (‘amaly, tathbiqi)
Fatwa yang ditetapkan harus dipastikan dapat terimplementasi. Karena itu sebelum fatwa ditetapkan, mufti harus mengenal bagaimana kondisi mustafti dan dampak yang ditimbulkan dalam hal implementasi fatwa. Fatwa harus melihat realitas sosial di mana dan bagaimana fatwa diminta, dan apa dampak yang ditimbulkan jika fatwa dilaksanakan. Siapa yang akan melaksanakan dan dalam konteks apa.
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Contoh kasus bagaimana fatwa harus implementatif adalah fatwa-fatwa terkait COVID-19. Penerapan protokol kesehatan saat Wabah Covid 19 berpengaruh dalam redefinisi pemahaman dan praktek hukum Islam, khususnya ibadah yang dilaksanakan secara berjamaah. Ibadah shalat Jumat itu adalah suatu kewajiban. Sebagian masyarakat menilai kewajiban tersebut harus dilaksanakan dan tidak dapat ditinggalkan, meski ada wabah.
Ada dilema dan kegamangan. Atas dasar itulah kemudian Majelis Ulama Indonesia melakukan pembahasan dan penetapan fatwa tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 yang ditujukan sebagai panduan bagi umat Islam untuk tetap taat menjalankan ibadah, tapi komitmen terhadap penanggulangan wabah.
Pertimbangan untuk mencegah kemafsadatan didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan. Dar’ul Mafasid Muqaddamun ala Jalbil Mashalih.
Saat Ramadhan dan Idul Fitri 2020, MUI menetapkan fatwa tentang Panduan Kaifiat Takbir Dan Shalat Idul Fitri Saat Pandemi Covid-19. Salah satu yang diatur dalam Fatwa ini adalah ketentuan shalat Idul Fitri di rumah. Sesuatu yang tidak lazim, tetapi dibolehkan secara fikih.
Di awal penetapan fatwa, tidak jarang muncul pro-kontra, resistensi, bahkan tuduhan pendangkalan keagamaan. Namun akhirnya Fatwa-fatwa MUI terkait dengan Covid-19 diterima sebagai panduan dalam perilaku keagamaan publik dan juga dijadikan dasar serta rujukan dalam menetapkan kebijakan publik.
Survey yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI dengan responden 13.549 orang muslim yang menguji pengetahuan umat Islam terhadap Fatwa MUI terkait pencegahan penyebaran Covid-19, menunjukkan tingginya penerimaan fatwa MUI di tengah masyarakat. Ketika disodori pertanyaan “Apakah Anda tahu fatwa MUI Pusat tentang pencegahan penyebaran Covid-19?” Mayoritas responden mengetahui keberadaan Fatwa MUI No.14/2020, yaitu sebesar 95.98 persen dan juga memahami isinya. Hanya 4,02% yang tidak mengetahuinya.
Selanjutnya, menjawab pertanyaan mengenai kesiapan mengikuti fatwa MUI, Sebanyak 95, 38 % responden menyatakan kesiapannya untuk mentaati fatwa MUI dalam hal tidak shalat jamaah dan Jumatan di masjid jika wilayahnya tidak terkendali. Sementara itu masih ada 3,78% responden yang menyatakan tidak siap.
Pendekatan fatwa dengan memperhatikan aspek tathbiqi ini memungkinkan fatwa bisa hidup dan menjadi panduan dalam perilaku keagamaan publik, meski menghentak kesadaran keagamaan yang selama ini telah terpraktikkan lama.
3. Visioner (mustaqbaliah)
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Agar fatwa dapat diterima dalam kesadaran hukum masyarakat, penetapan fatwa harus visioner dan menjangkau ke depan. Karenanya dalam penetapan fatwa perlu melakukan nazhar fii maalat al-af’al (melihat pada akibat hukum).
Penetapan Fatwa harus mempertimbangkan sisi keberlakuan dan dampak yang ditimbulkan pasca keberlakuannya. Pertimbangan penetapan fatwa perlu menjangkau pada akibat yang ditimbulkan jika diimplementasikan; dengan mengupayakan terwujudnya kemaslahatan serta sedapat mungkin menghindarkan diri dari mafsadat yang ditimbulkan.
Melihat “ma’alat al-af’al” meniscayakan penetapan fatwa yang dinamis (tathawwury) dan tidak statis (ghair sukuny). Melihat aspek ma’alat al-af’al merupakan faktor yang dapat mendinamisir penetapan fatwa, terutama di bidang muamalah.
Teori ma’alat al-af’al menuntut adanya pertimbangan tiga hal dalam penetapan fatwa; pertama, aktifitas perbuatan, kedua, kodisi “al-waqi” yang melingkupi di mana perbuatan itu dilakukan serta lingkungan yang mempengaruhinya, dan ketiga, dampak yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut di kemudian hari. Teori ma’alat al-af’al berkaitan dengan dua kaedah untuk melindungi tujuan syari’at yaitu kaidah dzari’ah dan al-hiyal al-syar’iyyah; serta dua kaedah untuk mewujudkan kemsalahatan mukallaf, yaitu istihsan dan mura’at al-khilaf.
Fatwa MUI tentang Nikah Di Bawah Tangan menjadi salah satu fatwa yang mengadaptasi teori maalat al-af’al. Fatwa ini menjelaskan bahwa sekalipun hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi Pernikahan Di bawah Tangan haram jika terdapat madharat. Karenanya, pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/madharrat (saddan lidz-dzari’ah).
Ketentuan dalam fatwa ini juga sejalan dengan prinsip maslahah mursalah¸ khususnya terkait dengan keharusan pencatatan pernikahan. Hal ini juga ta’yid (menguatkan) atas kebijakan publik terkait administrasi perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Fatwa ini sekaligus menunjukkan pola hubungan simbiotik antara agama dan negara.
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Demikian juga Fatwa tentang Standardisasi Fatwa Halal. Di samping konsen terhadap komposisi dan proses produksi, Fatwa MUI mengatur soal bentuk, aroma, rasa, nama, dan gambar kemasan produk. Jika kita melihat material semata, maka fatwa tidak dapat menjangkau soal bentuk. Akan tetapi, dengan pendekatan “ma’alat al-af’al”, fatwa MUI menetapkan bahwa produk pangan yang menggunakan nama atau bentuk yang diharamkan tidak bisa ditetapkan kehalalannya. Ini untuk mencegah adanya permisifitas masyarakat terhadap sesuatu yang diharamkan.
Tidak jarang muncul pr-kontra di tengah masyarakat menyikapi fatwa ini. Beberapa waktu lalu terjadi kehebohan publik dengan adanya nama-nama menu makanan dari Mie Gacoan, seperti mie iblis, mie setan, es Tuyul hingga es Pocong. Masyarakat perlu terus diedukasi. Sekalipun bahan dan proses produksinya telah memenuhi standar halal, pelaku usaha juga harus menggunakan nama atau bentuk yang tidak terasosiasi pada barang yang haram dan/atau najis serta kekufuran.
Setelah dilakukan penjelasan dan edukasi, pada 10 Februari 2023, manajemen Mie Gacoan memberikan klarifikasi di kantor MUI, bahwa per 1 Februari 2023 manajemen sudah mengubah nama-nama menu, menjadi nama-nama yang basisnya permainan tradisional, seperti gobak sodor. Perlu ada langkah persuasi agar fatwa MUI dapat dipahami oleh masyarakat dan kemudian dipedomani. Upaya memahamkan masyarakat terhadap tujuan di balik penetapan fatwa ini perlu terus dilakukan hingga menjadi kesadaran hukum dan diterima baik sehingga menyatu dengan hukum yang hidup dalam nalar dan perilaku masyarakat.
4. Ilmiah (manhaji)
Bagian dari upaya menghidupkan fatwa dalam masyarakat yang terus berubah adalah memastikan penetapan fatwa didasarkan pada argumen yang berbasis akademik, ilmiah, metodologis, serta menjaga integritas keilmuan.
Fatwa yang ilmiah adalah fatwa yang mengikatkan diri pada metode ijtihad yang shahih; metodologis (manhajiyah), yang berarti bahwa cara berpikir didasarkan kepada metode yang disepakati oleh para ulama, baik ilmu tafsir, ilmu hadits, ushul fiqh, maupun qawaid fiqhiyyah; bukan produk yang dihasilkan tanpa batasan dan tanpa aturan (bilaa hudud wa laa dlawabit). Fatwa ditetapkan atas kekuatan dalil dan argumen ilmiah, bukan oleh banyaknya suara. Karenanya tidak dikenal voting dalam penetapan fatwa MUI.
Dalam penetapan fatwa, khususnya pada masalah aliran keagamaan, ibadah, dan pangan, menggunakan pendekatan ihtiyath (mengambil pandangan keagamaan yang paling hati-hati) serta sedapat berpegang pada prinsip al-khuruj min al-khilaf (mungkin keluar dari perbedaan pendapat).
Penetapan fatwa meniscayakan pandangan ahli yang memiliki kompetensi untuk memperoleh “tashawwur masalah” secara utuh tentang substansi yang akan difatwakan.
Fatwa produk halal menempatkan “ulama di bidang pangan” sebagai referensi utama dalam penetapan kehalalan produk. Dalam Fatwa MUI tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal misalnya, fatwa mengakomodasi perkembangan ilmiah di bidang teknologi peternakan; semisal penyembelihan mekanis dan proses stunning (pemingsanan) penyembelihan hewan. Fatwa tersebut menetapkan, Stunning (pemingsanan) untuk mempermudah proses penyembelihan hewan hukumnya boleh, dengan syarat; hanya memingsankan sementara, tidak menyebabkan kematian serta tidak menyebabkan cedera permanen. Dan operasionalisasinya, dilaksanakan oleh ahli di bidangnya.
Salah satu pertimbangan penyembelihan dengan menggunakan stunning adalah aturan mengenai animal welfare. Dalam fatwa, prinsip animal welfare dikontekstualisasi dengan perspektif ihsan dalam proses penyembelihan. Syarat dan kondisinya dioperasionalkan sesuai dengan disiplin keilmuan yang memiliki keahlian.
Fatwa terkait aliran keagamaan, harus didahului dengan penelitian yang memenuhi kaedah keilmuan; empiris, konfirmasi, dan analisis mendalam atas masalah yang hendak dikaji. Secara kelembagaan, tugas penelitian dan penemuan ilmiah dilakukan oleh Komisi Pengkajian yang hasilnya dijadikan referensi dan rujukan dalam pembahasan dan penetapan fatwa di Komisi Fatwa.
5. Nalar-kritis (tafkir-naqdy)
Ada kalanya fatwa menjawab pertanyaan yang diajukan; namun bisa jadi fatwa ditetapkan menjawab masalah yang dibutuhkan, bukan sekedar yang ditanyakan. Di sinilah pentingnya nalar-kritis bagi mufti dalam membahas dan menetapkan fatwa. Hal ini bisa terlihat saat maraknya fenomena pencabulan sesama jenis, kemudian muncul pertanyaan mengenai hukum LGBT. Setelah mengkaji secara mendalam, MUI akhirnya menetapkan Fatwa Nomor 57 Tahun 2014 tentang LGSP (Lesbi, Gay, Sodomi, dan Pencabulan).
Fatwa ini menjelaskan tentang makna LGBT yang di publik cenderung dicampuradukkan antara orientasi seksual dengan aktifitas seksual menyimpangnya. Fatwa ini menjelaskan bahwa orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan.
Fatwa ini ditetapkan untuk menegaskan hukum, dan sekaligus menunjukkan posisi agama yang jelas dan tegas. Mengambil momentum maraknya kejahatan dan penyimpangan seksual, sementara ada gerakan yang terus berusaha membangun persepsi publik agar LGBT diterima sebagai sebuah realitas sosial.
Nalar kritis juga diterapkan dalam pembahasan Fatwa ketika ada pertanyaan tentang hukum Sunat terhadap Perempuan. Ada pertanyaan mengenai hukum sunat perempuan, dengan sajian praktek sunat yang menyimpang. Sementara, ada upaya sistematis untuk melarang praktek sunat perempuan, bahkan sudah dituangkan dalam SE Kementerian Kesehatan tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan Petugas Kesehatan pada 2006, yang pada intinya melarang tenaga kesehatan, termasuk bidan untuk melakukan sunat pada bayi perempuan. Atas dasar itu, MUI tidak sekedar menetapkan hukum sunat perempuan, tetapi menetapkan Fatwa Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan, yang intinya menjelaskan bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan hukum Islam. Fatwa juga menjelaskan mengenai tata cara khitan yang benar secara syari, serta harus aman secara medis.
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Fatwa tidak boleh ditetapkan tanpa memahami detil substansi masalah yang difatwakan, lengkap dengan konteksnya; dan dalil-dalil yang menjadi pertimbangannya. Namun, kita tidak boleh membiarkan orang tanpa panduan fatwa ketika pertanyaan sudah disampaikan. Harus menjadi kesadaran kolektif pemegang otoritas fatwa bahwa membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan. Kaedah fikih mengatur:
لايجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة
"Tidak boleh menunda penjelasan lewat dari waktu yang dibutuhkan."
6. Gerak-dinamis (harakah-tathawwuriyyah)
Salah satu karakteristik fatwa yang notabene merupakan hasil ijtihad adalah gerak dinamis (tathawwuriyyah), mengikuti dinamika dan perkembangan zaman. Dengan demikian fatwa tetap dapat menjawab persoalan-persoalan baru atau terbarukan (masail jadidah au mustajaddah) yang muncul.
Karakteristik fikih yang dinamis menuntut adanya penetapan fatwa yang responsif terhadap dinamika sosial kemasyarakatan, yang mampu merespons dinamika dan perkembangan zaman. Penetapan fatwa baru yang responsif dan solutif ini menjadi kebutuhan, dan bahkan keharusan seiring dengan adanya permasalahan yang membutuhkan jawaban hukum, sementara nash al-Quran dan Sunnah jumlahnya terbatas, sementara masalah baru dan yang terbarukan (al-jadidah wa al-mustajaddah) terus muncul. ANNUSHUSHU MAHDUDAH WAL HAWADITS MUSTAJADDAH.
Tugas mufti, baik personal maupun institusi; di samping menetapkan hukum, juga mengikhtiarkan keberlakuan fatwa, sesuai dengan domainnya. Advokasi dan proses taqnin menjadi salah satu jalan menuju implementasi fatwa dalam ranah yang lebih luas.
Salah satu upaya implementasi fatwa, di samping soal substansi, MUI menginisiasi format fatwa dalam bentuk bahasa yang mudah dipahami, dan mudah dikutip. Ia mudah dirujuk dan dijadikan sandaran dalam implementasi. Fatwa yang ditetapkan memiliki kepastian dengan jawaban yang jelas, sehingga publik/mustafti tinggal mengambil, tidak dihadapkan kembali pada pilihan-pilihan; apalagi jawaban yang mengambang.
Format dan sistematika fatwa yang sederhana akan lebih mudah dijadikan rujukan dan implementatif, terlebih di era milenial yang mencirikan keserbainstanan dalam gaya hidup, termasuk dalam belajar keagamaan. Madah (substansi fatwa) diperhatikan, tetapi thariqah (metode) dalam penyampaian fatwa juga harus diperhatikan agar sejalan dengan demand masyarakat umum. Kalau hal ini tidak diantisipasi secara baik, maka yang terjadi adalah upaya merujuk fatwa-fatwa dari para pelaku enternainment, meski kering madah (substansi).
Menghidupkan Fatwa dalam Perilaku dan Kebijakan Publik di Era Milenial: Belajar Dari Pengalaman
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Sebagai catatan akhir dari pidato ini, saya mau menyampaikan bahwa apa yang saya paparkan di atas merupakan refleksi perjalanan akademik yang didasarkan pada keterlibatan langsung, dalam proses pengkajian dan perumusan fatwa hingga menerjemahkannya dalam berbagai kebijakan publik. Saya menjadi salah satu bagian kecil dari proses ifta dan juga taqnin sehingga; pernyataan disclaimer; obyektifitas kajian ini juga terpengaruh dari sisi subyektifitas saya sebagai bagian di dalam proses tersebut.
Setiap orang melakukan aktifitas dipengaruhi dengan disiplin keilmuannya. Demikian juga saya. Sejak 2005 saya berkhidmat dalam dapur pembahasan dan penyusunan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya, lebih 13 tahun saya memperoleh amanah dalam jabatan publik, dan karenanya kebijakan publik yang diambil tidak lepas dari latar belakang keilmuan yang saya miliki, yaitu bidang ilmu fikih.
Dari paparan saya di bagian terdahulu tergambar jelas bagaimana disiplin ilmu fikih, khususnya fatwa MUI menjelma dalam perilaku dan juga kebijakan publik, baik dalam bentuk kebijakan regulatory maupun kebijakan substantif dan prosedural. Ada pola yang beragam dalam proses transformasi tersebut, namun tetap konsisten dalam paradigma simbiotik yang meneguhkan hubungan agama dan negara secara harmonis, dan saling mendukung, kecuali beberapa dinamika yang menggeser paradigma tersebut, namun tidak menjadi arus utama; baik geser ke sekularistik maupun integralistik.
Prinsip LIVING yang dilaksanakan dalam proses ifta’, akan bisa mengakselerasi trasformasi fatwa dalam perilaku dan kebijakan publik, dalam koridor paradigma simbiotik. Fatwa menjelma dalam perilaku publik menjadi hukum yang hidup (living law) yang terus dipedomani meski tanpa kehadiran negara. Namun, pengaruhnya akan semakin kuat jika fatwa dapat diserap dalam peraturan dan kebijakan publik. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan Syeikh Nawawi al-Bantani; idza amaral imam bi wajibin ta’akkada wujubuhu.
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia
Demikian pidato yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat bagi saya untuk terus berkontribusi dalam medan perkhidmatan yang diamanahkan, dan semoga juga bermanfaat bagi pembangunan hukum nasional yang maslahat bagi semua.
Selanjutnya izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada sejumlah pihak yang telah memberikan bimbingan, kontribusi, dukungan dan sumbangsih yang luar biasa sehingga mengantarkan saya memperoleh jabatan akademik tertinggi sebagai guru besar dalam bidang fikih.
Mereka antara lain adalah: yang pertama kali dan yang paling utama untuk disebut, kedua orang tua kami, ayahanda alm. K.H. Sholeh Sholihuddin yang meneladankan tentang sikap sabar dan syukur dengan penuh tawakkal; sosok santri Pondok Mojosari Nganjuk yang berguru langsung kepada Kyai Zainudin Mojosari; terlahir 100 tahun lalu, tepatnya 1923; lebih 20 tahun mondok hingga terlambat menikah, menikah di usia 35 tahun; mengajar ngaji kepada santri, istiqamah menjadi imam rawatib dan imam tarekat hingga akhir hayatnya; dan Ibunda Hj. Hamdiyah Mahfudz, yang kini berusia 80 tahun, berkeinginan untuk hadir dalam acara hari ini; namun karena kuasa-Nya; beliau harus istirahat sehabis operasi katarak, untuk satu keinginan n harapan; agar bisa kembali jelas dalam mendaras al-Quran yang menjadi kebiasaan sehari2anya; yang tak putus mendoakan anak-anaknya; untuk terus berbuat manfaat bagi sesama.
Segenap kakak dan adik; (Kakak/adik: Dr. KH. Abdul Halim Sholeh, Drs. Abdul Hafidz Sholeh, Hj. Nisauz Zuhdiyah, Abdul Haris Sholeh, Siti Safinatuz Zahra, Siti Mahmudah, Abdurrouf Sholeh, dan Ikhwan; Kedua orang tua KH Afif Ma’shum dan Hj. Ellya Rasyidah; Istri dan anak-anakku terkasih (Hj. Lia Zahiroh, MA, Ahmad Raushan Fikr Aslaf, Ahmad Bahr Mughriq Aslaf, Ahmad Tajul Ulama Aslaf, Aisyah Laali Adzkiya Aslaf, Aminah Asmal Amany Aslaf); belahan jiwa dan permata hati; Qurrat a’yun.....
Yang mulia Presiden RI (Bapak Ir. H. Joko Widodo) yg telah memberikan amanah dalam jabatan pimpinan tinggi madya, Wakil Presiden RI (KH. Prof. Dr. Ma’ruf Amin); Menteri Agama RI (Gus H. Yaqut Cholil Qoumas) beserta segenap pejabat terkait di Kementerian Agama RI; Menteri Pemuda dan Olahraga (Prof Dr. Zainudin Amali); serta para pejabat tinggi utama, madya, dan pratama di Kementerian dan Lembaga, khususnya yang tergabung dalam Tim Koordinasi Strategis Lintas Sektor Pelayanan Kepemudaan.
Ketua dan Sekretaris Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. & Prof. Dr. Masri Mansyur, M.A.); Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A.) beserta segenap Wakil Rektor, para Dekan, Direktur SPs, para Kepala Biro, para Kepala Bagian, dan seluruh sivitas akademika;
Rais Am PBNU al-mukarram KH. Miftahul Akhyar yang telah memberikan amanah kami untuk berkhidmah dan seluruh pengurs Syuriyah PBNU; Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf beserta segenap jajaran pengurus PBNU; Pengurus Badan Otonom, Lembaga, dan juga badan khusus di lingkungan PBNU.
Ketua Umum MUI beserta seluruh Dewan Pimpinan MUI, para Wakil Ketua Umum MUI (almukarram Buya Dr. Anwar Abbas, Dr. KH. Marsyudi Syuhud, Buya Basri Barmanda); Sekjen MUI Dr. Amirsyah Tambunan, Dewan Pertimbangan MUI, Pimpinan Lembaga, Badan, dan Komisi di MUI, wabil khusus Pimpinan dan Anggota Komisi Fatwa MUI, serta Pimpinan dan Anggota Dewan Syariah Nasional; tempat di mana hampir separuh waktu perkhidmatan berada;
Kepala BPJPH Sahabat Dr. Muhammad Aqil Irham dan seluruh ekosistem sertifikasi halal; Rekan-rekan pimpinan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), para Auditor Halal, para pendamping dan pegiat halal.
Pimpinan WHFC, khususnya Komite Syariah dan seluruh anggota WHFC yang terus saling menguatkan dalam membangun ekosistem halal global
Imam Besar Masjid Istiqlal dan keluarga besar BPMI, pengelola dan mahasiswa Pendidikan Kader Ulama;
Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum (para Dosen/Guru Besar, Dekan Wakil Dekan, Ketua dan Sekretaris Program Studi, Kabag TU, Sub Koordinator, Kepala Laboratorium, Kaur Perpustakaan, dan segenap staf );
Keluarga besar Pesantren al-Nahdlah Depok; Yayasan Lembaga Studi Agama dan Sosial (Mas Hilmi, Rekan Masud, Rekan Ridwan); Keluarga besar LIPIA Jakarta, Keluarga Besar IAI al-Aqidah Jakarta, Keluarga besar Pesantren Az-Ziyadah Klender Jakarta, Keluarga besar Pesantren al-Asy’ariyah Kalibeber Wonosobo; Keluarga besar Santri Kaliwates Jember; Keluarga besar Pesantren Darus Sholah dan Pesantren Miftahul Ulum Jember; Keluarga besar MTs Pesantren Darul Muta’allimin Sugihwaras Patianrowo Nganjuk; Keluarga besar MI Hayya Alal Falah Karangtengah Baron Nganjuk; Keluarga besar SDN Garu III Baron Nganjuk;
Para kolega di Kemenpora RI; Sesmenpora Pak Gunawan, Deputi Pemberdayaan Pemuda Prof Faisal Abdullah, Deputi Pembudayaan Olahraga Dr. Raden Isnanta, serta seluruh pejabat dan Staf di Kementerian Pemuda dan Olahraga RI
Para kolega di KPAI, Komisioner periode 2010 – 2014, Komisioner periode 2014 – 2017, para staf ahli, mitra KPAI, dan pegiat perlindungan Anak; di mana saya 7 tahun menjadi bagian terdalamnya.
Para kolega dalam bidang ekonomi dan keuangan syariah; Rekan-rekan di Dewan Syariah Nasional, baik Badan Pengurus, Pleno, Badan Pelaksana Harian; Rekan-rekan regulator, khususnya pimpinan OJK, Kementerian Keuangan, BI, LPS, para pimpinan lembaga keuangan syariah, dan seluruh pegiat serta stakeholder ekonomi dan keuangan syariah.
Ketua BAZNAS Prof. Dr. Nur Ahmad dan segenap Pimpinan BAZNAS, pimpinan Lembaga Amil Zakat Nasional, baik yang tergabung dalam FOZ maupun POROZ serta para dewan pengawas syariah yang bertugas untuk memastikan kesesuaian syariah dalam pengelolaan zakat, agar komitmen Aman Syari dapat terjamin, di samping Aman Regulasi, dan Aman NKRI sbagaimana yang digariskan BAZNAS RI.
Ketua Umum MES Pak Erik Thohir dan Sekjen Iggi Ahsin serta seluruh pengurus MES. Ketua Umum ICMI Prof Arif Satria dan seluruh pengurus ICMI periode 2022-2027. Ketua Umum DPN KORPRI Prof Zudan Arif Fakhrullah dan seluruh pengurus periode 2022-2027.
Rekan-rekan Pimpinan BAPOR KORPRI, yang baru saja menyelenggarakan Munas ke-9 tanggal 15 Februari 2023, dan mengamanahkan saya sebagai Ketua Umum; semoga PORNAS KORPRI Bulan Juli di Jawa Tengah bisa berjalan sukses. Pak Gub
Ketua Umum PB IKA-PMII Mas Dr. Ahmad Muqawam dan seluruh sahabat PB IKA-PMII periode 2019-2024, serta IKA-PMII DKI, Keluarga besar PB PMII; Ketuam Umum Asosiasi Dosen Pergerakan Prof Abdurrahman Masud dan Keluarga besar ADP.
Ketua Presidium Majelis Alumni IPNU Mas Hilmi Muhammadiyah dan seluruh pengurus serta alumni dan aktifis IPNU seluruh Indonesia. Ketua Umum IKALUIN Dr. Tb Ace Hasan Syadzili dan seluruh pengurus IKALUIN
Ketua IKAL Lemhannas PPSA XX Komjen Pol DR. Petrus Golose beserta seluruh sahabat alumni Lemhannas PPSA XX. Ketua Alumni PKN 1 Angkatan 44 LAN-RI Brigjen Pol Gupuh Setiyono dan seluruh keluarga besar alumni PKN 1 Angkatan 44
Keluarga Besar Komisi X DPR-RI, segenap pimpinan dan Anggota Komisi X, tenaga ahli, dan staf sekretariat; di mana saya selama 6 tahun menjadi tenaga ahli dan kemudian lebih 5 tahun menjadi mitra kerja. Tahun 2008 sapai 2009 terlibat menyusun UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan sebagai Koordinator Tim Ahli DPR-RI, dan, dengan izin dan kehendak Allah SWT, 8 tahun berikutnya, tahun 2017, diberikan amanah untuk melaksanakannya.
Rekan-rekan mitra selama menjalankan tugas profesional; Pimpinan Kwarnas Pramuka, pimpinan organisasi kepemudaan, organisasi kemahasiswaan dan organisasi kepelajaran; baik intra maupun ekstra.
Para guru besar dan mentor langsung saya (alm. Profesor Huzaemah Tahido Yanggo, alm Profesor Hasanuddin AF, alm Dr. Satria Effendi M. Zein, Dr. Salim Segaf al-Jufri, DR. Al-Khatam Abdullah (Sudan), Prof. Dr. Ibrahim Atho’ Sya’ban (Mesir), Dr. Umar (Palestina), Syeikhul Azhar Prof Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Syaikhul Azhar Prof DR. Ahmad al-Thayyib, Prof. Dr. Sayyid Aqil Husein al-Munawwar, Prof. Masykuri Abdillah, Prof. Muhammad Amin Suma, Prof. M. Atho Mudzhar, Profesor Fathurrahman Djamil, Profesor Amany Lubis, Profesor Rif’at Syauqi Nawawi, Profesor Nasarudin Umar, alm. Prof. Harun Nasution, Prof. Ahmad Thib Raya; alm. Dr. Wahib Mu’ti, dan juga alm Prof. Suwito.
Para mentor pergerakan yang muatstsir; Prof Kyai Makruf Amin, alm. Kyai Hasyim Muzadi, alm Gus Sholah, Kyai Prof. Said Aqil Siraj, alm Mas Ichwan Sam, alm Mas Slamet Efendi Yusuf, alm Pak Said Budairi, Mas Din Syamsudin, Mas Hilmi Muhammadiyah, Mas Dr. Zainut Tauhid Sa’adi, Mas Ulil Abshor Abdalla, Gus Muhaimin Iskandar, Kang Endin AJ Soefihara, mas Ahmad Muqowam, Bang Amsar, Rekan Abdullah Azwar Anas, Rekan Faishal Helmi, dan juga Ali Ramdhani.
Para karib sejawat; Miftahul Huda, Asrori S. Karni, Ilham Khoiri, Azharudin Lathif, Sholahudin al-Ayubi, Hasanudin, Jaih Mubarok, Cholil Nafis, Khoirul Huda, Syamsul Maarif, Doni Ahmad Munir,
Guru-guru waktu di jenjang pendidikan menengah dan dasar; Ust Hamam Sulthan, Ust Rojudin, Ust Abdul Muhit Rubai, Ust Muhayyan Imam Mukti, Ust Faisal Nasar bin Madhi, pamanda Kyai Arif Mahfud, Pak Sirojudin, Pak Saelan, Mas Hayyin Nur, Pak Mustajib Aziz, Pak Abdullah Sajjad, Pak Hamdi, Pak Mahasi, Pak Bunyamin, Pak Hisyam, Pak Sugito, dan lain-lain.
Tim teknis UIN yang memberikan support luar biasa (Mufidah, M. Ishar Helmy, Bu Yosi, Mas Halim) dan semua pihak yang tidak tersebut dalam list ini (bisa jadi karena terlupa atau terlewat) tanpa mengurangi rasa hormat dan syukur kami saya ucapkan banyak terima kasih. Semoga Allah SWT membalas jasa baiknya dan mencatatnya sebagai amal kebaikan.
Mohon maaf atas segala khilaf.....
Wa maa taufiiqy illaa billah
Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’ma al-mawla wa ni’ma al-nashir.
Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ilaa Aqwamith Tharieq
Wasaalamu ’alaikum Wr. Wb.
Jujur, saya yang terbiasa menghadapi banyak ragam forum; hari ini saya sentimentil dan emosional; gugup dan grogi. Semoga situasi kebatinan ini tidak mengganggu konsentrasi saya dalam menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam pidato ilmiah ini.
DNA saya adalah pengajar. Meski saya selama ini mengemban tugas di luar kampus dan memperoleh pembebasan tugas dan kewajiban mengajar, namun saya tidak sejengkal pun meninggalkan dunia akademik; tetap mengajar, menjalankan tugas Tri Darma Perguruan Tinggi, sejak dulu hingga kini.
Benar, bahwa guru besar adalah jabatan akademik tertinggi dalam karir akademisi. Namun, bagi saya, jabatan guru besar ini justru awal untuk meneguhkan pengabdian akademik dalam ranah publik; meneguhkan pengabdian tiada henti, dan beribadah tak kenal lelah. Jabatan guru besar ini justru sebagai penjaga agar terus mengembangkan diri guna memantaskan diri dengan gelar tertinggi tersebut. “Professor masak gitu...”
Ciputat, 22 Februari 2023
Prof. Dr. H. Asrorun Niam Sholeh
Editor: Fathoni Ahmad