Jakarta, NU Online
Dari manakah munculnya sebuah syair lagu pada seorang pengarang? Dari mana pula susunan nada-nada yang kemudian menjadi sebuah aransemen pada karya musik?
Tentang hal itu, Kiai Said Aqil Siroj mengutip penjelasan Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (Imam Ghazali) yang membagi empat lintasan (khawathir) yang sering menimpa semua manusia. Namun, tidak setiap orang bisa memanfaatkannya secara maksimal.
“Begini, musik itu sebenarnya, walaupun ada sekolahnya, itu sebagai pintu masuk saja, untuk mengembangkan bagaimana seseorang itu betul-betul ahli, betul-betul menyatu dengan seni, bukan hanya melulu dari bangku sekolah,” kata Ketua Umum PBNU itu beberapa waktu lalu.
Imam Ghazali, lanjutnya, membagi khawathir ke dalam empat bagian. Pertama, khawathir yang datang dari Allah yang disebut khawathir rabbaniyah.
“Semua kita mendapatkan lintasan (khawathir) dari Allah. Sering. Kalau dipelihara, dipertajam, dipupuk akan menjadi ilham,” kata kiai asal Cirebon ini.
Kedua, khawathir yang datang dari malaikat disebut khawatir malakutiyah. Semua orang pun mendapatkannya. Khawathir ini pun kalau diasah, akan menjadi ilmu laduni.
“Nah, yang dari malaikat itu, salah satunya musik, syair, lagu, talhim. Yang menciptakan lagu Umu Kultsum, satu jam setengah nyanyi, lagu Amal Hayati, Inta Umry, Antal Hub, al-aAwal, coba dari mana itu? Lagu itu dari mana? Dari sekolah? Bukan! Dari bangku kuliah, bukan? Barangkali pegang musiknya dari kuliah, tapi lagunya itu. Itu namanya khawathir malakutiyah,” jelas pengagum Umu Kultsum itu.
Ketiga, khawathir nafsaniyah yang disebut juga hawajis, daya tarik atau dorongan yang datang dari hawa nafsu. Contoh dari khawathir jenis ini adalah kejahatan yang terencana, disusun dengan rapi.
“Ini bukan dari setan, tapi dari manusianya sendiri,” katanya.
Keempat, khawathir yang datang dari setan atau wasawis. Khawathir jenis ini bersifat godaan. Berbeda dengan yang ketiga, khawathir ini bersifat spontanitas dan bisa dilawan kalau mau melawannya.
“Ini tapi tolong jangan dipahami dengan hukum fiqih. Kita bicara musik itu dari perspektif tasawuf. Kalau dari ilmu fiqih, namanya alat malahi, haram! Kenapa? Karena kebanyakan, mayoritas, anak-anak yang bermain musik, lupa shalat, laupa dzikir kepada Allah. Alataul malahi, alat yang melupakan. Tapi sekali lagi, Al-Qur’an sendiri mengatakan, kalau syairnya justru mendekati kepada Allah, mendekatkan diri kepada Allah, insyaallah,” jelasnya. (Abdullah Alawi)