Nur Rofiah: Anak Yatim Piatu juga Butuh Pendampingan Psikologis
Kamis, 19 Agustus 2021 | 12:30 WIB
Jakarta, NU Online
Dosen Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Nur Rofiah, mengibaratkan anak yatim-piatu layaknya bangunan roboh yang kehilangan sandarannya. Dikatakannya, Al-Qur’an memerintahkan kepada umat Muslim untuk memperlakukan anak-anak (yatim) itu secara baik dalam bingkai keluarga maslahah.
“Dalam Al-Qur’an itu ada penyebutan orang tua yang baik, pertama menyebutkannya dengan abawaihi (ayah dan ibu), dan walidaini (kedua orang tua). Maka, yatim-piatu perlu mendapatkan perhatian dari masyarakat, terutama ketika anak itu terlantar kebutuhan hidupnya,” kata Nur Rofiah dalam tayangan di kanal Youtube Halaqah Majelis Taklim, Kamis (19/8).
Ia menyebutkan, prinsip utama dalam keluarga maslahah adalah yang terhubung erat dengan misi Islam untuk mewujudkan sistem kehidupan yang Rahmatal lil ‘Alamin, baik dalam urusan perkawinan, keluarga, masyarakat, negara, dunia bahkan akhirat.
“Sehingga kebaikan atau anugerah di dalam Islam yang dicita-citakan itu adalah kemaslahatan untuk dhuafa/mustadh’afin, termasuk yatim-piatu,” beber Praktisi Keadilan Gender Islam itu.
Maka dari itu, dia menuturkan, anak yatim-piatu tidak hanya membutuhkan bantuan finansial atau biaya pendidikan maupun keperluan hidup sehari-hari saja. Melainkan butuh juga pendampingan secara psikologis, melalui perhatian dan kasih sayang, sebagai tempat untuk berlindung.
“Dan ini akan berpengaruh pada tanggung jawab kemaslahatan kita sebagai Khalifah fil Ardh, dan itu tidak hanya bersifat individu. Sehingga kita tidak hanya diminta untuk ikhtiar menjadi saleh dan salehah, tetapi juga muslih atau muslihah, baik dan bergerak melakukan kebaikan kepada orang lain,” tutur Anggota Majelis Kongres Ulama Perempuan (KUPI) itu.
Lebih lanjut, perempuan yang mendapat gelar doktor dalam bidang Ilmu Tafsir di Universitas Ankara Turki ini menerangkan, bahwa makna seutuhnya keluarga maslahah adalah yang mampu menyejahterakan seluruh anggota keluarga dan bisa melahirkan kebaikan lain di lingkungan masyarakat. Begitu pula masyarakat Islami adalah yang membuktikan keimanannya dengan mewujudkan ketentraman seluas-luasnya.
Hal itu, berlaku pula dalam konteks bernegara, karena tolok ukur kemaslahatan suatu negara ada pada kesejahteraan rakyatnya. “Negara yang Islami itu ditentukan oleh sejauh mana keyakinan pada Tuhan yang maha Esa, dan dibuktikan oleh penyelenggara negara dengan memaslahatkan seluruh warga negaranya, tanpa terkecuali,” penulis buku Nalar Kritis Muslimah ini.
Untuk mewujudkannya, tambah Nur Rofiah, diperlukan strategi pembentukan masyarakat terbaik atau mabadi khaira ummah. Di dalam strategi itu terdapat lima hal agar tercipta masyarakat yang berakhlak baik.
Kelima poin itu, ash-shidqu (kejujuran/transparansi), al-amananah wal-wafa bil-ahdi (dapat mempertanggungjawabkan amanah dan disiplin dalam berjanji), at-ta'awun (Tolong menolong dalam kebaikan dan takwa), al-‘adalah (profesional dan objektif), dan al-istiqamah (konsisten dan berkesinambungan).
“Nah, karakter keluarga maslahah yang juga penting untuk kita pertimbangkan itu karakter sosial dalam berinteraksi dengan yang lain. Antara lain moderat dalam mendidik anak, seimbang dalam mengambil keputusan, konsisten dalam beribadah, toleran dalam melihat keberagaman,” imbuh dia.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Fathoni Ahmad