Nyai Badriyah: Negara Belum Optimal Tangani Kekerasan Seksual
Kamis, 2 Desember 2021 | 13:30 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Ny Hj Badriyah Fayumi mengatakan negara masih tampak merangkak dalam menyelenggarakan upaya perlindungan dan belum mampu menjamin seutuhnya keamanan perempuan dan anak dari kekerasan seksual.
Kenyataan itu, kata dia semakin diperkuat dengan tertundanya pengesahan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
“Penundaan ini menunjukkan kekurangseriusan DPR mencari solusi jalan tengah atas terwujudnya RUU yang secara khusus menjadi payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang menjamin korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan, perlindungan hukum, dan pemulihan,” katanya kepada NU Online, Kamis (2/12/21).
Menurutnya, bila melihat geliat DPR yang sudah menghadirkan puluhan bahkan mungkin ratusan stakeholder, juga dukungan tim ahli dan masyarakat sipil serta kesiapan pemerintah, semestinya itu dapat menjadi pelecut bagi DPR RI untuk segera mengesahkan RUU TPKS.
“Idealnya kan begitu. DPR segera bersepakat menghadirkan RUU yang spesifik dan komprehensif tentang kekerasan seksual, sekaligus memastikan tidak terjadinya hal-hal yang dikhawatirkan para penolak,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur'an wal Hadist Kota Bekasi, Jawa Barat.
Ia menyayangkan sikap alot DPR, pasalnya perlindungan hukum ataupun upaya-upaya penanganan terhadap kasus kejahatan dan juga korban kekerasan seksual dinilai masih kurang optimal. Bahkan produk hukum yang ada saat ini belum bisa menjawab kegelisahan para korban.
“Kekosongan payung hukum itulah yang juga menjadi alasan banyak korban enggan melaporkan kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang dialaminya. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada jumlah data yang kurang akurat terkait kasus-kasus kekerasan seksual sehingga semakin sulit untuk ditindaklanjuti,” terang wakil ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) itu.
Adanya perbedaan sudut pandang dan paradigma, menurutnya, harus bisa segera diselesaikan dengan titik temu, bukan menjadi penghambat pembahasan dan pengesahan.
“Dicari jalan tengahnya, karena kalau tidak begitu penundaan ini semakin menunjukkan lemahnya komitmen DPR dalam legislasi yg pro perempuan dan korban (laki-laki dan perempuan),” jelas dia.
Diungkapkannya, usulan pembahasan RUU itu sudah hadir saat periodisasi DPR RI 2014-2019. Lalu, pada periodisasi DPR RI 2019-2024, RUU ini sempat dibahas oleh Komisi VIII namun dicabut saat evaluasi program legislasi nasional.
Kini, DPR kembali memasukkan RUU tersebut dalam Prolegnas Prioritas 2021 sebagai usul inisiatif Baleg DPR RI. Tetapi usulan itu kembali mendapat penangguhan lantaran mendapat penolakan dari beberapa fraksi partai.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syakir NF