Nyai Sinta Nuriyah Ceritakan Teladan Gus Dur dalam Rumah Tangga
Kamis, 10 November 2022 | 09:00 WIB
Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di sela Bahstul Masail di kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan, Rabu (9/11/2022). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Semasa hidup, Presiden ke-4 Republik Indonesia (RI) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tinggal bersama lima perempuan di dalam rumah, yakni satu istri dan empat putrinya. Keterlibatan Gus Dur di dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan tak bisa terbantahkan.
Sang istri, Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid menceritakan keteladanan Gus Dur dalam rumah tangga yang selalu menghargai istri dan putri-putrinya. Gus Dur juga selalu setuju dan mendukung apa pun yang dilakukan Nyai Sinta.
“Ya memang kami tidak punya anak laki-laki, tapi memang tidak ada perbedaan sama sekali di antara kami. Jadi tidak pernah membeda-bedakan apa pun itu. Kalau kepada saya, apa pun yang saya lakukan, Gus Dur menyetujui. Apa pun yang saya pakai, Gus Dur oke. Tidak pernah Gus Dur mengatakan, ‘oh kamu pakai baju itu nggak pantes atau kekecilan’, tidak,” ungkap Nyai Sinta kepada NU Online di Ciganjur, Jakarta Selatan, pada Rabu (9/11/2022).
“Bahkan, saya yang mencukur rambut Gus Dur. Jadi, nggak ada masalah. Misalnya masakan nggak enak, nggak apa-apa, tetap dimakan. Jadi ya kita hidup bareng-bareng lah,” kata Nyai Sinta usai acara Bahtsul Masail membincang keterlibatan lelaki dalam membangun kesetaraan gender, di kediamannya.
Menurut Nyai Sinta, penghormatan Gus Dur terhadap perempuan bermula sejak ditinggal wafat sang ayah, KH A Wahid Hasyim. Gus Dur menjadi yatim ketika usianya masih kecil. Nyai Sinta menyebut, saat Gus Dur baru lulus Sekolah Dasar.
Sejak Kiai Wahid Hasyim wafat, Gus Dur dan lima saudara kandungnya yang lain dibesarkan oleh seorang ibu, Nyai Solichah. Peran ganda, sebagai ibu dan ayah, dilakukan Nyai Solichah dalam membesarkan anak-anaknya.
“Melihat seperti itu (peran Nyai Solichah membesarkan anak-anaknya), Gus Dur merasa bahwa ibu itu harus dihormati dan dihargai,” tutur Nyai Sinta, salah seorang Mustasyar PBNU itu.
Pandangan keagamaan progresif
Sejalan dengan itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) mengatakan bahwa peran Gus Dur sangat luar biasa dalam memberikan pandangan keagamaan yang progresif tanpa meninggalkan tradisi berpikir para ulama terdahulu.
Menurut Gus Ulil, apabila tidak ada Gus Dur bisa jadi wajah ulama dan santri NU saat ini akan berbeda. Tidak seperti sekarang yang mampu melakukan rekontekstualisasi atas teks-teks keagamaan.
“Gus Dur itu benar-benar mengubah banyak hal, mengubah paradigma kita dalam memandang dan menganalisa masalah, termasuk masalah perempuan ini. Jadi Gus Dur punya peran besar di dalam komunitas Nahdliyin, terutama komunitas kiai,” ungkap Gus Ulil.
Diketahui, Nyai Sinta melalui Yayasan Puan Amal Hayati menginisiasi dan menggelar bahtsul masail (membahas masalah) bertema ‘Meningkatkan Keterlibatan Lelaki dalam Upaya Mencapai Kesetaraan dan Keadilan Gender’.
Diskusi tersebut digelar terbatas. Di antara narasumber yang hadir adalah Gus Ulil, Mustasyar PBNU KH Husein Muhammad, Katib Syuriyah KH Abdul Moqsith Ghazali, dan Menteri Agama 2014-2019 H Lukman Hakim Saifuddin.
Hasil dari bahtsul masail itu untuk sementara menjadi milik Yayasan Puan Amal Hayati. Kemudian akan dirumuskan menjadi sebuah draf rumusan dan rencananya akan diterbitkan menjadi sebuah buku.
Harapannya, masyarakat menjadi paham sehingga tidak menggunakan teks-teks keagamaan untuk kepentingan masing-masing, terutama yang membuat perempuan menjadi korban kekerasan.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori