Nasional

Omnibus Law RUU Cipta Kerja Tak Mendukung Reforma Agraria

Kamis, 7 Mei 2020 | 12:00 WIB

Omnibus Law RUU Cipta Kerja Tak Mendukung Reforma Agraria

Ketua PBNU H Umarsyah. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Umarsyah HS menilai Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja tidak memiliki keberpihakan kepada terwujudnya reforma agraria. Menurut Umar, hingga kini pihaknya belum menemukan adanya pembatasan import komoditas pertanian dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
 
"Di omnbius law, kami belum melihat adanya perubahan karena di situ belum mengatur atau mendukung adanya reforma agraria," kata Umar 
saat mengisi Diskusi Publik yang diselenggarakan Perkumpulan Pengusaha dan Profesional Nahdliyin (P2N) pada Kamis (7/5) secara virtual.
 
Pada diskusi bertema Kontribusi Publik untuk Penyelematan & Pemulihan Ekonomi di RUU Cipta Kerja Pasca Covid-19, Umarsyah menyatakan bahwa pemerintah masih memiliki PR besar untuk mewujudkan sila ke lima dalam Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Umar menyebut pemerintah belum hadir pada persoalan petani.
 
"Pemerintah tidak pernah hadir untuk pengusaha gurem kita. Petani saya sebut sebagai pengusaha gurem," kata Umar.
 
Menurut Umar, selama ini pemerintah tidak mengawal kegiatan pertanian. Pemerintah, kata Umar, merasa hadir dengan hanya memberikan bantuan seperti pupuk, benih, dan peralatan pertanian, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan pengawasan dan pelaksanannya. 
 
"Gak ada yang ngasih tau bagaimana cara mengelola traktor itu dengan baik, bagimana memperlakukan bibit itu dengan baik. Teknologinya ditransformasi, tapi orangnya tidak. Selama ini pemerintah polanya seperti itu: membuat kebijakan-kebijakan, kemudian melaksanakan dengan satu langkah, mewujudkannya dalam bentuk barang, udah titik. Selebihnya terserah. Nah, bukan keadilan seperti ini yang diharapkan oleh petani," terangnya.
 
Umar juga mengemukakan bahwa Kredit Usaha Rakyat (KUR) tidak dapat membantu kebutuhan petani. Sebab perbankan menerapkan sejumlah ketentuan yang mempersulit petani, seperti harus ada off taker atau penjamin bagi petani yang mengajukan kredit.
 
"Bank lebih percaya kepada kapital, pemodal, kartel, dengan petani sendiri gak percaya. Kita mau nanam apa? Jagung. Siapa pembelinya nanti? Udah ditanya seperti itu. Itu sebenarnya zalim, tidak ada keadilan di situ. Petani tidak dipercaya. Loh orang itu nanam dulu, merawat dulu, panen, baru jual. Ini ngelola tanah saja belum, udah ditanya 'siapa nanti yang mau beli? Kalau gak ada yang menggaransi, kami tidak mau mengeluarkan kredit'," terangnya.
 
Pewarta: Husni Sahal
Editor: Kendi Setiawan


Terkait