Pakar Nilai MKMK Main Aman: Harusnya Anwar Usman Dicopot dari Hakim Konstitusi
Rabu, 8 November 2023 | 06:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menyatakan dalam putusannya bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman terbukti melanggar etik berat terkait konflik kepentingan dalam putusan MK soal syarat minimal usia capres-cawapres.
Anwar Usman yang merupakan ipar dari Presiden Joko Widodo sekaligus paman dari bakal calon wakil presiden (bacawapres) Gibran Rakabuming Raka itu dijatuhi sanksi berat oleh MKMK berupa pemberhentian dari jabatannya sebagai ketua MK.
Merespons hal itu, Pakar Hukum dari Universitas Lampung (Unila) Prof Rudy Lukman menilai MKMK tengah bermain aman dengan memberikan sanksi kepada Anwar Usman berupa pemberhentian dari jabatan ketua MK. Sebab seharusnya, secara normatif, Anwar Usman dicopot dari statusnya sebagai hakim konstitusi.
Prof Rudy menjelaskan bahwa dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdapat tiga opsi sanksi yang bisa diberikan kepada hakim terlapor, yakni teguran, lisan, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Norman ini terdapat dalam Pasal 41 poin c.
"Nah secara normatif, sanksi berat berupa pemberhentian itu bukan pemberhentian dari jabatan tapi pemberhentian dari hakim Mahkamah Konstitusi," ucap Prof Rudy kepada NU Online, Selasa (7/11/2023) malam.
"Karena tidak ada di kode etik itu yang menyinggung soal pemberhentian dari jabatan, tapi dari keanggotaannya karena dia melanggar etik berat sebagai hakim konstitusi," lanjut Prof Rudy.
MKMK bermain aman
Putusan memberhentikan Anwar Usman dari jabatan ketua MK dan dari keanggotaannya sebagai hakim konstitusi, menurut Prof Rudy, adalah upaya MKMK bermain aman.
"Menurut saya sih, ini karena hakim MKMK itu bermain aman. Ini kan hard case. Dalam konteks constitutional judgement (penilaian konstitusional) ini kan hard case, perkara sulit," jelas Guru Besar Hukum Unila yang baru berusia 42 tahun itu.
Perkara sulit itu, lanjut Prof Rudy, memiliki dampak politik yang tinggi. Misalnya, saat Anwar Usman diberhentikan tidak dengan hormat dari keanggotaannya sebagai hakim konstitusi, akan memicu gejolak politik soal siapa yang menggantikan posisi sebagai hakim konstitusi.
"Memang dalam perkara hard case ini, biasanya justru negara selalu bermain dalam konteks moderat. Banyak dari putusan di negara-negara lain juga seperti itu. Jadi di satu sisi agak aneh secara normatif namun secara politis ya menjadi jalan tengah. Indonesia ini kan senang jalan tengah," katanya.
Dasar MKMK tak kuat
Menurut Prof Rudy, dasar MKMK memberhentikan Anwar Usman dari jabatan ketua MK tidak cukup kuat secara normatif. Sebab, MKMK menilai dan memeriksa para hakim konstitusi itu sebagai pribadi, bukan karena jabatannya.
"Mahkamah etik ini tuh menilai pribadi dari hakim-hakim, bukan jabatan, bukan sebagai ketuanya. Ketuanya kan punya tupoksi yang berbeda dari hakim. Nah, majelis hakim MKMK itu memeriksa, adakah pelanggaran etik hakim konstitusi sebagai individu-individu. Begitu dari segi hukum," terang Prof Rudy.
MKMK patut diapresiasi
Meski mengkritik soal putusan menjatuhkan sanksi kepada Anwar Usman berupa pemberhentian tidak dengan hormat dari jabatannya sebagai ketua MK, Prof Rudy tetap mengapresiasi kerja MKMK, terutama dalam hal analisis dan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan.
"MKMK tadi kalau kita lihat dari pertimbangan, dari analisis, memeriksa dengan saksama, pertimbangannya yang juga banyak, lumayan baik menurut saya," ucap Ketua Lakpesdam PWNU Lampung 2015-2020 itu.
Apresiasi untuk MKMK juga diberikan oleh Pakar Hukum dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahsanul Minan. Ia menyebut, MKMK telah berperan dalam menjaga marwah hakim konstitusi.
"Putusan MKMK patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya untuk menjaga marwah dan martabat hakim konstitusi," kata Minan.
Dosen Hukum Konstitusi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini menegaskan bahwa putusan MKMK telah mampu menjawab keprihatinan masyarakat. Putusan ini merupakan teguran keras kepada Anwar Usman.
"Meskipun tentunya putusan pemberhentian dari jabatan ketua MK tersebut belum dapat memuaskan masyarakat secara penuh," ucap Minan.
Syarat usia capres-cawapres
Beberapa hari sebelum sidang putusan MKMK, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi mengubah Peraturan KPU tentang pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden.
Revisi tersebut dilakukan merujuk pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menambah klausul soal syarat menjadi capres-cawapres.
Sebelum direvisi, ketentuannya berbunyi, "berusia paling rendah 40 tahun". Klausul ini termaktub dalam PKPU Nomor 19 tahun 2013.
Pasca-putusan MK, KPU menuangkan tambahan klausul ke dalam PKPU Nomor 23 tahun 2023 Pasal 13 Ayat 1 huruf q menjadi berbunyi, "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah".
Diketahui, pelaporan sejumlah pihak atas sejumlah hakim konstitusi ke MKMK lantaran putusan MK terkait batas minimal usia capres-cawapres dinilai sarat kepentingan. Hal ini mengingat hakim terlapor memiliki hubungan kekerabatan dengan bakal calon wakil presiden yang belum berusia 40 tahun, tetapi sudah pernah menjabat sebagai pemimpin daerah.