Nasional

Pakar: Pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan adalah Upaya Mencuci Dosa Orde Baru

Senin, 10 November 2025 | 21:00 WIB

Pakar: Pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan adalah Upaya Mencuci Dosa Orde Baru

Soeharto. (Foto: NU Online/Aceng)

Jakarta, NU Online

Keputusan negara yang mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional dinilai sebagai sinyal kuat bahwa kekuasaan hari ini tengah membangun ulang legitimasi politik melalui sejarah.


Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zainal Arifin Mochtar menyebut penetapan tersebut bukan sekadar keputusan administratif, tetapi bagian dari upaya sistematis untuk merehabilitasi sejarah kelam Orde Baru dan menghapus jejak pelanggaran HAM yang pernah terjadi.


"Kalau bicara soal menghapus dosa Orde Baru, iya. Ini seperti cuci-cuci dosa dan cuci darah yang dilakukan secara sangat kelam di Orde Baru," tegas Prof Uceng sapaan akrabnya kepada NU Online Senin (10/11/2025).


Menurutnya, pemberian gelar pahlawan justru menjadi pintu masuk untuk melupakan masa lalu dan membungkam narasi korban yang selama ini berjuang mempertahankan ingatan publik.


Mistifikasi kekuasaan dan kepentingan keluarga Orde Baru

Prof Zainal menilai ada kecenderungan pemerintah memproduksi “mistifikasi” terhadap figur pemimpin, terutama mereka yang memiliki hubungan erat dengan elite kekuasaan hari ini.


“Penguasa butuh mistifikasi. Dan mistifikasi itu lahir dari rekam jejak yang tidak bernoda. Rekam jejak Prabowo dan keluarganya itu kan nodanya banyak di Orde Baru. Maka proses ini bagian dari cuci-cuci itu,” ujarnya.


Ia memperingatkan bahwa pelurusan sejarah secara sepihak berisiko mengembalikan pola-pola otoritarian Orde Baru, di mana narasi negara menghapus suara-suara kritis dan menyederhanakan masa lalu.


Hal yang membuat Prof Zainal paling terkejut adalah sikap ormas besar seperti yang terlihat tidak memberikan catatan kritis dan menerima begitu saja terhadap keputusan tersebut.


“Saya tidak bisa habis pikir bagaimana ormas seperti NU dan Muhammadiyah mengamini keputusan tersebut tanpa catatan,” katanya. 


Padahal, menurutnya, kedua organisasi ini memiliki basis terbesar rakyat Indonesia yang seharusnya menjadi benteng moral dalam mengawal nilai keadilan dan demokrasi.


Ia khawatir, ketika elite ormas mengamini keputusan politis tersebut, publik akan menganggap bahwa seluruh anggota ormas mendukung narasi pemutihan sejarah.


“Elitisme ormas ini akan didaku sebagai politik rakyat secara keseluruhan. Itu berbahaya,” tegasnya .


Korban pelanggaran HAM terancam dilenyapkan dari sejarah

Prof Zainal mengungkapkan salah satu dampak paling serius dari keputusan ini adalah hilangnya legitimasi korban pelanggaran HAM. “Paling berat itu ketika korban pelanggaran HAM zaman Soeharto menjadi dilegitimasi. Mereka kehilangan makna. Tuduhan pelanggaran yang terstruktur dan sistematis pada masa lalu itu akan dihilangkan,” ucapnya.


Ia menyoroti kasus korban 1998 serta korban tragedi 1965 yang hingga kini belum mendapatkan pemulihan dan pengakuan negara.


Bagi mereka, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan bukan hanya melukai, tetapi menghapus eksistensi sejarah mereka.


Prof Zainal menilai bahwa keputusan pemerintah telah merusak makna kepahlawanan itu sendiri. Nilai yang seharusnya membangun karakter generasi muda justru tergerus oleh kepentingan politik.


“Ketika kepahlawanan didegradasi seperti ini, orang tidak perlu berkorban untuk negara. Toh sepanjang dia pernah menjadi pejabat, dia bisa jadi pahlawan,” katanya.


Ia menggambarkan bahwa logika baru yang sedang diproduksi negara adalah yaitu tak peduli seberapa besar dosa politik atau pelanggaran HAM seseorang, status sebagai pejabat publik dianggap cukup untuk mendapat gelar pahlawan.


Prof Zainal mengingatkan konsekuensi paling ekstrem yaitu jika pola pengangkatan ini dibiarkan, semua presiden tanpa memandang rekam jejak mereka akan otomatis mendapat gelar pahlawan di masa depan.


“Sepanjang dia pernah menjadi presiden, dia dianggap sudah berjasa dan pantas. Logika itu akan direproduksi lima, sepuluh, atau lima belas tahun ke depan. Semua yang merusak negara bisa saja dianggap pahlawan,” pungkasnya.


Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto melalui Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025 telah resmi menetapkan sepuluh tokoh sebagai Pahlawan Nasional dalam upacara di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Dari 10 nama tersebut, dua di antaranya diduga terlibat dalam berbagai macam kekerasan dan represi selama Orde Baru yaitu Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo.


KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga menerima gelar pahlawan yang diberikan kepada Nyai Hj Sinta Nuriyah Wahid bersama Yenny Wahid. Sementara keluarga Soeharto diwakili oleh Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dan Bambang Trihatmodjo.


Selain tiga nama tersebut, pemerintah juga memberikan gelar kepada Marsinah, Prof Mochtar Kusumaatmadja, Rahmah El Yunusiyyah, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah.