Jakarta, NU Online
Kebebasan agama dan gerakan takfir (eks-komunikasi) adalah dua hal yang sangat berbeda bahkan bertentangan. Kebebasan agama mensyaratkan pengakuan akan hak pribadi seluruh orang untuk meyakini dan tidak meyakini sebuah ajaran agama. Sementara takfir merupakan upaya menjaga integritas keimanan umat beragama.
Hal tersebut dikatakan Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP) Syafiq Hasyim saat memberi sambutan pada seminar "Kebebasan Beragama, Gerakan Takfir, dan Deradikalisasi" di lantai 8 Gedung PBNU, Senin (22/2) siang.
"Dalam konteks negara teokratis, kebebasan agama biasanya dijamin oleh negara dalam batas-batas konstitusi mereka," ujar Syafiq yang juga pengurus LBM PBNU ini.
Di Saudi Arabia, lanjut dia, orang-orang non-Muslim dibolehkan untuk mempraktikkan agama mereka namun kebebasan mereka diatur oleh Konstitusi Saudi Arabia yang berasas lslam.
"Artinya, yang dijadikan standar adalah iman negara bersangkutan. Di negara sekuler, kebebasan agama dijamin sepenuhnya. Orang tidak hanya dijamin untuk berbeda agama, namun juga berbeda keyakinan. Di Jerman, warga Ahmadiyah memiliki hak setara dengan kaum Sunni dan Syiah kendati kalangan mayoritas tidak bisa menerima sepenuh hati," paparnya.
Menurut dia, seminar tersebut hendak mencari proyeksi-proyeksi ke depan tentang pilihan hubungan antara agama dan negara dalam kebebasan beragama serta peran apa yang bisa dimainkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Seminar yang digelar dalam dua sesi ini menghadirkan beberapa narasumber. Untuk sesi pagi, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Mas'ud, dan Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini.
Untuk sesi sore, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, peneliti LIPI Jaleswari Pramodhawardhani, Direktur Rumah KITAB Lies Markus, dan Ketua Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SeJuk) Ahmad Djunaidi. (Musthofa Asrori/Mukafi Niam)