Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj geram terhadap pihak yang melakukan penguasaan tanah yang bukan haknya karena hal itu tidak dibenarkan dalam hukum mana pun. Di dalam ajaran Islam, jelas hal itu dilarang.
Kiai Said menyandarkan pendapatnya hal itu dengan mengutip sebuah hadits Nabi yang merespons penyerobotan tanah oleh seorang sahabat terhadap tanah tetangganya.
"Bayangkan berapa kira-kira menjoroknya itu. Paling maksimal 10 meter. Nabi sudah marah besar, " kata Kiai Said sesaat sebelum menandatangani kelanjutan kerja sama program penanaman jagung dengan Kementerian Pertanian di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (19/3).
Hadist di atas menjadi keprihatinan Kiai Said untuk melihat kesenjangan ekonomi saat ini. Menurutnya, sekarang terdapat perusahaan yang menguasai tanah hingga 5.500.000 hektar. Sementara di sisi yang lain, terdapat warga indonesia yang tidak mempunyai tanah.
"Satu jengkal saja tidak punya," ujarnya.
Kiai kelahiran Kempek, Cirebon, Jawa Barat itu melanjutkan dengan menggambarkan kesenjangan ekonomi yang terjadi pada warga negara Indonesia.
Menurutnya, di satu sisi, ada orang yang mempunyai banyak uang, tapi di sisi lain, terdapat orang yang susah mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari.
"Ada warga NU di Bondowoso, saya tahu sendiri, orang tua-tua ,baik kakek-nenek, anak-anak kecil juga mecahin batu di sungai, satu keranjang 600 rupiah dibawa ke atas. Itu saudara kita. Itu warga Indonesia dan itu kita sebenarnya," terangnya.
Oleh karena itu, kiai lulusan Ummul Qura, Arab Saudi tersebut, menyambut baik Kementerian Pertanian yang ingin membangun bangsa Indonesia dengan menggandeng Nahdlatul Ulama.
"Pasti (dapat dirasakan) manfaatnya rakyat kecil karena basis NU adalah warga-warga di desa dengan ekonomi ke bawah," ujarnya.
Pada forum tersebu, hadir Sekjen PBNU H Helmy Faishal Zaini, Menteri Pertanian Republik Indonesia H Andi Amran Sulaiman, perwakilan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan 27 Bupati. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)