Nasional

Pekerja Rumah Tangga Desak DPR Segera Sahkan RUU PPRT: Kami Butuh Perlindungan

Rabu, 12 November 2025 | 16:45 WIB

Pekerja Rumah Tangga Desak DPR Segera Sahkan RUU PPRT: Kami Butuh Perlindungan

Ajeng Astuti, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam diskusi daring, Rabu (12/11/2025). (Foto: tangkapan layar)

Jakarta, NU Online

Ajeng Astuti, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang telah bekerja selama 30 tahun, mengungkapkan kekecewaannya karena hingga kini belum ada undang-undang yang secara khusus melindungi PRT.


Ia menilai, tanpa payung hukum yang jelas, para pekerja rumah tangga belum memperoleh perlindungan hukum maupun jaminan sosial yang layak.


Selama bekerja, Ajeng mengaku menerima upah yang minim karena profesi PRT belum dianggap sebagai pekerjaan formal.


Kondisi itu menimbulkan banyak kendala, terutama karena belum adanya regulasi yang mengatur hak dan kewajiban para pekerja rumah tangga.


Ajeng menyayangkan lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang hingga kini masih tertahan di DPR. Padahal, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya meminta agar RUU tersebut dapat disahkan dalam waktu tiga bulan.


RUU yang telah berpindah dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya itu sempat dijanjikan oleh Presiden Prabowo akan disahkan tiga bulan setelah peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025. Namun, hingga akhir Oktober, belum ada kemajuan berarti dari janji tersebut.


“Pada awalnya kami senang, perjuangan 21 tahun akhirnya hampir terwujud dan sudah ada tenggat waktu. Kami sudah beberapa kali audiensi selama beberapa bulan, tapi masih saja mandeg di DPR, masih ngambang. Terus terang kami kecewa, mau cari apa lagi sih,” ujar Ajeng dalam diskusi daring, Rabu (12/11/2025).


Ia menilai, kekecewaan kali ini seperti mengulang masa lalu, ketika pembahasan RUU PPRT juga berulang kali tertunda.


Menurutnya, perjuangan panjang yang telah dilalui para pekerja rumah tangga kembali terganjal di tingkat legislatif.


Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapu Lidi, yang telah berdiri selama 21 tahun, terus memperjuangkan pengesahan RUU tersebut.


“Kami butuh perlindungan hukum dari negara, butuh pengakuan dari negara,” tegas Ajeng.


Menurutnya, semangat perjuangan para PRT tidak pernah padam karena mereka mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang turut menyuarakan pentingnya pengesahan RUU PPRT.


Dukungan publik inilah yang menjadi penyemangat utama bagi para pekerja rumah tangga di seluruh Indonesia.


"Harapan saya cukup RUU PPRT ini disahkan, ketok palu di tahun ini. Jangan ditunda-tunda lagi. Dengan disahkannya RUU PPRT, kami akan merasa aman tanpa rasa takut karena ada perlindungan hukum dan jaminan sosial," tandasnya.


Sementara itu, perwakilan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini, menyampaikan bahwa pembahasan RUU PPRT sebenarnya sudah berada di tahap akhir pada 15 September 2025.


Namun, keputusan pimpinan DPR yang meminta kajian tambahan justru memperlambat proses yang seharusnya sudah bisa dibawa ke rapat paripurna.


"Ini bentuk pengganjalan secara halus. Kajian ini sudah dilakukan selama 21 tahun. Kita mempertanyakan bagaimana sikap mayoritas fraksi terhadap pendapat satu fraksi dan Ketua DPR yang mengatakan perlu kajian kembali,” ujarnya.


Menurut Lita, sikap tersebut memperlihatkan bahwa kepentingan politik masih lebih dominan dibandingkan komitmen terhadap keadilan sosial bagi para pekerja rumah tangga.


Ia juga menyinggung janji Presiden Prabowo yang berkomitmen untuk menyelesaikan pembahasan RUU ini dalam waktu tiga bulan, namun hingga kini belum terealisasi.


"Yang kedua kita juga mempertanyakan sikap pemerintah khususnya kepada Presiden Prabowo yang menjanjikan bahwa RUU ini akan sekiranya selesai dalam waktu 3 bulan,” lanjutnya.


Jala PRT mencatat, terdapat 3.308 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sepanjang 2021-2024. Kekerasan tersebut mencakup kekerasan fisik, psikis, ekonomi, hingga perdagangan manusia. Angka ini hanya berdasarkan laporan yang masuk, sehingga kemungkinan jumlah kasus sebenarnya jauh lebih besar.


Data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan juga menunjukkan bahwa pada periode 2019-2023 terdapat 25 kasus kekerasan terhadap PRT yang diadukan ke lembaga tersebut. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2020 mencatat bahwa 30 persen dari Anak dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk (BPTA) merupakan PRT anak.