Nanoteknologi adalah segala bentuk teknologi yang nanometer, meliputi segala bentuk proses ataupun produk yang akan dihasilkan.
Jakarta, NU Online
Santri memiliki peluang yang terbuka untuk menjadi di berbagai bidang, tidak hanya agama, tetapi juga teknologi, khususnya nanoteknologi. Sebab, teknologi ini masih tergolong baru sehingga peluangnya cukup terbuka bagi sesiapa saja yang hendak mendalaminya.
"Peluang santri terbuka besar karena memang teknologi ini bisa dibilang baru dan terus berkembang. Saya rasa tidak menutup kemungkinan untuk semua pihak belajar dan ini adalah bagian dari sains dan teknologi," kata Lutfan Sinatra, Quantum Advance di Inggris, menyampaikan hal tersebut saat Webinar Diaspora Santri dengan tema Nano-technology dan Masa Depan Pendidikan Indonesia, Sabtu (27/3).
Bahkan, Lutfan menyebut bahwa teknologi nano tersebut wajib dikuasai santri di masa depan. "Menurut saya, wajib kita kuasai ke depannya supaya ya kita bisa lebih mandiri dan bisa lebih bermanfaat untuk teknologi ini," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa nanoteknologi adalah segala bentuk teknologi yang nanometer, meliputi segala bentuk proses ataupun produk yang akan dihasilkan. "Apabila itu ukurannya dalam nanometer itu termasuk nanoteknologi," katanya.
Lebih lanjut, Lutfan menerangkan bahwa nanomaterial dikembangkan Eropa dan Amerika, sedangkan Asia banyak dari Jepang. Sejak tahun 1961, peneliti Amerika sudah berlomba-lomba meneliti nanoteknologi. Pada mulanya, teknologi ini dibutuhkan untuk merancang komputer lebih kecil mengingat dulu sebesar gedung, hingga terus berevolusi lebih kecil dan lebih efisien.
"Akhirnya, sejak saat itulah terus berkembang dan teknologi ini dari meter sampai submikro sampai nano. Arahnya dari sejarah itu karena perkembangan dibutuhkannya perangkat elektronik yang lebih kecil dan inilah yang menyebabkan perkembangan teknologi nano," katanya.
Sementara itu, peneliti nanoteknologi Tokyo Institute of Technology Miftakhul Huda menyampaikan bahwa santri yang berminat menguasai nanoteknologi harus lebih banyak mendalami matematika, fisika, dan kimia.
"Kalau ke perguruan tinggi yang masuknya ke sains atau engineering, fisika, kimia, teknik, bahkan sekarang nanoteknologi banyak dimanfaatkan untuk biologi karena pandemi banyak sekali aplikasi dari nanoteknologi yang berkaitan dengan biologi," jelasnya.
Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jepang itu menegaskan bahwa dunia pesantren itu lebih banyak mengajarkan soft skill, meliputi karakter dan komunikasi sehingga lebih mudah untuk beradaptasi dengan dunia teknologi dan memanfaatkannya secara bijak.
"Jadi, mudah-mudahan ke depan, sudah ada AI (artificial intellegence), komputer, anak-anak Indonesia bukan hanya menguasai, menggunakan komputer, tetapi juga memanfaatkannya secara bijaksana," katanya.
Berbeda dengan keduanya, Plt Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hasan Chabibie mengatakan bahwa belum semua perguruan tinggi menjadikan nanoteknologi sebagai jurusannya dan risetnya.
"Kami berharap inovasi riset semakin ditumbuhkan dari kawan-kawan yang mendalami. Ke depan, kami berharap gagasan inisiatif baru semakin berkembang ke depan, syukur terintegrasi dengan kelompok industri," ujarnya.
Teknologi ini ke depan, menurutnya, bisa diarahkan. Ia berharap bahwa bangsa Indonesia tidak hanya menjadi pengguna saja, melainkan juga penciptanya. "Kita berharap ke depan bangsa Indonesia tidak hanya menjadi pengguna tetapi juga bisa menciptakan teknologi responsif berbasis nano yang didukung perguruan tinggi. Diskusi ini bisa mengarah ke sana, kita siap diksusi kolaborasi," pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan