Nasional

Peneliti Tegaskan Tanpa Keadilan, Solusi Dua Negara untuk Palestina Hanya Retorika Kosong

Rabu, 24 September 2025 | 16:30 WIB

Peneliti Tegaskan Tanpa Keadilan, Solusi Dua Negara untuk Palestina Hanya Retorika Kosong

Presiden Prabowo saat menyampaikan pidato pada Debat Majelis Umum Ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, Selasa (23/9/2025). (Foto: Tangkapan layar Youtube United Nations)

Jakarta, NU Online

Presiden RI Prabowo Subianto menegaskan dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara untuk kemerdekaan Palestina. Namun, dalam pidato terbarunya pada Debat Majelis Umum Ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, Prabowo juga menekankan jaminan keamanan terhadap Israel.


Hal ini mengisyaratkan pengakuan Indonesia terhadap Israel, yang dikondisikan pada pengakuan Israel terlebih dulu terhadap negara Palestina.


Peneliti Tamu ISEAS Yusof Ishak Institute, Antonius Made Tony Supriatma, menyebut bahwa pidato Presiden Prabowo sebagai sebuah penurunan standar diplomasi.


Made menyoroti bahwa pernyataan Prabowo tidak membawa hal baru bagi perjuangan Palestina, tapi justru fokus pada pengakuan timbal balik yang mengabaikan akar persoalan, yaitu ketidakadilan.


"Yang baru itu adalah pengakuan terhadap Israel yang menurut saya Presiden ini merendahkan standarnya. Kalau Israel mengakui negara Palestina, Indonesia siap mengakui Israel. Itu kan menurut saya masalah besar," ujar Supriatma kepada NU Online, Rabu (24/9/2025).


Ia mengingatkan bahwa konflik intinya adalah perampasan tanah dan penggusuran yang berlangsung sistematis sejak 1948.


"Kalau kita lihat peta dari tahun 1948 sampai sekarang, wilayah Palestina mengkerut luar biasa, mungkin sekarang tinggal 10 persen," tambahnya.


Menurutnya, persoalan sebesar ini mustahil diselesaikan hanya dengan retorika pengakuan tanpa tindakan nyata yang bisa menekan pelanggaran Israel terlebih atas genosida yang terjadi di Gaza.


Made mengakui bahwa prinsip Solusi Dua Negara tengah mendapatkan momentum kembali di panggung global, yang didorong oleh perubahan geopolitik dan tekanan publik domestik di berbagai negara. Namun, ia menegaskan bahwa solusi tersebut tidak bisa dinyatakan sebagai garis final perjuangan yang menjamin terwujudnya keadilan bagi rakyat Palestina.


"Sekali lagi, two state solutions itu bukan penyelesaian atas masalah keadilan. Walaupun itu, bagaimanapun juga, menjadi hal yang penting khususnya di Timur Tengah," jelasnya.


Ia menekankan bahwa ada hal yang lebih krusial yang perlu dilakukan yakni, merumuskan detail keadilan pascapengakuan.


"Harus ada penyelesaian yang baik tentang masalah-masalah keadilan ini, bagaimana tanah-tanah itu akan dibagi, bagaimana peraturan untuk hidup berdampingan secara damai, bagaimana Israel bisa dijamin keamanannya dan Palestina juga bisa dijamin keamanannya. Tidak hanya Israel saja yang dijamin," papar Made.


Dalam analisisnya, Made juga menyoroti peran PBB dalam mengatasi kebuntuan ini yang mungkin tidak akan membawa dampak besar jika masih hanya menjadi cerminan geopolitik global.


"PBB ini tidak berarti apa-apa. Walaupun langkahnya cukup signifikan tetapi tidak akan menentukan banyak hal. Di banyak hal, PBB itu gagal," ujarnya dengan tegas, sambil menyitir kegagalan PBB dalam sejarah Pepera Papua.


"PBB hanya mengikuti arus yang terjadi secara geopolitik," imbuhnya.


Di samping itu, Made mengingatkan kembali prinsip dasar diplomasi Indonesia, mengutip apa yang disampaikan Bung Karno pada tahun 1960-an dalam konflik Palestina-Israel.


"Bung Karno sendiri tahun 1960 an itu mengatakan persoalan pertama itu adalah keadilan, bukan soal pengakuan kedaulatan," tutupnya.


Ia menggarisbawahi tanpa dimensi keadilan, langkah-langkah diplomatis apa pun, termasuk Solusi Dua Negara, hanya akan menjadi langkah awal yang nirmakna bagi rakyat Palestina.