Nasional

Pengamat Soroti Perbedaan Biaya dan Jarak Proyek Kereta Cepat Indonesia dan Arab Saudi

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Pengamat Soroti Perbedaan Biaya dan Jarak Proyek Kereta Cepat Indonesia dan Arab Saudi

Kereta cepat Whoosh (Foto: Instagram keretacepat_id)

Jakarta, NU Online
Publik ramai membanding-bandingkan proyek kereta cepat Indonesia, Whoosh, dengan proyek Saudi Landbridge di Arab Saudi setelah klaim beredar di media sosial bahwa Arab mampu membangun jalur kereta cepat lebih dari 1.000 kilometer dengan biaya setara Rp112 triliun, sementara Whoosh yang hanya sepanjang 142 kilometer menelan biaya Rp113 triliun. 

 

Dari sisi angka, proyek Saudi tampak lebih efisien karena berhasil membangun jalur yang lebih panjang dengan biaya yang hampir setara. Namun, dari segi tujuan, kedua proyek memiliki fokus yang berbeda. Landbridge dirancang untuk mendukung logistik antar kota dan memperkuat konektivitas ekonomi antar pelabuhan, sedangkan Whoosh lebih menekankan pada transportasi penumpang antar kota besar.

 

Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno menyoroti perbedaan mendasar dalam struktur biaya tersebut. Ia menjelaskan bahwa di Indonesia, harga tanah dimasukkan dalam perhitungan biaya pembangunan. 

 

Ia mencontohkan bahwa di Tiongkok, tanah disediakan oleh negara. Oleh karena itu, biaya Whoosh yang bisa mencapai hampir Rp1 triliun per kilometer dinilai wajar. 


"Saya melihatnya dari awal kita itu belum, kita (sebenarnya) senang-senang saja dibangun (Whoosh), (tapi) secara umum kita belum mampu untuk baarr sebesar itu. Ya memang targetnya (semestinya 100 tahun), tapi siapa yang mau menalangi? Kalau pakai APBN ya janganlah, kalau ada Danantara, ya Danantara saja mereka pakai ini," katanya saat dihubungi NU Online pada Jumat (24/10/2025).

 

Lebih jauh, Djoko menilai bahwa pada dasarnya Jakarta tidak membutuhkan kereta cepat. Ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, berbeda dengan China yang kontinental. 


"Kita negara kepulauan, pulau paling padat di Jawa, padahal Jawa pulau paling kecil di antara pulau-pulau yang besar. Ujung ke ujung hanya 1.000 kilo," jelasnya.


Lebih lanjut, Djoko juga membandingkan konsep kereta cepat di Indonesia dengan negara lain. Ia menjelaskan bahwa di berbagai negara, seperti Prancis, Korea Selatan, dan Arab Saudi, kereta cepat selalu beroperasi dari pusat kota ke pusat kota, bukan dari pinggiran. 

 

"Gimanapun di dunia ini, kereta cepat bergerak dari tengah kota. Kita saja yang dari pinggir kota. Semuanya tengah kota," katanya.


Ia mencontohkan jalur Paris–Brussels, yang setelah kereta cepat beroperasi dengan waktu tempuh hanya tiga jam. Hal itu menyebabkan seluruh rute penerbangan komersial antara dua kota tersebut berhenti beroperasi dalam waktu tiga bulan karena kalah efisien. 


Menurut Djoko, hal yang sama juga terjadi di negara lain, sehingga pembangunan kereta cepat seharusnya memperhatikan aspek lokasi, konektivitas, dan daya guna transportasi secara menyeluruh.


"Kalau kereta cepat dibangun itu pasti akan moda (transportasi) lainnya yang hilang, pesawat terbang, pesawat terbang padahal sudah investasi Bandara, kaya-kaya begitu tidak pernah diperhitungkan, hanya melihat dulu itu oh China mau ini," jelasnya.