Pengesahan RUU TPKS Tertunda, Aktivis Perempuan Beberkan Data Kekerasan Seksual
Selasa, 30 November 2021 | 15:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di Badan Legislasi (Baleg) DPR seharusnya sudah dalam tahap finalisasi. Namun ternyata rapat berlangsung alot dan berujung penundaan. Perdebatan di antara fraksi-fraksi di DPR tentang RUU TPKS tidak menghasilkan kata sepakat.
Hal tersebut lantaran Baleg DPR menunda rapat pleno untuk menetapkan draf RUU TPKS yang sedianya digelar pada Kamis (25/11/2021) kemarin. Penundaan itu menimbulkan kebingungan publik, terutama mengenai posisi kebijakan yang sebelumnya diharapkan untuk melindungi dan memberikan akses keadilan bagi korban kekerasan seksual dan keluarganya.
Menurut Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender 2020, mayoritas masalah kekerasan seksual di Indonesia berakhir tanpa kepastian. Sebab 57 persen korban kekerasan seksual mengaku tak ada penyelesaian dalam kasus tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan terhambatnya penyelesaian kasus kekerasan seksual yakni instrumen hukum yang kurang memadai.
Laporan tersebut disodorkan Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Country Representative Aman Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah lewat wawancara virtual dengan NU Online, pada Selasa (30/11/2021).
Disebutkannya, dari data tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan menempati urutan kedua terbanyak setelah kekerasan fisik yang terjadi sepanjang 2020. Sebagai pihak yang selama ini consent menyuarakan perlindungan terhadap hak-hak perempuan, Ruby merasa kecewa ketika mendengar ada hambatan dalam pengesahan RUU TPKS.
"Sebagai masyarakat, saya kecewa dengan sikap DPR yang tidak melihat ini sebagai hal yang urgen untuk direspon. Padahal kasus kekerasan seksual ini sudah banyak sekali,” terang Anggota Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ini.
Data lain juga ia sampaikan dari Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2021 yang dirilis Maret lalu.
Menurutnya, dari 6.480 kasus kekerasan yang terjadi dalam hubungan personal, sebanyak 1.938 atau 30 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Angka tersebut berselisih sedikit dengan kekerasan jenis fisik yang jumlahnya 2.025 kasus atau 31 persen.
Sementara, kekerasan jenis psikis sebanyak 1.792 kasus atau 28 persen, dan kekerasan ekonomi 680 kasus atau 10 persen.
"Dari jumlah kasus itu dapat diketahui salah satu kendala yang harus dihadapi korban kekerasan seksual di Indonesia adalah keterbatasan instrumen hukum yang memadai,” beber aktivis kesetaraan gender ini.
Selain itu, lanjutnya, instrumen hukum yang ada terkait kekerasan seksual masih belum berpihak pada korban. Keterbatasan tersebut akan berdampak besar dalam proses hukum penyelesaian kekerasan seksual, sebab sistem penegakan hukum tidak akan berjalan dengan baik.
"Mengatasi celah hukum tersebut sesungguhnya sejak 2012 Komnas Perempuan telah mendorong pembentukan undang-undang untuk menangani kekerasan seksual,” imbuh dia.
Baru pada tahun 2016, kata dia, inisiasi tersebut disambut oleh DPR dan pemerintah dan memasukkannya ke dalam Prolegnas Prioritas 2016 dengan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang kini bersalin rupa menjadi RUU TPKS.
Perjalanan Panjang RUU TPKS
RUU PKS yang kini berganti menjadi TPKS awalnya diinisiasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Dalam catatan Komnas Perempuan, embrio substansi RUU TPKS sendiri telah muncul sejak 2010.
Bak gayung bersambut, dukungan juga datang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden menyatakan dukungannya terhadap RUU TPKS saat bertemu dengan pihak Komnas Perempuan pada Juni 2016.
Pada tahun 2017, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui draf RUU TPKS itu dibawa ke Rapat Paripurna. Hasilnya, DPR sepakat RUU TPKS menjadi usulan inisiatif DPR dan menyerahkan penanganannya kepada Komisi VIII.
Pembahasan RUU TPKS pun berlanjut di tahun 2018. Namun sayang, di tahun ini RUU tersebut harus menghadapi jalan yang berliku, banyak pro-kontra mulai bermunculan di tengah masyarakat.
Pihak kontra menilai RUU itu memberi celah terhadap praktik perzinahan, bertentangan dengan agama, hingga dugaan pelegalan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Kemudian pada September 2019, oleh DPR pengesahannya ditunda dengan alasan pembahasan RUU itu akan dibawa di masa jabatan DPR periode selanjutnya, yaitu 2019-2024.
Menurut catatan DPR RI, Komisi VIII kembali menangani soal RUU TPKS pada periode 2019-2024. Namun belum sempat dibahas, usulan mencabut RUU itu dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 datang dari Komisi VIII.
Alhasil, RUU yang telah dicabut dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 itu pun dijanjikan (lagi) masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Sayangnya, setelah berhasil masuk ke Prolegnas Prioritas 2021, kini pengesahan yang dijanjikan pada akhir November tahun ini kembali mengalami penundaan lantaran ada beberapa pihak yang tidak sepakat.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Aiz Luthfi