Nasional

Penghapusan Presidential Threshold Perbaiki Institusi Politik yang Rapuh dan Budaya Feodalisme

Jumat, 10 Januari 2025 | 19:00 WIB

Penghapusan Presidential Threshold Perbaiki Institusi Politik yang Rapuh dan Budaya Feodalisme

Ilustrasi pemilihan presiden. (Foto: KPU)

Jakarta, NU Online 

 

Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menilai bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan berdampak besar. Hal itu memperbaiki kelemahan institusi politik di Indonesia dan mengurangi pengaruh budaya feodalisme yang masih kental. 

 

"Putusan MK ɓukan hanya mengawal demokrasi dan konstitusi, bukan hanya melindungi HAM dan hak konstitusional berwarga negara, bukan hanya berfungsi sebagai penyeimbang majority rules, tapi dia juga sarana untuk merekayasa perkembangan kebijakan konstitusional dalam jangka panjang," katanya dalam dialog Masa Depan Demokrasi Indonesia: Presidential Threshold Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dikutip NU Online dari Youtube JSLG Official pada Jum'at (10/1/2024).

 

Terlabih lagi, dua faktor itu, kata Jimly, semakin terlihat menjelang Pemilu 2024. Sebab hampir semua partai politik mengalami ketegangan dalam merancang strategi koalisi sehingga terciptalah tiga calon presiden dan wakil presiden pada pemilihan umum (Pemilu) 2024 lalu.

 

Lebih lanjut, Jimly mengungkapkan bahwa putusan MK yang menghapuskan presidential threshold 20 persen dalam Pemilu dianggap sebagai langkah yang penting untuk menyeimbangkan kembali sistem politik Indonesia. Sebelumnya memang belum diputuskan karena secara aturan, kata Jimly, putusan MK itu dianggap sebagai open legal policy atau diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang (UU).

 

"Dalam praktiknya, selama 32 kali uji materi tersebut sejak 2004, tidak ada tanda-tanda yang dapat dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa ambang batas ini inkonstitusional, sehingga selalu ditolak," jelasnya.

 

Namun, Jimly melihat bahwa perubahan politik dalam dua pemilu terakhir terutama adanya polarisasi dua pasangan calon dan kemenangan calon petahana menunjukkan bahwa institusi politik di Indonesia masih rapuh. 

 

Dengan demikian, sambung Jimly, meskipun ada banyak calon yang diusung dalam Pemilu, potensi kemenangan sering kali lebih dipengaruhi oleh siapa yang memegang kekuasaan, bukan kualitas institusi politik itu sendiri. 

 

"Budaya feodal masih sangat pengaruh maka siapa aja yang berkuasa itu akan punya potensi untuk menang," katanya.

 

Jimly membandingkannya dengan contoh kasus di Amerika Serikat, di mana kampanye dari mantan Presiden Obama untuk Hillary Clinton dan Joe Biden untuk Kamala Harris tidak menjamin kemenangan.

 

"Kamala Harris, dikampanyekan habis-habisan oleh oleh Joe Biden tetap kalah," tegasnya.

 

Jimly berharap, dengan adanya perubahan dalam kebijakan ambang batas, institusi politik Indonesia dapat lebih berkembang dan mengurangi ketergantungan pada budaya feodal yang selama ini mendominasi. 

 

Sebelumnya, MK Suhartoyo menghapus ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden 20 persen. Ini karena dinilai melanggar hak politik dan kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

 

Suhartoyo mengatakan, presidential threshold juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Alasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.