Pengukuhan Guru Besar Tasawuf: Covid-19 sebagai Masa Kebangkitan Spiritual
Rabu, 23 Desember 2020 | 23:15 WIB
Covid-19 memberikan kesempatan bagi masyarakat beragama untuk meningkatkan nilai spiritualitas. (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Covid-19 telah berdampak besar pada perubahan di seluruh dunia ini. Jutaan orang terserang virus tersebut, ribuan di antaranya harus menerima takdir wafat karenanya. Tidak hanya kesehatan, perekonomian pun melemah dengan tumbuh di angka minus.
Hal demikian pun memberikan ketakutan bagi banyak orang sehingga sebagian besar di antaranya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Ini terbukti dengan meningkatnya pencarian doa agar pandemi ini segera berlalu di laman pencarian Google.
Hj Sri Mulyati dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di bidang ilmu tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menegaskan bahwa Covid-19 memberikan kesempatan bagi masyarakat beragama untuk meningkatkan nilai spiritualitas mereka.
"Saya berharap bahwa terlepas dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh virus Corona, meskipun jumlah kematian yang besar, akan menjadi kesempatan untuk kebangkitan spiritual bagi mereka yang cukup cerdas untuk memahami bahwa kebanyakan klaim yang dibuat oleh sains dan teknologi modern sesungguhnya sepenuhnya tidak selalu benar," katanya di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, pada Rabu (23/12).
Mengutip Sayyed Hossein Nasr, Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama itu menjelaskan bahwa bencana di dunia ini merupakan tanda-tanda kebesaran Allah. Di antaranya, ada yang memenuhi hukuman dari tindakan manusia atau sebaliknya sebagai peringatan atau sebuah pil untuk kebangkitan mereka.
Pemaknaan demikian, menrutnya, dapat mengantarkan jiwa kita lebih Arif dan mendidik kita untuk lebih rendah hati. Sebelum masa modern, terangnya, masyarakat tradisional ketika ada bencana memandangnya sebagai tanda dan memicu kesadaran yang lebih tinggi, sebuah karunia.
Keprihatinan kaum beragama di masa pandemi semakin bertambah karena dihadapkan pada situasi yang sama sekali berbeda pada situasi yang tidak normal yang dirasakan. Pada titik tertentu, kata Sri, hal itu mengalami apa yang disebut Kierkegaard, filsuf asal Denmark, sebagai 'masa intrupsi spiritual'.
"Namun demikian, di titik inilah akan melahirkan kesadaran baru pada momen untuk merefleksi lebih mendalam sehingga menemukan pemaknaan pemaknaan baru," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama 1989-2000 itu.
Dalam kitab Akhlaqul Karimah karya KH Ahmad Sahibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), Sri menjelaskan bahwa kesadaran akan mengingat kepada Allah SWT ini dapat memberikannya taubat mustajab untuk menyembuhkan semua penyakit, khususnya penyakit yang ada di dalam hati, hatta penyakit lahir. Itu pun, dalam kitab Miftahus Shudur, dikategorikan sebagai dzikir dan mengingat Allah dalam segala keadaan alam adalah sangat utama termasuk di masa pandemi.
Abah Anom menerapkan hal tersebut sebagai kurikulum dalam Pondok Inabah, sebagai metode pembinaan korban penyalahgunaan narkotika dan kenakalan remaja. Lebih dari sekadar itu, Pondok Inabah di Singapura dan Malaysia mampu berperan sebagai pusat penanggulangan terorisme.
Aksi nyata
Omar Shafi dari Universitas Duke mengatakan bahwa jika Syekh Jalaluddin Rumi hidup di zaman sekarang, ia meyakini bakal mengenakan masker ketika berada di ruang publik. "Begitu lalim dan egoisnya seseorang yang tidak memakai masker di tengah pandemi seperti sekarang ini karena dengan melakukan hal itu bukan hanya demi keselamatan dirinya sendiri, tetapi juga untuk keselamatan orang lain," katanya sebagaimana dikutip Sri.
Oleh karena itu, Sri menyimpulkan bahwa tasawuf di masa pandemi sejatinya diwujudkan dalam tindakan nyata. "Saya kira yang kita ambil dari ajaran Rumi dan tokoh sufi lain adalah makna arti penting penderitaan dan melakukan aksi nyata membela orang-orang yang menderita," katanya.
Lebih lanjut, akademisi yang tumbuh sejak kecil di Jakarta ini menjelaskan bahwa wabah Covid-19 sejatinya mengajak manusia untuk lebih melihat ke dalam dirinya guna menemukan makna tersembunyi di balik peristiwa yang tak biasa ini. Mengutip Karen Armstrong, ia mengatakan bahwa sebenarnya manusia diajak untuk belajar menyendiri untuk menemukan pencerahan dibalik tragedi besar bagi kaum beragama ketika situasi karantina wilayah (lockdown) karena wabah Covid-19 ini.
"Bagi Karen saatnya kaum beragama merasakan untuk kemudian melakukan aksi nyata melihat penderitaan dunia penderitaan alam dan penderitaan umat manusia,"ujar perempuan yang menamatkan studi magister dan doktornya di Universitas Mc Gill Kanada itu.
Hal demikian di antaranya telah dilakukan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia. NU berupaya memadukan pandangan ulama Syafi'i dan pertimbangan-pertimbangan medis yang dihimpun.
"Dalam merespons Covid-19, NU sangat menaruh perhatian dalam otoritas kiai sehingga dalam menghadapi pandemi para kiai di tingkat lokal maupun nasional sangat besar dan sangat penting perannya," ujarnya mengutip Mark R Woodward, akademisi Universitas Negeri Arizon, Amerika Serikat.
Upayat transformasi takut menjadi energi positif
Wabah covid ini, menurutnya, dapat dimaknai sebagai sebuah upaya mentransformasi rasa takut yang ditimbulkan menjadi energi positif dan membangun seluruh kesadaran baru agar fungsi-fungsi luhur manusia sebagai khalifah di bumi dapat lebih terejawantahkan.
Ia mengatakan, rasa takut yang dimiliki orang biasanya ketika dunia di sekitar mereka, realitas, mulai goyah. Rasa takut, menurutnya, dapat menjadi positif dengan mereka kembali kepada realitas, yaitu mencari taat dan menyadari bahwa kita diletakkan di bumi oleh Allah SWT
"Perbedaan antara Allah dan manusia adalah bahwa ketika Anda takut kepada manusia, Anda menjauh darinya. Tapi ketika kita takut kepada Allah, kita mendekatkan diri menuju-Nya," katanya mengutip pernyataan Imam Ghazali.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan