Peran Strategis Muslimah Kuatkan Praktik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Jumat, 28 Januari 2022 | 08:30 WIB
Jakarta, NU Online
Seminar Internasional “Membangun Kerja Sama Internasional untuk Menguatkan Komitmen dan Praktik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” dilaksanakan oleh INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), bekerja sama dengan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan KBRI di Pakistan, Tunisia, dan Malaysia. Seminar dilaksanakan pada tanggal 25-27 Januari 2022.
Pada hari kedua, seminar dilaksanakan secara paralel mengangkat tiga tema. Pertama, Peran Strategis Muslimah dalam Menguatkan dan Meluaskan Praktik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin di Indonesia, Pakistan, Tunisia, dan Malaysia, kedua, Peran Strategis Media Islam dalam Menguatkan Narasi Islam Rahmatan Lil ‘ Alamin di Indonesia, Pakistan, Tunisia, dan Malaysia, ketiga, Islam dan Kebudayaan: Strategi Dakwah yang Inklusif, Pengalaman Indonesia, Pakistan, Tunisia, dan Malaysia.
Di sesi tema pertama “Peran Strategis Muslimah dalam Menguatkan dan Meluaskan Praktik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin di Indonesia, Pakistan, Tunisia, dan Malaysia, panelis yang hadir adalah Prof Alimatul Qibtiyah (Aisyiyah PP Muhammadiyah), Anggia Ermarini (Fatayat PBNU), Prof Mongia Souaihi (Universitas Ezzitouna Tunisia), Sehar Karman (Mantan Anggota Senat Pakistan), dan Sh Fatimah Alzahra Binti Syed Hussein, (International Islamic University Malaysia). Hadir pula Duta Besar Pakistan untuk Indonesia, H E Muhammad Hassan yang memberikan pidato kunci.
Dalam pidatonya, Muhammad Hassan menyebut bahwa dalam sejarah Islam, perempuan selalu memainkan peranan yang sama dengan laki-laki. Perempuan memiliki peran untuk menyebarluaskan agama Islam, mengajarkan Al-Qur'an, dan lain-lain.
"Bahkan, di dalam Al-Qur'an, ada dua surat yang berbicara tentang perempuan, yaitu surat Maryam dan surat An-Nisa. Tidak diragukan lagi, perempuan berperan penting dalam dakwah Islam," ujarnya.
Ia memberi contoh bagaimana Siti Khadijah berperan sebagai penopang utama dakwah Nabi Muhammad saw. Selain itu, Nabi Muhammad juga didukung oleh perempuan-perempuan lain seperti Aisyah dalam mengajarkan agama dan memimpin umat.
Sementara itu, Sehar Kamran menyebut bahwa Islam adalah agama penyeimbang, agama yang menolak diskriminasi, dan agama yang egaliter. Maka, dalam Islam, perempuan juga memiliki peranan yang penting.
"Di tingkat mikro, perempuan menjadi pusat rumah tangga. Di tingkat makro, perempuan menjadi pusat dari masyarakat," ujarnya.
Di Pakistan, perempuan-perempuan menjadi simbol penting dalam melawan ideologi kekerasan. Bahkan, ada beberapa perempuan yang turut menjadi pendiri negara Pakistan.
"Di Pakistan ada banyak perempuan yang mampu berkontribusi. Ada Malala Yousafzai, Benazir Bhutto, dan lain-lain," imbuh Sehar.
Prof Alimatul Qibtiyah, perwakilan dari Muhammadiyah membicarakan tentang persoalan yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia dan strategi yang diperlukan untuk menjawab persoalan tersebut. Persoalan yang sering dihadapi oleh perempuan Indonesia adalah kesetaraan gender.
“Persoalan ketidaksetaraan ini dapat dilihat dari jumlah profesor di perguruan tinggi di Indonesia yang tidak seimbang. Jumlah profesor laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, serta jumlah pemimpin perempuan di perguruan tinggi hanya sekitar 15-20%," ungkapnya.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini juga mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan seperti kasus pemerkosaan dianggap disebabkan oleh cara berpakaian perempuan yang dianggap mengundang hasrat laki-laki. Ini adalah stereotipe yang menyalahkan korban bukan pelaku. Prof Alimatul Qibtiyah menawarkan solusi supaya kesetaraan gender dapat tercapai. Salah satunya yaitu memahami bahwa manusia di bumi ini memiliki derajat yang sama.
“Nabi diutus sebagai rahmat dan seluruh manusia adalah hamba Tuhan bukan hamba manusia” ujarnya.
“Pada awalnya tidak menganggap perempuan itu penting dan harus dihormati, dan ketika Islam datang Allah menyebutkan perempuan juga memiliki hak otonom," imbuhnya.
Persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan ini berimplikasi pada peranan yang dimiliki oleh perempuan. Perempuan juga memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki seperti untuk menjadi pemimpin, bekerja pada sektor publik, dan politik. Dengan demikian, salah satu ajaran Islam Rahmatan Lil ‘Alamin adalah mendudukkan perempuan sama dengan laki-laki. Perbedaan di antara keduanya hanya dibuktikan dengan ketakwaan.
Sementara itu, Fatimah Al Zahrah mengatakan bahwa terdapat persamaan antara Indonesia dan Malaysia. Keragaman ini tidak hanya dilihat dari agama maupun etnis, namun juga dari politik dan kelas sosial yang ada.
Salah satu isu perempuan yang menjadi konsentrasi maupun penelitian dari dosen asal Malaysia ini adalah periode kemiskinan. Periode kemiskinan ini berdampak pada persoalan politik, ekonomi, kesehatan, dan edukasi.
Dampak yang paling kentara dari periode kemiskinan itu terjadi pada perempuan yang sedang menstruasi. Jika perempuan itu pada masa kemiskinan maka ia tidak bisa mendapat fasilitas yang sehat.
“Perempuan yang menstruasi pada periode kemiskinan tidak dapat pengetahuan yang cukup tentang menstruasi, produk apa (pembalut, red) yang berkenaan dengan menstruasi, toilet khusus, atau fasilitas lainnya," ujarnya.
Persoalan semacam ini rentan terjadi pada masyarakat dengan ekonomi ke bawah. Mereka tidak mendapat pengetahuan dan informasi tentang menstruasi, produk pembalut yang sehat untuk menstruasi, dan air bersih. Persoalan ini kemudian berimbas pada anak yang sedang menimba ilmu di bangku sekolahan. Anak-anak tersebut pada akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan ke sekolah. “Makanya banyak kasus pernikahan dini," imbuhnya.
Selain itu, persoalan lainnya adalah anggapan atau stigma terhadap darah menstruasi. Darah menstruasi dianggap sebagai darah kotor, sehingga hal itu berdampak pada hubungan sosial. Menurutnya hal itu merupakan hasil dari pemahaman yang salah tentang darah menstruasi.
Oleh karenanya, ia ikut serta dalam gerakan Peduli Merah. Istilah “merah” diambil dari warna darah menstruasi. Tujuanya adalah untuk menyadarkan bahaya seseorang ketika berada di periode kemiskinan. Gerakan ini akhirnya mendapat dukungan dari NGO dan pemerintah. Salah satu buktinya adalah adanya bantuan terhadap korban bencana alam dalam bentuk pemberian pembalut bagi perempuan.
Profesor Universitas Ezzitouna, Tunisia, Prof Mongia Souaihi berpandangan bahwa perempuan di era sekarang ini harus paham terhadap wacana Rahmatan Lil 'Alamin agar tidak terjerumus paham-paham ekstremisme.
“Mulai dari nilai-nilai Islam yang ramah dan toleran, itu semua harus dipahami oleh para perempuan zaman sekarang untuk menghindari agar tidak terjerumus paham ekstremis,” kata Mongia.
Hal itu, lanjut dia, menjadi semakin penting karena di dalamnya terkandung ajaran yang mengatur hubungan antar sesama manusia serta hubungan manusia dan lingkungan.
“Itu penting karena perilaku seorang Muslim tidak hanya tercermin dari ibadahnya pada Allah swt, namun juga harus tercermin dari bagaimana ia memperlakukan orang lain dan lingkungannya,” jelas dia.
Pasalnya, terang Mongia, tak sedikit orang yang salah mengartikan arti toleransi lebih-lebih memaknai ajaran Rahmatan Lil ‘Alamin itu tampak dari banyaknya orang yang masih menganggap dirinya toleran padahal sebenarnya tidak.
“Ada beberapa orang yang mengartikan toleransi dengan salah. Misalnya, saya menoleransi orang tersebut karena saya lebih kuat dari orang itu,” bebernya melanjutkan.
Padahal, selama ini Islam dipahami sebagai agama yang memuliakan setiap makhluk tanpa ada yang dibeda-bedakan, apalagi jika itu dipandang dari segi keduniawian.
“Islam adalah agama yang tidak menolak hak-hak manusia, melainkan memuliakan hak-haknya. Hal tersebut disampaikan Nabi saw melalui hadits-haditsnya,” terang Mongia.
Salah satu hadits yang dimaksud Mongia adalah yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. “Sungguh (sebagian) Mukmin kepada (sebagian) Mukmin lainnya seperti bangunan, yang menguatkan sebagian dengan sebagian lainnya.” Dan beliau menyilangkan jari-jarinya,” paparnya.
“Umat manusia seperti bangunan. Islam juga adalah agama yang menjunjung tinggi hak-hak setiap makhluk. Karena itu rahmat adalah sebuah sifat yang bermakna luas,” imbuhnya.
Editor: Syamsul Arifin