Jakarta, NU Online
Dosen tetap pada Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) Jakarta, Nur Rofiah menyampaikan empat poin kunci membangun peradaban Islam Rahmatan lil Alamin.
"Yaitu, jati diri manusia, kemaslahatan Islam, alam semesta seisinya sebagai ayat Allah swt, dan Islam sebagai sistem dan proses," katanya saat menjadi narasumber dalam Kajian Islam Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, belum lama ini.
Mengenai jati diri manusia, ia menerangkan bahwa laki-laki dan perempuan, sama-sama punya status melekat sebagai hanya hamba Allah swt (inti tauhid), yang diberikan amanah melekat sebagai khalifah fil ardl dengan mandat mewujudkan kemaslahatan seluasnya di muka bumi, baik di ruang domestik maupun publik.
"Sebagai pemimpin di muka bumi, manusia dibekali akal dan hati nurani sehingga mampu memilah yang baik dari yang buruk dan memilih yang baik. Tinggal mau atau tidak memakainya, baik kemauan manusia secara personal maupun kolektif, dan individual maupun sistemik," terang Akademisi Kajian Sosial Islam itu.
Dalam penuturannya, nilai manusia hanya tergantung oleh takwa, yaitu kemampuan membuktikan komitmen tauhid pada Allah dengan tindakan mewujudkan kemaslahatan pada sesama makhluk-Nya, atau iman pada Allah sebagai satu-satunya Tuhan dengan tindakan baik (amal saleh) pada sesama makhluk-Nya.
Takwa juga memiliki pengertian hubungan baik manusia dengan Allah yang melahirkan hubungan baik dengan sesama makhluk-Nya. I'dilu huwa aqrabu lit taqwa (sikap adil pada sesama manusia adalah syarat takwa pada Allah).
"Iman adalah berkata baik atau diam, memuliakan tetangga, tamu, berbakti pada orang tua, dan lainnya. Inilah iman yang menggerakkan peradaban," tutur perempuan jebolan Universitas Ankara Turki bidang Ilmu Tafsir itu.
Selanjutnya, perihal kemaslahatan Islam, menurutnya, kemaslahatan yang dikehendaki Islam pada manusia adalah kemaslahatan secara internal sekaligus eksternal, baik sebagai individu, pasangan suami-istri, keluarga, masyarakat, negara, maupun global, dan baik secara personal, kolektif, sosial.
"Bahkan sebagai spesies manusia, maupun secara sistemik," ujar dia.
Kemudian, yang merupakan poin ketiga, lanjut dia, yakni alam semesta seisinya sebagai ayat Allah. Al-Qur'an adalah salah satu, bukan satu-satunya ayat Allah. Al Qur'an dikenal sebagai ayat qauliyyah yang disebut juga sebagai ayat kecil (sugra). Ayat lainnya adalah alam semesta raya seisinya, yang dikenal sebagai ayat kauniyyah atau disebut juga sebagai ayat besar (kubro).
"Al-Qur'an dipahami oleh ulama melahirkan tafsir yang kemudian berkembang menjadi ilmu agama. Sementara alam semesta raya seisinya diteliti oleh ilmuwan kemudian melahirkan teori yang berkembang menjadi ilmu umum," jelas pemilik buku Nalar Kritis Muslimah ini.
Jika dikaji lebih mendetail, terang dia, ilmu umum dan ilmu agama sejatinya sama-sama hasil pemahaman manusia atas ayat-ayat Allah. Keduanya sama-sama penting untuk digunakan dalam merumuskan kemaslahatan bersama, dengan rasa sadar atas keterbatasan masing-masing sebagai ikhtiar manusia yang pengetahuannya terbatas, dinamis, dan bisa salah bisa pula benar.
"Ilmu umum dengan demikian bisa bernilai spiritual jika menjadi media kemaslahatan bersama. Sebaliknya, ilmu agama bisa hilang nilai spiritualnya jika disalahgunakan untuk kemafsadatan, seperti fitnah, propaganda, hoaks, dan legitimasi atas tindakan kekerasan maupun kezaliman lainnya," Rofiah menerangkan.
Lebih lanjut, ia memaparkan Islam sebagai sistem dan proses. Sebagai sistem, ajaran Islam terdiri dari tiga hal yang tersusun secara hierarkis.
Pertama, misi atau arah sistem ajaran Islam, yaitu sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta, termasuk kelompok lemah (dhuafa) dan kelompok yang rentan dilemahkan (mustadlafin).
Kedua, fondasi moral, yaitu ajaran tentang prinsip dan nilai dasar, seperti tauhid, taqwa, iman, keadilan, kemaslahatan, kemanusiaan, keselamatan, kesehatan, kasih, sayang, kelestarian alam, dan nilai kebajikan universal lain, yang muaranya adalah penyempurnaan akhlak mulia manusia.
Ketiga, tambah dia, cara, yaitu ajaran Islam berupa petunjuk untuk menggerakkan sistem kehidupan yang ada menuju sistem kehidupan yang menjadi misi Islam. Mengubah sistem kehidupan minadz dzulimati ilan nur (dari situasi kegelapan/kezaliman menuju cahaya/keadilan).
"Ajaran Islam terkait isi dan fondasi moral tidak bisa dinegosiasikan karena ia menjadi arah dan jiwa Islam kapan dan di manapun, baik secara tekstual maupun kontekstual. Sementara ajaran Islam yang terkait dengan cara mengubah sistem kehidupan yang ada, kadang tidak hanya bisa, bahkan harus dinegosiasikan," imbuh penulis buku Nalar Kritis Muslimah itu.
Ia mengungkapkan, negosiasi sangat diperlukan terutama saat sistem kehidupan saat ini berbeda dengan sistem kehidupan yang melatari turunnya ayat (asbabun nuzul) ataupun munculnya hadis (asbabul wurud) sehingga penerapannya secara tekstual justru berdampak menjauhkan sistem kehidupan, yang ada justru menjauh dari misi dan bertentangan dengan fondasi moral Islam.
Dicontohkan, petunjuk Islam tentang cara menghadapi perang dan sistem perbudakan yang ada kala itu. Petunjuk tersebut jika diterapkan pada sistem kehidupan yang sedang tanpa keduanya justru berdampak pada ajakan perang dan melakukan perbudakan.
"Padahal keduanya hanya menjadi anugerah bagi pihak yang kuat atau dominan, tapi menjadi musibah bagi pihak lemah (dhuafa) dan rentan dilemahkan (mustadlafin)," ungkap perempuan yang juga aktif sebagai Pengurus Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) itu.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin