Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha Antara NU dan Pemerintah, dari Gus Dur Ketua Umum PBNU sampai Presiden RI
Kamis, 6 Maret 2025 | 09:00 WIB
Jakarta, NU Online
Setidaknya, Nahdlatul Ulama pernah empat kali mengalami perbedaan dengan pemerintah dalam memulai awal bulan Hijriah, baik dalam bulan Ramadhan, Idul Fitri hingga Idul Adha.
Nuriel Shiami Indiraphasa dalam artikel berjudul Lembaga Falakiyah PBNU Jelaskan Dinamika Fiqih NU Terkait Sidang Isbat dan Hukmul Hakim, menulis bahwa perbedaan itu terjadi pada Idul Fitri tahun 1412 hingga 1414 H. Ketiga perbedaan itu terjadi saat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dipimpin KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua umum.
"Hasil sidang isbat pemerintah dan ikhbar NU pada era fiqih rukyat murni tercatat mengalami perbedaan selama tiga tahun berturut-turut," tulisnya sebagaimana dikutip pada Kamis (6/3/2025).
Pertama, pada Idul Fitri 1412 H. Isbat pemerintah di era Menteri Agama (Menag) Munawir Sjadzali menetapkan 1 Syawal 1412 H jatuh pada 5 April 1992, sedangkan ikhbar NU menyatakan 1 Syawal 1412 H jatuh 4 April 1992.
Kedua, pada Idul Fitri 1413 H. Isbat pemerintah di era Menag Tarmizi Taher mengumumkan 1 Syawal 1413 H jatuh pada 25 Maret 1993 M, sedangkan ikhbar NU menetapkan 1 Syawal 1413 H jatuh pada 24 Maret 1993 M.
Ketiga, pada Idul Fitri tahun 1414 H. Ikhbar NU memutuskan 1 Syawal 1414 H jatuh pada Ahad, 13 Maret 1994 M. Sementara isbat pemerintah masih di era Menag Tarmizi Taher menetapkan 1 Syawal 1414 H pada Senin, 14 Maret 1994 M.
Pada tiga tahun tersebut, isbat Pemerintah menggunakan hisab untuk menganulir laporan rukyat NU yang menggunakan rukyat murni. Oleh karenanya, isbat pemerintah pada tahun tersebut tidak wajib diikuti.
Hal tersebut dilandaskan pada keputusan Munas Alim Ulama NU di Situbondo (Jawa Timur) pada tanggal 18-21 Desember 1983 M/13-16 Rabiul Awal 1404 Н, yang kemudian dikukuhkan pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo (Jawa Timur) pada tanggal 8-12 Desember 1984 M/15-19 Rabiul Awal 1405 H, yang berbunyi:
"Jika pemerintah menetapkan awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan hisab, maka penetapan itu tidak wajib diikuti."
Seiring berjalannya waktu, fiqih NU bertransisi dari rukyat murni menuju rukyat dan hisab. Pada era ini, PBNU mensyaratkan imkanur rukyat, yaitu tinggi hilal mar'i menurut hisab yang akurat minimal 2 derajat. Sehingga pada penentuan Idul Fitri 1418 H, isbat pemerintah dan ikhbar PBNU jatuh pada tanggal yang sama, yakni 30 Januari 1998.
Namun tak berhenti di situ, perbedaan NU dengan pemerintah kembali terjadi saat pada tahun 1420 H. Kali ini bukan perbedaan dalam menentukan hari raya Idul Fitri, melainkan saat menentukan hari raya Idul Adha.
Syakir NF dalam tulisannya di NU Online yang berjudul Ketika NU dan Pemerintah Berbeda dalam Penentuan Awal Hijriah, menyebutkan, saat itu, ikhbar NU melalui Lajnah Falakiyah PBNU di bawah komando KH Ahmad Ghazalie Masroeri memutuskan bahwa Idul Adha terjadi pada Jumat, 17 Maret 2000.
Hal tersebut didasarkan pada laporan perukyat yang tidak berhasil melihat hilal pada Senin, 6 Maret 2000 M, atau bertepatan dengan 29 Dzulqa’dah 1420 H. Dengan begitu, bulan kesebelas itu digenapkan menjadi 30 hari (istikmal) sehingga 1 Dzulhijjah 1420 H terjadi pada lusanya, yakni Rabu, 8 Maret 2000 M.
Sementara itu, pemerintah memutuskan, bahwa Idul Adha 1420 H terjadi pada Kamis, 16 Maret 2000. Keputusan ini didasarkan pada terpenuhinya kriteria imkanur rukyat (kemungkinan hilal bisa terlihat/visibilitas) pada hilal di akhir bulan Dzulqa’dah 1420 H itu.
Perbedaan tersebut terjadi saat pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid dengan Menteri Agama KH M Tolchah Hasan, yang mana keduanya merupakan tokoh NU.