Perempuan Disabilitas, Caregiver, dan Penyintas Kanker Suarakan Beratnya Kerja Perawatan yang Sering Tak Terlihat
Senin, 17 November 2025 | 20:45 WIB
Perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Welin Hartati, dalam Talkshow Mengakui dan Meredistribusi: Feminisme, Kerja Perawatan dan Keadilan Gender di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Perempuan disabilitas, caregiver, dan penyintas kanker menyuarakan betapa beratnya kerja perawatan yang harus dipikul secara senyap dan sering tidak terlihat.
Perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Welin Hartati, menggambarkan kesehariannya sebagai perempuan disabilitas yang menjalankan banyak peran sekaligus, sembari mengungkap bahwa para caregiver kerap mengabaikan kesehatan mereka sendiri.
“Saya harus mengurus suami, saya harus mengurus organisasi, saya harus datang ke kementerian ini untuk menghadiri macam-macam. Kalau tidak diingatkan orang, saya tidak sadar. Ternyata saya tidak adil sama diri saya sendiri,” ujarnya dalam Talkshow Mengakui dan Meredistribusi: Feminisme, Kerja Perawatan dan Keadilan Gender di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025).
Welin mengutip data sensus 2018 yang menunjukkan rendahnya tingkat akses perempuan disabilitas terhadap layanan kesehatan. Ia menyoroti berbagai hambatan fisik yang ditemui di fasilitas kesehatan, mulai dari jarak yang jauh hingga bangunan yang tidak ramah disabilitas.
“Baru 9,4 persen perempuan disabilitas yang bisa mengakses layanan kesehatan, karena tempatnya tidak aksesibel. Dokternya, nakesnya enggak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan disabilitas,” katanya.
“Jaraknya jauh, pelayanannya di lantai atas, toiletnya kecil banget sehingga pengguna kursi roda tidak bisa masuk. Bayangkan ketika melihat seorang ibu pengguna kursi roda sedang hamil, bawa anak kecil, berobat di Puskesmas, hanya ingin sekadar ke kamar kecil, nggak bisa,” ujarnya.
Baca Juga
Mengenal Tanda-tanda Penyakit Kanker
Perawat orang tua lansia, Evie Permatasari, menceritakan pengalamannya merawat dua anggota keluarganya yang sudah sangat lanjut usia, yakni ibunya yang berusia 85 tahun dan kakak ibunya yang kini berusia 102 tahun.
“Ibu saya sendiri usia 85 tahun dan Budhe saya usia 102 tahun. Budhe saya masih suka baca koran, masih tidak berkacamata untuk membaca, terus masih suka minum kopi tanpa gula atau sedikit saja, kasih susu,” katanya.
Evie menjelaskan bahwa ibunya tinggal di Tangerang, sedangkan kakak ibunya tinggal di Jakarta sehingga keduanya tidak tinggal satu rumah. Ia mengatakan karena mobilitas pekerjaan membuatnya lebih sering berada di Jakarta, ia lebih banyak mendampingi kakak ibunya.
“Karena saya lebih banyak di Jakarta, saya memang lebih banyak menemani Budhe saya. Tapi ketika saya harus menemani Ibu saya kontrol, saya selalu akan menemani,” tuturnya.
Evie juga menceritakan bahwa ia tergabung dalam grup WhatsApp PKK untuk memantau kondisi ibunya dari Jakarta, sambil mendapatkan bantuan dari warga sekitar rumah sang ibu yang peduli.
“Meskipun saya di Jakarta dan Ibu di Tangerang, tetap terpantau. Komunitas di sana cukup peduli. Kalau pintu rumah masih tertutup, pasti ada warga yang menengok atau melihat kondisi Ibu,” jelasnya.
Evie juga menyampaikan bahwa tantangan terbesar merawat lansia adalah kekhawatiran kehilangan serta rasa bersalah ketika keduanya membutuhkan kehadirannya pada saat yang bersamaan.

Dalam kesempatan ini hadir pula penyintas kanker sekaligus caregiver untuk ibunya, Dian Kartika Sari, yang membagikan pengalaman merawat orang tua hingga akhirnya ia sendiri menjadi penyintas kanker.
Dian menuturkan bahwa proses merawat ibunya dilakukan hampir tanpa jeda, termasuk menangani kebutuhan dasar yang biasanya dilakukan tenaga kesehatan. Ia mengungkap bahwa kedua adiknya memiliki peran besar dalam memastikan dirinya tidak kelelahan selama merawat ibunya.
“Adik saya bilang, ‘Ini enggak bisa begini. Kalau hanya kamu yang melayani ibu, nanti kamu jatuh.’ Untungnya mereka membagi tugas, jadi saya boleh tidur dan mereka bergantian menjaga,” jelasnya.
Dian menekankan bahwa banyak caregiver dari keluarga justru jatuh sakit atau meninggal lebih cepat karena tidak membagi beban perawatan secara adil. Ia juga menguraikan bahwa tantangan emosional sering muncul ketika orang sakit mengalami kemarahan atau penolakan terhadap kondisinya.
“Kadang-kadang kita cuma butuh didengar. Butuh teman untuk tertawa. Kadang saya menghubungi sahabat ibu saya supaya ibu saya bisa ngobrol dengan orang lain, dan saya bisa bercanda dengan teman saya di depan rumah,” tuturnya.
Dian mengisahkan bahwa 26 tahun setelah merawat ibunya, ia sendiri didiagnosis kanker payudara dengan prognosis yang berat. Ia bercerita bagaimana rasa sakit yang hebat dialaminya juga dirasakan oleh orang di sekelilingnya, terutama anaknya.
“Dokter bilang, ‘Bu, ini paling 6 bulan, 7 bulan usianya. Jadi Anda harus merawat sampai waktu itu.’ Saya langsung tahu sakitnya akan seperti apa dan mental keluarga harus disiapkan,” kenangnya.
Dian menjelaskan bahwa pasien kanker sebenarnya tidak membutuhkan pertanyaan yang membuatnya kembali mengingat sakitnya, tetapi lebih membutuhkan dukungan emosional. Ia mengakui bahwa kepedulian kecil dari keluarga dan sahabat sangat berarti bagi pasien kanker, terutama dalam memberikan rasa bahwa mereka tidak sendirian.
“Kadang ada yang telepon atau datang. ‘Mbak, gimana? Kamu mau makan apa?’ Itu menolong sekali. Kita tertolong karena punya penghiburan,” katanya.
Menurut Dian menjadi caregiver membutuhkan pengetahuan karena setiap orang yang dirawat memiliki kebutuhan yang berbeda-beda.
“Menjadi caregiver itu butuh pengetahuan, karena jika berbeda yang dilayani maka akan beda juga kebutuhannya,” pungkas Dian.