Nasional

Perjuangan para Ibu, Kepeloporan, dan Kepemimpinannya di Ruang Publik

Selasa, 22 Desember 2020 | 06:00 WIB

Perjuangan para Ibu, Kepeloporan, dan Kepemimpinannya di Ruang Publik

Ilustrasi Hari Ibu. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Dalam sejarah perjuangan bangsa, masyarakat Indonesia pasti mengenal beberapa sosok pahlawan perempuan yang mengisi ruang publik dan memimpin barisan perlawanan terhadap penjajah. Misalnya saja Laksamana Keumalahayati yang memimpin armada kapal perang Aceh pada abad ke-17.


“Ada pula jejak Dewi Sartika, (Raden Ayu) Kartini, Nyi Ageng Serang, Rohana Kudus, dan banyak perempuan Indonesia yang kita akui kepeloporan dan kepemimpinannya di ruang publik,” ungkap Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Alissa Wahid dalam tulisan berjudul Ibu Bangsa di Udar Rasa Harian Kompas, Ahad (20/12) dan dikutip NU Online pada Selasa (22/12) yang bertepatan dengan Peringatan Hari Ibu.


“Selamat Hari Ibu Bangsa,” tegas Alissa. Ia memandang, peringatan Hari Ibu tidak hanya dimaknai sebagai momentum perayaan untuk ibu biologis. Namun lebih jauh dari itu, Hari Ibu harus dimaknai ulang sebagai peringatan sejarah bahwa dalam Kongres Perempuan, pada 22 Desember 1928, sekitar 600 perempuan dan para ibu berkumpul untuk membahas berbagai peran perempuan dalam berkhidmat untuk bangsa.


Di dalam kalangan masyarakat muslim yang sering dituduh menempatkan perempuan di ‘ruang dalam’ pun, Indonesia telah banyak mencatatkan tradisi yang berbeda. Alissa menyebut, setidaknya di acara-acara yang digelar NU, ia kerap menyaksikan pembagian tempat duduk yang sebaris setara antara bagian hadirin dan hadirat.


“Area peserta perempuan tidak diletakkan di belakang, tetapi di samping peserta laki-laki,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini.


Pada Konferensi Besar Silaturahmi Bu Nyai Nusantara pada 2019 lalu, Alissa juga menyaksikan seorang Nyai Sepuh membacakan doa. Sementara para hadirin kiai dan tokoh laki-laki mengamini dengan penuh khidmat. 


“Begitu pun dalam berbagai acara lainnya. Tidak tampak sentimen bahwa laki-laki harus lebih berkuasa atas perempuan,” tegasnya.


Memori Alissa pun kembali ke masa kecilnya. Ia mengaku menyaksikan para nyai yang tidak hanya mengurus rumah tangga sang kiai. Namun juga aktif mengelola pondok-pondok pesantren dengan ratusan, hingga ribuan santri mukim.


“Para nyai ini juga sibuk memberikan pengajian di berbagai tempat terbuka serta mengembangkan berbagai inisiatif di dalam maupun luar pondok pesantren,” jelas Putri Sulung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.


Sebagai contoh, ia mengungkapkan bahwa Putri Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari, Nyai Khoiriyah Hasyim mendirikan dan memimpin pondok pesantrennya sendiri, setelah berpengalaman mendirikan madrasah perempuan di Mekkah.


Di Mekkah, Nyai Khoriyah Hasyim merintis sekolah khusus putri atau Madrasah Lil Banat yang menjadi madrasah perempuan pertama di Mekkah ketika itu, pada 1942 Masehi. Usaha sebagai upaya agar perempuan bisa menikmati pendidikan setara dengan kaum laki-laki, yang ketika itu terdapat Madrasah Darul Ulum yang sebagian besar muridnya adalah laki-laki.


Sekitar 18 tahun di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah didesak oleh Presiden Soekarno untuk pulang ke Indonesia. Keputusan untuk balik ke tanah air pun diambil. Pada 1957, ia kembali memegang Pesantren Seblak yang dulu sempat dipegangnya bersama KH Ma’shum Ali. 


Tak hanya itu, Nyai Khoiriyah juga aktif menulis di media massa, berorganisasi di Muslimat NU. Bahkan ia sempat menduduki Syuriyah NU. Kiprahnya tersebut berhenti setelah ia wafat di RSUD Jombang pada 2 Juli 1983, dalam usia 73 tahun.


Menurut Alissa, para perempuan dalam keluarga yang sangat aktif di kehidupan masyarakat seperti Nyai Khoiriyah itu dihormati sebagai manusia yang utuh dengan semua potensinya. Peran laki-laki juga cukup terasa di dalam rumah tangga, sehingga kesetaraan terjadi bukan hanya pada peran publik, tetapi juga ruang domestik.


Hal itulah yang ia juga saksikan dari kiprah sang nenek Nyai Solichah Wahid Hasyim yang merupakan seorang politisi yang berpengaruh di DPR RI dan dihormati para kiai.


Peran Nyai Solichah di ruang publik


Nyai Solichah juga pernah memimpin Muslimat NU dan mengelola berbagai program pelayanan masyarakat seperti Balai Kesehatan Ibu dan Anak, Taman Kanak-Kanak, serta Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Tak hanya itu, ibu dari Gus Dur ini juga mengelola majelis taklim di seluruh Indonesia. 


Keterlibatan Nyai Solichah yang aktif di arena perbaikan masyarakat dan kepejuangannya, dimulai dengan menjadi anggota Muslimat NU Gambir pada 1950, Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956), dan Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU (1959) hingga wafat pada 29 Juli 1994, di usia 72 tahun.


Keterlibatan Nyai Solichah di Muslimat NU itu pun masih ditambah dengan keterlibatannya sebagai legislator DKI Jakarta (1957), DPR-GR/MPRS (1960), DPR/MPR pada 1971 mewakili NU dan mewakili Partai Persatuan Pembangunan pada 1978-1987. Semasa hidupnya juga, Nyai Solichah turut serta dalam kepengurusan Yayasan Dana Bantuan (YDB) sejak 1958 hingga akhir hayat. 


Nyai Solichah, pejuang dapur umum dan kurir di medan perang


Dalam catatan NU Online pernah diberitakan bahwa Nyai Solichah pernah turut serta membantu perjuangan para relawan perang. Di tengah medan perang mempertahankan kemerdekaan, ia menyusup sebagai kurir yang bertugas membawa makanan, pesan-pesan rahasia serta obat-obatan ke garis depan pejuang di daerah Mojokerto, Krian (Sidoarjo), dan Jombang.


Meski di tengah kecamuk pertempuran, hal itu tidak menyurutkan nyalinya bertugas sebagai kurir. Tugas yang membahayakan keselamatannya itu dilakukan Nyai Solichah Wahid. Semuanya demi usaha yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk membantu perjuangan melawan penjajahan. 


Saat itu, Nyai Solichah masuk dalam jajaran anggota Funjikai, organisasi perempuan bikinan Jepang. Isinya, para istri pejabat. Perempuan-perempuan pribumi banyak memanfaatkan organisasi untuk berjuang dan membantu para pejuang kemerdekaan, sebagaimana yang juga dilakukan Nyai Solichah. 


“Begitu juga Ibunda Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid yang tidak pernah berhenti bekerja di berbagai ruang publik,” ungkap Alissa. 


Namun dari semua kiprah perempuan atau ibu bangsa yang telah dijelaskan oleh Alissa itu, bukan berarti menandakan bahwa ruang bagi perempuan dan keadilan gender sudah terwujud di Indonesia. 


“Faktanya, masih banyak praktik yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih lemah dan tidak setara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Ini semakin dipersulit dengan meningkatnya ultrakonservatisme agama dalam masyarakat, seperti maraknya praktik nikah siri yang terlindungi oleh negara,” ungkap Alissa.


Di samping itu, lanjutnya, akses terhadap pendidikan belum juga seimbang sehingga banyak perempuan tidak dapat mengembangkan potensi secara maksimal. Sebab perkawinan anak masih marak terjadi. 


“Angka kematian ibu juga masih sangat tinggi. Kekerasan terhadap perempuan meningkat terus, sedangkan perlindungan masih minimal. Bahkan, upaya penguatan perlindungan terhadap perempuan melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun masih diganjal oleh DPR,” katanya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad