Ilustrasi: masyarakat banyak terjebak dan meributkan hal-hal yang tidak substansi dalam agama. Sehingga hal yang khilafiyah menghabiskan waktu untuk didiskusikan.
Jakarta, NU Online
Diperlukan kearifan dari pengguna media digital saat mengakses konten dakwah. Apalagi di tengah-tengah situasi pandemi Covid-19 yang hampir semua aktivitas dilakukan di rumah.
Redaktur konten Keislaman NU Online, Ustadz Alhafiz Kurniawan mengatakan hal itu saat menjadi narasumber Sahur Time Kompas TV yang ditayangkan Kamis (6/5) pagi.
"Di rumah banyak diartikan sebagai waktu luang, kemudian orang sibuk bermedia sosial. Kadang terjebak dan meributkan hal-hal yang tidak substansi dalam agama. Sehingga hal yang khilafiyah menghabiskan waktu untuk didiskusikan," kata dia.
Padahal menurutnya, masing-masing dari yang berdebat itu memiliki pandangan dan dasar. Karenanya masing-masing pihak tidak perlu memengaruhi dan menyudutkan pandangan orang lain.
Senada dengan hal tersebut, narasumber lainnya, Kaprodi Ahwal Syahsiyah Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Gus A Khoirul Anam mengungkapkan perlunya kedewasaan dalam menanggapi kondisi saat ini.
“Era Rasulullah SAW dan era kita yang membedakan dakwahnya adalah fasilitas teknologi dan problematika sosial. Sehingga kita tidak bisa bersifat anakronis jika mengkaji sejarah. Jangan sampai memaksakan apa yang terjadi di jaman Rasulullah SAW dengan jaman sekarang," terangnya.
Menurutnya, konteks yang terjadi telah berbeda, sehingga perlu kedewasaan termasuk bagi pendakwah yang harus menyadari kondisi masyarakat saat ini.
Dakwah adalah fardhu kifayah
Ustadz Alhafiz juga mengungkapkan karena hukumnya fardhul kifayah, dakwah tidak perlu dilakukan semua orang. Dakwah cukup dilakukan sebagian orang. "Kadang kita berpikir saat ini semua orang harus berdakwah. Dalil sampaikan walau satu ayat, itu tidak berarti semua orang harus berdakwah. Cukup beberapa orang saja," ungkapnya.
Ia menambahkan, fardhu kifayah adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh sebagian orang, tidak perlu seluruh individu seperti menjalankan sholat fardhu dan puasa.
Pihaknya juga menyebutkan bahwa dakwah adalah menyeru, mengajak dan mempublikasikan nilai-nilai yang baik dalam Islam, sehingga tidak ada batasan waktunya.
Pada episode bertema Dakwah di Media Digital, ia juga menyampaikan kriteria yang harus dimiliki pendakwah yaitu mengamalkan nilai-nilai keislaman yang disampaikan. Jika tidak diamalkan sendiri maka akan sulit diterima oleh orang yang mendengar dan menerimanya. "Prinsip dasarnya adalah memulai dari diri sendiri," ungkapnya.
Konten kebutuhan harian banyak diserbu
Ustadz muda yang juga pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU itu mengatakan di media digital, konten yang berisi kebutuhan sehari-hari banyak diserbu masyarakat umum. Ada kecenderungan, masyarakat tidak mencari isu elit yang dibahas organisasi, seperti hukum korupsi dan HAM. Kalaupun ada yang mencari pasti tidak banyak.
"Kebanyakan masyarakat mencari panduan peribadatan sehari-hari seperti bacaan shalat dan niat puasa. Selain itu yang banyak diminati adalah isu yang sedang ramai dibicarakan. Seperti kasus terorisme, kita harus memberikan pengertian yang benar mengenai jihad, hukumnya, dilakukan oleh siapa, dan dilakukan terhadap siapa," ungkapnya.
Di situs resmi PBNU, NU Online, menurut Ustadz Alhafiz, awalnya hanya sebatas konten yang memuat tulisan-tulisan, kemudian berkembang hingga video, audio, dan SuperApp. "Dengan SuperApp NU Online, masyarakat bisa mengakses amaliah dan kebutuhan beribadah mereka," terangnya.
NU Online melayani konsultasi keagamaan masyarakat dengan cara berpikir NU yang tawasuth, moderat, dan menimbang kondisi orang yang bertanya.
"Dari media sosial yang dimiliki NU Online yaitu Facebook dan Instagram, banyak yang bertanya dan konsultasi," imbuhnya.
Daya jangkau media digital, sambung dia, tergolong luar biasa. "Terkadang kita sebagai penulis atau kita membuat video pendek satu hingga dua menit, kemudian kita tinggal (untuk) aktivitas lainnya. Konten tersebut sudah bisa dikonsumsi banyak masyarakat, kapan saja dan di mana saja," tegasnya.
Kontributor: Afina Izzati
Editor: Kendi Setiawan