Perlu Rekontekstualisasi Kitab Kuning untuk Jawab Tantangan Zaman
Selasa, 18 Juli 2023 | 09:00 WIB
Wakil Menteri Agama Republik Indonesia H Saiful Rahmat Dasuki saat mewakili Menteri Agama H Yaqut Cholil Qoumas menutup penyelenggaraan Musabaqah Qiraatil Kutub Nasional (MQKN) 2023 di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, Senin (17/7/2023). (Foto: Humas Pendis)
Lamongan, NU Online
Wakil Menteri Agama Republik Indonesia H Saiful Rahmat Dasuki menyampaikan bahwa rekontekstualisasi kitab kuning menjadi satu langkah penting guna menemukan relevansi teks yang diproduksi ratusan tahun lalu dengan konteks masa kini.
Hal ini disampaikan saat menyampaikan sambutan mewakili Menteri Agama H Yaqut Cholil Qoumas pada penutupan penyelenggaraan Musabaqah Qiraatil Kutub Nasional (MQKN) 2023 di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, Senin (17/7/2023).
“Rekontekstualisasi kitab kuning sebagaimana yang dikemukakan KH Abduraahman Wahid diproyeksikan untuk merespons realitas melalui tradisi pesantren yakni bagaimana melakukan pembacaan kontekstual terhadap kuning sehingga substansi dan muatan kitab kuning sejalan dan memiliki relevansi dengan realitas yang demikian kompleks,” ujarnya.
Oleh karena itu, pembacaan kitab kuning secara kontekstual perlu dilakukan dengan merumuskan nilai-nilai instrumental yang disarikan dari kitab kuning itu. Hal ini sebagai bekal dalam menjawab dan menghadapi perkembangan peradaban yang bergerak secara dinamis.
“Kita diharapkan dapat merumuskan nilai instrumental kitab kuning dalam menghadapi tantangan peradaban yang terus berubah-ubah secara dinamis,” kata pria yang baru saja dilantik Presiden Joko Widodo pada Senin (17/7/2023) pagi itu.
Baginya, hal tersebut menunjukkan bahwa kitab kuning yang dipelajari para santri di pesantren memberikan manfaat bagi masyarakat. “Konsep turats yang telah kita pelajari bersama di pesantren sangat kita akui kebermanfaatannya dan keistimewaannya,” lanjutnya.
Namun, Wamenag juga menyampaikan bahwa harus diakui ada beberapa konsep dalam kitab kuning yang perlu dipelajari dengan kritis karena menghadapi realitas sosial dan peradaban yang berbeda. Ia mencontohkan konsep imamah dengan segala konsekuensi hukumnya.
“Konsep imamah itu tidak kita temukan lagi. Imamnya siapa. Negara apa yang dimaksud. Darul apa masih realitasnya sama. Negara adalah negara yang sangat berbeda dengan apa yang dibicarakan dalam turats. Begitu juga dengan kewarganegaraan,” ujarnya.
“Maka kita tidak bisa mengelak bahwa kita punya masalah dan dialogkan kembali tentang apa yang kita pelajari di turats dengan fakta realitas,” pungkasnya.