Persaingan Usaha yang Sehat Berdampak Positif terhadap Pelaku Usaha
Kamis, 5 November 2020 | 02:10 WIB
Persaingan usaha yang sehat akan memberikan akibat positif bagi pelaku usaha sebab akan menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk meningkatkan efisiensi produktivitas inovasi dan kualitas produk yang dihasilkannya. (Foto: NU Online)
Jakarta, NU Online
Persaiangan atau kompetisi yang sehat dibutuhkan agar aktivitas individua tau kelompok bisa berkembang. Termasuk dalam persaingan usaha.
Dalam hal ini, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar mengatakan, persaingan usaha yang sehat akan memberikan akibat positif bagi pelaku usaha sebab akan menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk meningkatkan efisiensi produktivitas inovasi dan kualitas produk yang dihasilkannya.
“Selain menguntungkan para pelaku usaha tentu konsumen juga akan memperoleh manfaat dari persaingan usaha yang sehat itu. Tentu persaingan di sini dalam ekonomi Pancasila tidak ada istilah persaingan akan tetapi yang ada adalah musabaqoh,” ujar Kiai Miftah.
Hal itu dikatakan Kiai Miftah dalam diskusi Peran Persaingan Usaha dalam Ekonomi Pancasila yang digelar Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 23 Oktober 2020 lalu.
Kiai Miftah menjelaskan, dalam hal ini saling unjuk mana yang terbaik dari sekian yang terbaik. Begitu juga di Islam. Konsumen memperoleh manfaat dari persaingan usaha yang sehat itu.
Menurutnya, persaingan yang sehat penekanannya ialah terjadi penurunan harga, banyak pilihan dan peningkatan kualitas produksi masing-masing. Prinsip dasar kebijakan pemerintah dalam literatur fiqih bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat.
“Ada kaidah yang kita kenal tasharruful imam ‘ala roiyyati manutun bil-maslahah. Dalam masalah ekonomi pemerintah memiliki kewajiban untuk menyejahterakan rakyat dengan mewujudkan iklim usaha yang baik dan kondusif,” jelas Kiai Miftah.
“Serta mengatur iklim usaha agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat dan monopoli yang merugikan,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, persaingan usaha atau dikenal dengan almunafasah atau musabaqoh at-tijariyah dapat diartikan sebagai persaingan yang dilakukan oleh dua atau pelaku usaha untuk sebagai persaingan saling mengalahkan pihak lain ini persaingan yang tidak sehat.
Diskusi yang menghadirkan sejumlah pakar ini juga membincang ekonomi Pancasila. KH Miftachul Akhyar mengatakan, ekonomi Pancasila pun tidak jauh dari itu ada sebagian yang menyangka bahwa paham yang seperti itu Islam berbau-bau paham isrtirakiyyah, paham ru’samaliyyah.
“Karena di situ Islam mengakui atas kepemilikan pribadi-pribadi. Islam juga membenarkan juga tentang wirasah (warisan) dan kepemilikan. Sehingga seseorang bisa memiliki sebuah kebun raksasa (yang luas),” terang Kiai Miftah.
Afif Hasbullah, salah seorang narasumber yang hadir dalam diskusi tersebut menjelaskan bahwa sejauh ini prinsip ekonomi Pancasila masih sering dijumpai ditemui sebagai konsep normatif, lebih sering dikatakan sebagai sistem ekonomi yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.
Bahkan menurutnya, sering konsep dan kebijakan dalam bidang ekonomi agar kebijakan itu mendapatkan satu legitimasi, baik secara politis filosofis maupun yuridis, maka digunakan jargon ekonomi Pancasila sebagai prinsip pendukungnya.
“Walaupun dalam tatanan implementasinya antara kebijakan yang dikeluarkan tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri,” tegas Afif.
Sementara itu, Pakar Agrobisnis, Prof Maksum Mahfoedz menjelaskan, Mahkamah Konstitusi sibuk sekali dengan urusan review yang diperkarakan oleh publik ketika negara memaknai pasal 33 secara kebablasan. Pasal 33 terkait pengusaan air oleh negara dimaknai sebagai dimiliki oleh negara dan pengelolaan sebebasnya oleh pemerintah.
Undang-Undang terkait Sumberdaya Air Nomor 7 tahun 2004 semuanya dibredel karena kesalahan penafsiran terhadap Undang-Undang Pasal 33 tahun 1995.
Maksum mengutarakan, banyak Undang-Undang yang pihaknya perkarakan dan disetujui oleh Mahkamah Konstitusi di antaranya UU SDM, UU pulau-pulau kecil, dan UU Kelistrikan yang klausul-klausulnya banyak dipatahkan karena kesalahan penafsiran dalam memaknai pasal-pasal Undang-Undang 1945.
“Mahkamah Konstitusi kedepannya akan sangat disibukkan karena Undang-Undang Cipta Kerja yang akan diperkarakan oleh publik,” ucap Prof Maksum.
Sedangkan Pakar Hukum Tata Negera, Jimly Asshidiqi yang juga memberikan pemaparannya dalam diskusi mengungkapkan bahwa ekonomi pasar dan politik pasar bebas harus dikawal. Jika tidak dikawal, maka iblis di bidang politik akan semakin besar. Terdapat tiga macam iblis dalam tiga tingkatan yaitu harta, tahta, dan seksualita.
“Jika bekerjanya iblis seksualita secara sembunyi-sembunyi, kemudian iblis kekayaan mulai ramai namun tetap tidak terlalu ramai, maka berbeda dengan iblis kekuasaan yang bekerja secara rebut dan ramai,” ungkap Jimly.
Maka, menurutnya, harus dilakukan mekanisme kontrol yang lebih baik. Hadits Nabi menyebutkan bahwa ‘sebaik-baiknya tempat adalah masjid’. Hal ini sebenarnya merupakan simbol yang menunjukkan bahwa semua tempat ibadah merupakan terbaik.
“Namun, disebutkan pula bahwa tempat terburuk bagi umat manusia adalah pasar. Pasar merupakan tempat berkumpulnya iblis sehingga sudah seharusnya dikontrol. Pengontrolan dan pengawalan oleh nilai-nilai Pancasila khususnya merupakan suatu hal yang mutlak,” tegasnya.
Pakar lain, Prof Ari Budimanta menyatakan bahwa KPPU pernah melakukan persidangan terkait usaha pangan, dan pengusaha pernah terkena denda antara 11 miliar, namun KPPU kalah kasasi, ditolak MA.
Ada produk nasional yang tergusur oleh salah satu produk nasional juga. Artinya apa yang dilakukan KPPU penting karena implementasi itu besar antara usaha besar dan kecil. Jadi yang melemah adalah ekonomi rakyat. Maka dari itu pasar bisa menggerakkan habit, value accumulation untuk company.
“Jadi permasalahan kecil menggambarkan aktivitas-aktivitas global bekerja. Jadi usaha kecil seperti di atas akan tergusur oleh perusahaan nasional yang bisa menarik karena bisa dilihat bungkusnya keren dan berbagai macam varian rasa. Beda halnya dengan es teh atau pun es buah yang itu-itu aja,” jelas Ari.
Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan