Nasional

Pesan Memilih Partai yang Bersih dalam 'Kidung Pangiling' Kiai Imam Malik

Ahad, 3 November 2019 | 06:00 WIB

Pesan Memilih Partai yang Bersih dalam 'Kidung Pangiling' Kiai Imam Malik

Demonstarsi massa menuntut perbaikan sosial politik (Foto: rri.co.id)

Penelitian oleh Miftakhur Ridlo dari Institut Agama Islam (IAI) Uluwiyah Mojokerto berjudul Kritik Sosial dan Politik dalam Kidung Pangiling Karya Kiai Imam Malik menyebutkan salah satu pesan dalam kidung tersebut adalah agar umat Islam memilih partai yang bersih. Pesan itu berdasarkan situasi politik dan sosial tahun 1998.

Peneliti menyebutkan Kidung Pangiling merupakan syiiran yang diciptakan oleh Kiai Imam Malik yang bertempat tinggal di Desa Losari Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto. Ia mendirikan padepokan yang bernama Mayangkoro Pondok Pesantren Sambung Sari Noto Projo Majapahit Bangkit Nusantara Jaya. Kiai Imam Malik menciptakan syiiran kidung pangiling bertujuan untuk memberikan nasehat dan pengingat kepada masyarakat pada durasi waktu 1997-2006. 

Peneliti memaparkan, bagian yang mengungkapkan pesan terkait memilih partai yang bersih terdapat dalam bagian syair berikut ini Mulo wong islam ojo mikir partai/Sebab rusake politik sejati/Ora biso mujudno dasar demokrasi/
Umate bingung wedi yen diapusi//
 
Maknanya, adalah orang Islam dianjurkan untuk tidak masuk kedalam partai yang kotor. Karena partai yang seperti ini akan mencederai politik Negara sehingga demokrasi akan menjadi tirani. Sehingga menyebabkan umat menjadi takut dan bimbang nanti akan dibohongi.
 
Penelitian yang dilakukan tahun 2018 dengan dukungan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam  (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI, peneliti mengungkapkan bagian tersebut dilatarbelakangi bahwa salah satu ujung tombak gerakan reformasi politik 1998 adalah gerakan politik massa yang diwarnai dengan berbagai bentuk kekerasan massa yang menggerogoti basis legitimasi ekonomi, politik, dan kultural rezim Orde Baru. Walaupun mungkin rezim ini belum benar-benar lumpuh, ungkap peneliti, namun Soeharto sebagai pucuk pemerintahan telah tergusur. 
 
"Dengan kata lain, jasa gerakan dan kekerasan massa tidak bisa diabaikan begitu saja dalam meruntuhkan kepemimpinan politik ototriter di tahun 1998. Namun tatkala Soeharto sudah turun, gerakan dan kekerasan massa terus berlanjut," sebut peneliti dalam laporannya.
 
Peristiwa perebutan kepimilikan (penjarahan), parlemen jalanan (demonstrasi atau kerusuhan) peradilan massa, dan juga kriminal kolektif yang terjadi dalam beberapa bulan merupakan sederet contohnya. Konflik bernuansa kekuasaan bukan semata terjadi secara vertikal (antara masyarakat dan Negara), tetapi juga terjadi secara horizontal (antar kelompok dalam masyarakat). Seperti yang terjadi bukanlah antara demonstran (masyarakat) dengan militer (Negara), tetapi juga antara demonstran (masyarakat) dengan kontra demostran (masyarakat). Karakter Order Baru juga sebagai pemicu dan stimulan munculnya kekerasa di tingkat Negara maupun di tingkat masyarakat. 

Peneliti lebih lanjut mengungkapkan, demokrasi di awal Orde Baru memiliki tiga harapan. Pertama, berbeda dengan Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno yang lahir sebagai produk rekayasa elit, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan arus keinginan dari bawah. Latar belakang ini menjadi dasar yang kuat bagi terjadinya pembesaran pluralism dan penumbuhan demokrasi, mengingat sebagai sebuah pemerintahan yang tumbuh dari bawah Orde Baru seyogianya memberikan tempat bagi aktualisasi politik masyarakat.
 
Kedua, rekrutmen elit politik di tingkat nasional yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya melalui para teknokrat. Harapannya mementingkan proses politik yang bootm up dan lebih berorientasi kepada publik. Ketiga, tiga pusat kekuasaan yaitu militer, teknokrasi dan birokrasi. Sekalipun militer sebagai pilar utama kekuasaan egaliter dengan Negara dan kekuatan kemasyarakatan Orde Baru. 
 
Orde Baru menghadapi tuntutan demokratisasai yang sangat besar dari berbagai kalangan. Isu yang menjadi tren untuk bergerak pada era itu adalah mengenai hak asasi manusia dan demokrasi. Pada tahun 1990-an, telah banyak lahir generasi baru LSM hak asasi manusia dan demokrasi yang berjuang dengan gigih menyuarakan tuntutan tentang hak asasi manusia dan demokrasi yang dianggap bersifar universal. Contoh gerakan tersebut adalah kasus pembredelan Tempo, Editor, dan Detik.
 
Selain itu, banyak terjadi gelombang protes yang dilakukan, diantaranya berdirinya organisasi Solidaritas Indonesia Untuk Pembredelan Pers (SIUPP) yang mengkordinir banyak pertemuan dengan organisasi prodemokrasi dan hak asasi manusai lainnya seperti LPHAM, Infighr, FAMI, Pijar, dan lain-lain.
 
Faktor pemicu atau pendorong gerakan reformasi 1998 salah satunya terbentuknya status baru. Adanya orang kaya baru di Indonesia tururt merekontruksi budaya dan kontestasi identitas kelompok, melalui budaya konsumsi, konsumnerisme dan konsumsi yang tinggi turut memainkan perananpenting dalam politik kultural Indonesia kontemporer. Kelas baru ini adalah kalangan alumni berbagai kampus, yang peranannya dalam gerakan reformasi 1998. 

Bangkitnya kelas menengah pitik yakni kelas terdidik di perkotaan yang menjadikan kritisime sebagai basis politik mereka. Kelas menengah politik berbeda dari konsep kelas menengah yang lazim dalam ilmu sosial. Kelas menengah membangun daya tawar vis a vis Negara melalui modal. Kelas menengah politik membangun daya tawarnya melalui intelektualitas dan organisasi politik. Mereka menguatkan atau mengeraskan gerakan sosial pada konteks reformasi 1998. Mereka membangun sistem atau wacana masyarakat baru.
 
Kala itu, ada enam tuntutan reformasi, di antaranya penegakan supremasi hukum; pemberantasan KKN, reformasi birokrasi; pengadilan mantan Presiden Soeharto; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/ Polri; pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
 
 
Editor: Kendi Setiawan