Nasional

Pidato Lengkap Gus Yahya: Humanitarian Islam vs Islam Wasathiyah

Senin, 23 September 2024 | 15:00 WIB

Pidato Lengkap Gus Yahya: Humanitarian Islam vs Islam Wasathiyah

Ketum PBNU Gus Yahya saat menyampaikan pidato dalam Halaqah Humanitarian Islam; Islam untuk kemanusiaan; Al-Islam lil Insaniyah yang digelar di Hotel Acacia Jakarta, Ahad (22/9/2024). (Foto: dok. PBNU)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memberi sambutan sekaligus arahan dalam Halaqah Humanitarian Islam; Islam untuk kemanusiaan; Al-Islam lil Insaniyah yang digelar di Hotel Acacia Jakarta, Ahad (22/9/2024).


Berikut adalah pidato lengkap Gus Yahya dalam kesempatan tersebut:


***

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh.


Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillāh Sayyidinā wa Maulānā Muhammad ibni Abdillāh, wa 'alā ālihi wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.


Yang mulia Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Miftachul Akhyar. Yang mulia Wakil Rais ‘Aam KH Afifuddin Muhajir. Para ruasa’ yang hadir, katib ‘aam, segenap jajaran syuriah yang saya hormati. Teman-teman dari jajaran tanfidziyah dan juga dari LBM yang hadir yang saya hormati.


Alhamdulillah, hari ini kita mulai satu kegiatan halaqah yang sebetulnya dimaksudkan lebih sebagai penanda dari upaya untuk menyosialisasikan dan mengembangkan wacana tentang al-Islam lil Insaniyah ini.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Al-Islam lil Insaniyah sebagai brand, sebagai merek, sebetulnya adalah satu set strategi jangka panjang yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya sejak 2013, ketika dimulai kampanye tentang Islam Nusantara.


Strategi ini dibangun sebagai tanggapan terhadap gejolak internasional menyangkut konflik di berbagai titik panas di seluruh dunia, khususnya di Timur Tengah, yang kemudian juga diwarnai dengan gerakan-gerakan yang disebut sebagai gerakan radikal, gerakan ekstremis, gerakan teroris, yang membawa-bawa label Islam.


Sehingga kemudian, secara besar-besaran, sebagai kebijakan dari berbagai aktor politik utama di dunia internasional pada waktu itu, (muncul) wacana tentang moderasi agama.
Dan kita tahu selama ini yang menjadi sasaran utama adalah Islam: Islam harus menjadi moderat. Sehingga di mana-mana, khususnya – boleh saya katakan – di bawah kepemimpinan Al-Azhar, dibangun wacana besar tentang Islam Wasathiyah.


Sementara kita tidak pernah dengar tentang Kristen Wasathiyah atau Yahudi Wasathiyah atau Amerika Wasathiyah, misalnya. Sehingga Islam itu kemudian secara implisit menjadi satu-satunya tertuduh di dalam gejolak dan keacuhan dunia yang terjadi.


Walaupun tidak berani ngomong, tapi sebetulnya saya kira banyak orang merasakan seperti saya, yaitu sakit hati melihat keadaan. Karena dalam kenyataannya gejolak yang terjadi itu lebih kompleks dari sekadar urusan Islam melawan dunia di luar Islam; ada kepentingan-kepentingan pragmatis, ada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mungkin mengatasnamakan Islam, dan ada juga aktor-aktor yang memang sengaja menarget Islam sebagai sasaran dari strategi konfliknya.


Maka kita berusaha membangun suatu strategi tandingan, boleh dikata, strategi alternatif terhadap masalah ini, karena kekacauan global itu realitas yang tidak bisa diingkari dan memang harus dicari jalan keluarnya. Dan tidak bisa diingkari juga bahwa kekacauan itu memang menyangkut Islam dan dunia Islam.


Kita mulai pembangun strategi itu dimulai dengan kampanye tentang Islam Nusantara. Kenapa? Karena di panggung global suara Islam itu didominasi oleh Timur Tengah. Memang pada waktu itu yang dianggap legitimate, yang dianggap sah sebagai suara Islam itu kurang lebih hanya yang dari Timur Tengah, dan kita sendiri – suara Islam dari luar Timur Tengah – tidak begitu mendapat perhatian, nyaris tidak mendapat perhatian, karena yang di luar Timur Tengah dianggap kurang Islam. Dan ini bukan hanya persepsi dari kalangan luar Islam.


Saya kira ini teman-teman yang selama ini hidup, ngaji, dan bergulat dengan kalangan ulama Timur Tengah, saya kira juga tahu Gus Ghofur dan lain-lain ini, bahwa ulama-ulama Timur Tengah sendiri memang punya anggapan kita ini tidak terlalu Islam. Sementara, selama sekian lama tidak ada gagasan wacana, apalagi gagasan strategis yang muncul dari Timur Tengah yang betul-betul bisa menjadi harapan jalan keluar.
Kita sebetulnya punya gagasan tentang jalan keluar itu.


Cuma bagaimana caranya supaya suara Islam yang bukan Timur Tengah ini bisa didengar? Itulah sebabnya kita mulai dengan kampanye Islam Nusantara untuk mengklaim, untuk merebut klaim bahwa ada Islam di luar Timur Tengah yang sama-sama otentiknya, sama-sama sahnya, dan sama-sama berhak dan harus didengar sebagai suara Islam oleh dunia.


Alhamdulillah kita berhasil dengan kampanye Islam Nusantara itu, dan ini kampanye yang kita kerjakan secara komprehensif dan multilevel. Bukan seperti multilevel marketing, tapi multievel dalam arti kita kerjakan dari mulai mengembangkan wacana di tingkat lokal di dalam negeri sampai dengan lobi-lobi internasional dan upaya untuk membangun PR (public relations) internasional terhadap brand Islam Nusantara ini, sehingga sekarang alhamdulillah sudah diterima. Bahkan kalangan Timur Tengah sendiri sudah menerima, terpaksa menerima dan mengakui adanya Islam Nusantara ini sebagai model atau brand Islam yang legitimate.


Kemudian kita keluarkan apa sebetulnya gagasan tentang strategi yang dari Nusantara itu. Tahun 2017 kami menggelar konferensi internasional yang kami beri judul Humanitarian Islam, yang aslinya sebetulnya dari istilah Arab, al-Islam lil Insaniyah, yaitu Islam yang memberi jawaban kepada masalah-masalah kemanusiaan masa kini. Kalau diterjemahkan letterlijk ke dalam bahasa Inggris itu jadi Islam for Humanity.


Tapi ketika kami bicarakan dengan teman-teman yang orang Inggris beneran, orang Amerika, dan sebagainya, pokoknya orang Inggris beneran, mereka bilang: kalau Islam for Humanity itu nanti khawatirnya dikira kita mau memaksa seluruh umat manusia masuk Islam semua, sehingga bisa menimbulkan salah paham, makanya dipelintir sedikit jadi Humanitarian Islam. Ini memang wacana yang cukup sensitif.


Sebetulnya konsepnya sudah kita selesaikan tahun 2017 secara utuh, komprehensif, tetapi isinya memang sensitif. Kenapa? Karena ini kita maksudkan memang sebagai tandingan terhadap wacana Islam Moderat. Dengan kata lain, semangat dari al-Islam lil Insaniyah ini adalah menentang Islam Moderat, karena kalau dilihat dari keseluruhan konstruksi politik terkait dengan wacana Islam Moderat itu isinya tidak adil terhadap Islam. Maka memang isinya jadi sensitif.


Itu sebabnya, walaupun kita sudah kembangkan dalam berbagai lingkaran studi yang memang eksklusif di sana sini, dan kemudian berhasil menjadi brand, yang sebagai brand, sebagai istilah, juga dikenal cukup luas, khususnya di dunia internasional.


Bahkan belum lama ini ada satu lingkaran akademis di Eropa yang dipimpin oleh Prof Rudiger Lohlker dari Universitas Wina, Austria, yang menulis buku tentang Humanitarian Islam. Ini diterbitkan oleh penerbit terbesar di Eropa, namanya Brill. Ini buku yang sangat bergengsi, diterbitkan oleh penerbit bergengsi tentang Humanitaran Islam. Jadi sudah terkenal duluan Humanitarian Islam ini. Cuma secara internal, memang – apalagi untuk masyarakat Indonesia umumnya – di kalangan NU sendiri masih belum cukup diketahui atau dipahami apa isi dari wacana al-Islam lil Insaniyah ini.


Sehingga baru-baru ini ada peneliti dari ISEAS, ya Pak Suaedy? ISEAS Singapura, yang meneliti tentang Humanitarian Islam ini dan melakukan wawancara dengan berbagai pihak. Mereka menyimpulkan bahwa Humanitarian Islam ini hanya dikenal oleh kalangan terbatas saja di lingkungan ini dan pemahamannya masih centang perenang satu sama lain beda-beda.


Kenapa? Karena dokumen Humanitarian Islam itu hanya kami buat dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sengaja hanya kami buat dalam bahasa Inggris dan Bahasa Arab, tidak dalam bahasa Indonesia, karena kita khawatir – kalau bahasa Arab itu kan orangnya orang alim beneran yang baca, bahasa Inggris juga kalangan akademis beneran yang baca. Kita khawatir – kalau kita bikin dalam bahasa Indonesia itu nanti orang goblok-goblok ikut baca juga, sehingga terjadi salah paham dan, seperti dunia medsos kita sekarang ini, terjadi kekacauan. Maka memang belum kita sosialisasikan.


Sekarang kita melihat bahwa sudah tiba waktunya ini diperkenalkan secara lebih luas. Tidak berarti bahwa isi dari wacana Humanitarian Islam itu memang sudah final atau sudah lengkap atau sudah bisa dijadikan andalan untuk menjawab masalah, tetapi bahwa asumsi-asumsi dasarnya layak untuk dikembangkan sebagai gagasan-gagasan yang lebih kuat untuk ditawarkan sebagai jawaban atas masalah-masalah internasional.


Setelah dokumen Humanitarian Islam itu sebetulnya masih ada beberapa dokumen lagi yang menjadi sambungan dari ini, seperti misalnya dokumen yang disebut sebagai Manifesto Nusantara. Dokumen-dokumen ini meng-address dua masalah besar.


Yang pertama adalah bagaimana mencari jalan keluar dari konflik global dari perspektif Islam dengan asumsi bahwa Islam yang rasulnya ursila rahmatan lilālamīn ini pasti punya jawaban, tidak mungkin kita tidak punya jawaban atas masalah kemanusiaan. Pasti. Cuma bagaimana jawaban itu dirumuskan.


Yang kedua kita ingin mencegah atau melawan satu tren konsolidasi kekuatan global sedemikian rupa yang berpotensi melahirkan tirani. Karena sekarang ini ada kekuatan-kuatan luar biasa besar, baik secara ekonomi maupun politik, yang kalau tidak dilawan dengan gerakan kemanusiaan yang meluas berpotensi untuk menjadi tirani global karena konsentrasi akumulasi sumber daya-sumber daya ekonomi yang besar-besaran, yang bisa lebih besar dari beberapa puluh negara jadi satu kekayaannya, dengan konsentrasi kekuatan militer yang cukup besar-besaran. Ini kalau tidak dilawan dengan gerakan kemanusiaan yang luas sangat berpotensi akan menjadi tirani.


Dan khawatirnya dajjal jadi terlalu cepat datangnya. Mudah-mudahan dengan upaya-upaya yang bisa kita lakukan bisa ada penundaan sedikitlah, karena sudah terlanjur punya anak dan cucu, kita-kita ini jadi kasihan nanti cucu kita kalau kecepatan datang.
Bapak Ibu sekalian yang saya hormati.


Ini semua adalah wacana merupakan upaya kita memicu diskusi yang lebih jujur dan lebih decisive (menentukan), dalam arti memang dimaksudkan untuk menemukan jalan keluar beneran bukan cuma omongan mulut manis saja, seperti forum-forum dialog antar agama selama ini yang isinya cuma mulut manis saling mendakwahi di antara tokoh-tokoh agama, tapi tidak jujur dan tidak sungguh-sungguh memikirkan jalan keluar.


Mudah-mudahan dengan ini kita sungguh-sungguh bisa menggulirkan suatu dinamika pengembangan wacana, strategi dan gerakan. Kita mulai dengan Nahdlatul Ulama ini dan mudah-mudahan bisa menjadi kontribusi bermakna bagi kemanusiaan seluruhnya. Amin.


Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.

Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.