Pro-Kontra Pakar soal Gemuknya Kabinet Merah Putih: Anggaran Bisa Membengkak, tapi Bekerja Lebih Spesifik
Kamis, 24 Oktober 2024 | 21:30 WIB
Suasana Sidang Kabinet Paripurna perdana di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2024). (Foto: instagram @prabowo)
Jakarta, NU Online
Kabinet Merah Putih yang berisi 109 menteri dan wakil menteri telah dilantik oleh Presiden RI Prabowo Subianto menjadikan perbicangan hangat antarkalangan. Bertambahnya jumlah kementerian dari 34 menjadi 48 dinilai akan membuat pemborosan anggaran negara.
Pakar Ekonomi Politik Abdillah Ahsan menilai bahwa kabinet yang baru dilantik ini terlalu besar dan akan banyak kerugian yang diakibatkan untuk mendukung kerja masing-masing kementerian.
Ia mencoba menghitung untung-rugi dari gemuknya Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran ini. Keuntungannya adalah karena pekerjaan kementerian akan lebih terfokus, sehingga diharapkan para menteri bisa bekerja lebih efisien dalam melayani masyarakat.
"Ruginya, tiap kementerian pasti akan membutuhkan sarana prasarana, struktur dan anggaran tersendiri. Hal itu pasti akan membuat anggaran membengkak untuk mendukung kementerian ini," kata Abdillah kepada NU Online, pada Kamis (24/10/2024).
Ia juga menyebutkan bahwa dalam membentuk sebuah kementerian membutuhkan waktu yang lama dan anggaran yang tidak sedikit. Dalam bentuk fisik misalnya kantor, fasilitas, dan protokoler untuk menteri.
"Kemudian nanti kalau kementeriannya baru butuh perangkat struktur. Ada eselon 1 dan eselon 2. Itu semua membutuhkan anggaran dan membutuhkan waktu persiapan, itu tidak bisa dikebut dengan cepat," tuturnya.
Menurutnya, masyarakat membutuhkan kerja-kerja cepat dan nyata di saat APBN yang terbatas dan tidak bisa dengan mudah mempercepat penerimaan negara.
"Di sisi lain, masyarakat membutuhkan kerja-kerja cepat dan nyata. Dengan dana APBN kita yang sudah terbatas, kita tidak bisa menggenjot penerimaan negara dengan cepat," ucap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) itu.
Abdillah berharap, biaya yang akan dikeluarkan akan terkover oleh manfaat-manfaat yang akan didapatkan, sehingga menciptakan pelayanan kepada masyarakat yang adil dan makmur.
"Kita harapkan, semua kementerian bisa bekerja dengan baik dan efektif, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat agar masyarakat yang adil dan makmur bisa terwujud," imbuhnya.
Namun menurutnya, Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran ini harus tetap dikawal secara kritis agar anggaran yang dikeluarkan negara lebih efisien pada saat situasi masyarakat yang tidak baik-baik saja sekarang.
"Tetapi kita juga harus tetap kritis dan akui dengan kementerian sebanyak ini membutuhkan waktu dan anggaran yang akan membebani anggaran negara di saat situasi masyarakat yang tidak baik-baik saja seperti kelas menengah menurun dan kemiskinan ekstrim sulit dituntaskan," ungkapnya.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik UI Athor Subroto menyebutkan bahwa kabinet yang gemuk ini patut untuk dicoba. Menurutnya, dengan banyaknya kementerian ini, mereka bisa bekerja lebih spesifik dan secara khusus terhadap bidangnya.
"Menurut saya, Prabowo beserta para menteri Kabinet Merah Putih ingin mencoba hal lain. Dengan lebih banyaknya kementerian ini, kerja mereka akan lebih spesifik. Memang akan ada tambahan biaya termasuk gaji dan koordinasi, tetapi mungkin patut dicoba juga bekerja lebih spesifik dan khusus," ucapnya.
Ia juga menilai, jika Indonesia ingin maju dengan cepat maka membutuhkan banyak orang. Sebab dengan lebih banyak sumber daya manusianya maka akan cepat juga penyelesaiannya.
"Saya melihat, kalau ingin maju dan cepat kan memang butuh banyak orang. Kalau kita ingin menyelesaikan dengan lebih cepat sudah pasti membutuhkan SDM yang lebih banyak," katanya.
Athor mengatakan bahwa untuk memajukan negara, dibutuhkan banyak biaya asalkan tetap terkontrol sehingga target-target yang dipasang bisa terpenuhi bahkan terlampaui, sekalipun ada risiko koordinasi dan orkestrasi yang kurang baik dan menjadi bumerang tersendiri.
"Untuk maju kita membutuhkan banyak biaya, itu saya kira nggak masalah, asal memang kinerjanya dikontrol dengan baik, sehingga target-target yang dipasang itu terpenuhi dan kalau bisa terlampaui dengan semakin spesifik dan khususnya kerja-kerja dari kementerian," katanya.
Ia mencontohkan beberapa kementerian yang dipecah sehingga menjadikannya fokus dan bekerja secara lebih spesifik. Misalnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang dipecah menjadi beberapa kementerian.
Di Kabinet Merah Putih ada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen); Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek); dan Kementerian Kebudayaan.
"Dipecah tiga karena kemarin dianggap terlalu gemuk dan susah untuk bergerak, tetapi kalau koordinasi dan orkestrasinya itu kurang baik memang akan menjadi bumerang. Jadi memang harus dikoordinasikan dengan baik," ucap Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI itu.
Kemudian di saat anggaran negara yang terbatas dan ada risiko kegagalan program yang dijalankan oleh kementerian, Athor justru menilai bahwa mencoba hal baru merupakan salah satu titik tolak dalam kesuksesan.
"Pada saat tertentu memang perlu membuat sesuatu yang baru. Kalau dilihat dari sisi anggaran memang membutuhkan banyak anggaran, tapi kalau misalkan dengan pola kementerian seperti ini bisa mendatangkan revenue (pendapatan) yang lebih lagi dibandingkan biasanya mengapa tidak?" kata Athor.
"Sebagai kepala negara, Prabowo berani mengambil langkah ini dan keberanian inilah patut diapresiasi," ungkapnya.
Athor kemudian mengambil contoh Kementerian Transmigrasi yang baru saja terbentuk. Menurutnya, hal itu bagus untuk mengurai penduduk dan memeratakan ekonomi di setiap daerah agar tidak terjadi penumpukan di satu wilayah saja, khususnya di Jawa.
"Kita tahu kalau tingkat kepadatan penduduk itu tinggi di suatu daerah maka nanti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) itu akan menyumbang revenue yang besar juga seperti jawa yang memiliki penduduk 60 persen maka PDRB-nya juga 60 persen," jelasnya
Jadi sebaiknya, kata Athor, memang perlu diupayakan pergerakan penduduk yang keluar dari kepadatan tanpa dipaksa, tetapi ada pemicunya. Misalnya, pendidikan tinggi.
"Misalnya kita membuat perguruan tinggi khusus kelautan di Ambon, maka orang yang berminat akan pergi ke Ambon untuk belajar di sana dan itu akan membuat pergeseran ekonomi dalam jangka panjang," pungkas Athor.