Prof Oman Ungkap Manuskrip tentang Banjir sebagai Pengingat
Ahad, 9 Oktober 2022 | 18:00 WIB
Ilustrasi: Banjir di Banyumas, Jawa Tengah terjadi karena meluapnya air sungai pada pertengahan 2022. (Foto: Dok LAZISNU)
Jakarta, NU Online
Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Oman Fathurahman mengatakan jika merujuk pada manuskrip berkaitan dengan banjir, banjir yang diakibatkan oleh hujan atau yang lainnya itu sudah berkali-kali terjadi.
Menyebut banjir di Betawi, seperti berdasarkan hasil penelitian Restu Gunawan ada kegagalan sistem kanal pengendalian banjir Jakarta dari masa ke masa.
"Ini kan abad ke-19, kalau diceritakan di sini 1892. Bisa bayangkan abad ke-19, sekarang abad ke-21, ya hampir 200 tahun. Apalagai kalau nariknya lebih ke belakang lagi ternyata memang sudah sering terjadi," kata Prof Oman saat Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) dengan tema Ngobrol Banjir dan Manuskrip, Jumat (7/10/2022).
Baca Juga
Banjir Jakarta dan Pokok Permasalahannya
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam buku tersebut dijelaskan bahwa yang menjadi penyebabnya adalah gagalnya sistem kanal dan juga mitigasi banjir yang tidak sesuai.
"Lalu kalau begitu pertanyaannya, apa artinya memori kolektif kita tentang hujan, tentang banjir, dan apa artinya manuskrip-manuskrip yang sudah menceritakan tentang itu? Artinya untuk kesejahteraan, kemaslahatan peradaban kita di masa sekarang, dan di masa yang akan datang?" ujarnya.
Prof Oman mengungkapkan berdasarkan manuskrip tentang hujan, banjir, kilat, badai, dan sejenisnya yang ia telusuri. sudah terjadi sejak 200 atau 300 tahun di Nusantara itu sudah tertulis. Manuskrip tersebut jika dicermati berfungsi untuk mengingatkan.
Baca Juga
Wabah dalam Manuskrip Melayu
"Misalnya untuk Aceh, ini salah satu halaman manuskrip memori kolektif banjir di Aceh dalam Bahasa Aceh, jadi ini manuskripnya ditulis dengan Aksara Jawi. Bahwa ada pesan-pesan di situ, ada air hujan yang mengakibatkan banjir, kemudian daerah tertentu juga disebut sebagai tempat yang rawan banjir," jelasnya.
Kemudian manuskrip memori kolektif lainnya tentang banjir ada dari Minangkabau yaitu Naskah Syair Taloe Tarendam 1890. Naskah tersebut tidak tersimpan di Minangkabau tetapi di Perpustakaan Universitas Laiden Belanda.
"Bisa dibayangkan dari bait-bait, itu airnya sampai atap rumah. Ini bisa dibayangkan bangunan tempat menyimpan beras milik kompeni itu hanya terlihat separuhnya saja. Itu sudah sering sebenarnya, kita juga melihatnya sekarang, tetapi setelah ratusan tahun kok melihat hal yang sama gitu," paparnya.
Prof Oman Fathurahman juga mencoba melacak apakah pernah ada penjelasan tentang banjir dalam tradisi Islam. Menurutnya memang banyak kalau melacak sampai tradisi Nabi. Ia mengatakan ada satu manuskrip yang menarik yaitu kitab berjudul Al-Yaqin, dalam kitab tersebut ada bagian tentang Al-Mathor.
"Nah ini manuskrip setelah kita lihat pengarangnya. Saya ini coba mencari dari beberapa sumber. Itu Abdullah Bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan bin Qois Abu Bakar Alquraisy Al-Amawy Maulahum Al-Bagdadi Al-Hambali Al-Masyhur biibni Abi Dunya, yang dilahirkan 208 hijriyah, awal abad ke 9 di masa Kholifah Abasiyah Al-Ma’mun," ujarnya.
Dalam manuskrip tersebut ada satu bagian tentang hujan, tentang guntur, tentang kilat, dan tentang angin. Misalnya kumpulan hadits-hadits Rasulullah saw tentang bagaimana ketika kita menghadapi hujan.
"Hujan, kilat, dan petir telah ada sejak dahulu kala. Semua ciptaan Tuhan, yang niscaya membawa kemanfaatan. Bumi kering tanpa hujan. Keduanya saling membutuhkan," ujarnya.
Nabi, kata Prof Oman, mengumpamakan ibarat suami istri pasangan. Kebanyakan hujan memberi berkah, ada sebagian yang memyebabkan musibah manakala air berubah manjadi air bah.
"Leluhur kita sudah menuliskan dan sekaligus mengingatkan Nusantara ibarat rumah bagi sang hujan. Bukan tamu yang sesekali mampir, ia empunya yang senantiasa datang. Saat hujan merendam, empati dan doa kita untuk para korban. Mari kita upayakan dan ikhtiarkan, seraya berdoa seperti Nabi ajarkan," pungkasnya.
Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Kendi Setiawan