Psikolog keluarga, Nurmey Nurulchaq mengatakan seringkali klitih dikaitkan dengan sifat-sifat anak remaja yang tengah memasuki usia rentan atau kerap disebut fase storm dan stres. (Foto: istimewa)
Jakarta, NU Online
Aksi kejahatan jalanan yang dikenal dengan sebutan klitih kembali terjadi di Yogyakarta pada awal Ramadhan, Ahad (3/4/2022). Kali ini klitih memakan korban jiwa seorang pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebelumnya, Jogja Police Watch (JPW) mencatat ada 12 kali aksi klitih sepanjang 2022 di DIY dengan korban terluka dan meninggal.
Psikolog keluarga, Nurmey Nurulchaq mengatakan bahwa perilaku klitih erat kaitannya dengan perkembangan remaja. Menurutnya, seringkali klitih dikaitkan dengan sifat-sifat anak remaja yang tengah memasuki usia rentan atau kerap disebut fase storm dan stres.
"Mereka ini cenderung belum bisa mengendalikan emosi yang baik sehingga mudah tersulut, terprovokasi dan mudah sekali bereaksi atas kejadian yang terjadi padanya," ungkap Ning Rully, sapaan akrabnya kepada NU Online, Ahad (17/4/2022).
Selain hal tersebut, ada beberapa faktor penyebab terjadinya aksi klitih dari sisi psikologis. Pertama, menunjukkan esksistensi diri. Masa remaja adalah masa di mana mereka berlomba-lomba atau berusaha menunjukkan eksistensi diri.
"Kalau mereka tidak ada yang mengarahkan baik dari keluarga atau teman sebayanya kepada hal-hal yang positif, misal di bidang seni dan olahraga maka mereka mudah cenderung terjerumus pada hal-hal negatif termasuk klitih," kata Pengurus LKK PBNU bidang Peningkatan Kualitas Keluarga.
Kedua, minim perhatian keluarga. Beberapa penelitian mengatakan bahwa komunikasi yang buruk dengan orang tua dapat menjadi salah satu penyebab perilaku klitih. Minimnya perhatian orangtua juga berkaitan dengan rendahnya perhatian orangtua kepada anak dalam memantau aktivitas atau kegiatan anak. Bahkan, salah satu penelitian mengatakan komunikasi yang buruk disebabkan kurangnya kedekatan emosional remaja dengan orang tua.
Baca Juga
Agar Terorisme Tidak Mengancam Remaja
Ketiga, kecerdasan emosional yang rendah. Dijelaskan, usia remaja adalah periode di mana kecerdasan emosi (EQ) belum terbentuk secara matang atau masih rendah. Remaja belum bisa memahami dirinya sendiri maupun sekitarnya, namun di sisi lain rasa ingin tahu mereka cukup tinggi.
"Di fase remaja ini dorongan untuk mencoba hal baru cukup tinggi. Secara kompetitif persaingan antar kelompok atau komunitasnya menjadi pemicu seorang remaja bisa memiliki perilaku klitih," tutur Dosen Sekolah Tinggi Psikologi (STIPSI) Yogyakarta tersebut.
Keempat, rendahnya motivasi belajar. Hasil penelitian menujukkan perilaku menyimpang termasuk klitih yang dialami remaja sebab motivasi belajar yang rendah. "Remaja ini mudah konflik dengan guru maupun teman. Secara akademik mereka merasa tidak memiliki kemampuan yang sama seperti murid lain sehingga penghargaan atas diri mereka itu pun juga cenderung rendah," imbuh Pengurus LKK PWNU Yogyakarta itu.
Solusi cegah perilaku klitih pada remaja
Ning Rully menjelaskan untuk mencegah aksi klitih yang dilakukan oleh para remaja perlu tindakan preventif terlebih dahulu. Pertama, keluarga harus menjadi salah satu tempat aman dan nyaman untuk anak.
Dalam konsep keluarga maslahah NU, ungkapnya, setiap anggota keluarga berhak mendapatkan kesempatan untuk bisa mengaktualisasikan potensi secara positif baik untuk dirinya, keluarga maupun lingkungan. "Keluarga menjadi benteng pertahana yang kuat dari gempuran hal-hal negatif dari luar," ujar lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) itu.
Kedua, regulasi dari pemerintah bisa membantu mengondisikan keamanan di luar. Namun demikian, jika bicara dari lingkungan terkecil maka keluarga dan sekolah menjadi stakeholder utama menangani remaja dari perilaku klitih.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Kendi Setiawan