Jakarta, NU Online
Psikolog Bianglala Andriadewi mengungkapkan bahwa media sosial bisa menjadi pemicu meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan remaja. Menurutnya, platform digital dapat memperparah risiko depresi dan rasa tidak berharga.
"Sebetulnya media sosial itu dapat memperbesar faktor risiko kayak cyber bullying, perbandingan sosial, gangguan tidur yang pada akhirnya bisa meningkatkan risiko orang berpikir bahwa ‘aku tidak berguna, orang lebih baik daripada aku, aku tidak berharga’ sampai akhirnya mereka mengakhiri hidup,” ujarnya kepada NU Online, Jumat (7/11/2025).
Ia juga menyampaikan bahwa mudahnya akses media sosial membuat anak ketika terpuruk dapat melakukan hal yang tidak semestinya secara instan.
"Sekarang sudah banyak platform seperti Google, TikTok, Twitter, bahkan ChatGPT yang ketika seseorang mengetik kata bunuh diri, mereka otomatis muncul memberikan langkah-langkahnya,” katanya.
Bianglala menyampaikan bahwa remaja yang hendak bunuh diri, diibaratkan seperti berjalan di terowongan yang panjang dan gelap.
"Seperti berjalan di terowongan yang gelap dan nggak tahu kapan ada ujungnya. Kalau mereka bisa memilih, tentu mereka ingin masalahnya selesai, bukan hidupnya yang berakhir. Tapi karena saking panjang dan gelapnya terowongan itu, mereka merasa satu-satunya cara mengakhiri rasa sakit adalah dengan mengakhiri hidup,” ujarnya.
Ia juga menyoroti fenomena remaja yang enggan terbuka kepada orang terdekat. Salah satu penyebabnya, menurut Bianglala, adalah karena orang dewasa sering kali tidak memahami dunia remaja.
"Orang dewasa itu merespons cerita remaja berdasarkan pikiran mereka sebagai orang dewasa. Padahal remaja itu cuma pengen didengerin, dipahami, dibantu masalahnya. Tapi sering malah dihakimi,” katanya.
Bianglala mencontohkan, banyak orang tua yang merespons keluhan anak dengan nasihat singkat tanpa empati.
"Misalnya ada omongan, udahlah aku pengen mati saja, pasti dibilang istighfar atau nyebut apa kek, Bukannya ditanyain apa yang bikin kamu berpikir seperti itu, tapi langsung dipatahkan,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya peran keluarga sebagai fondasi pencegahan bunuh diri remaja. "Keluarga seharusnya jadi tempat pertama kali care. Kalau anak yang biasanya ceria dan suka makan bareng tiba-tiba berubah, orang tua harus peka. Tapi sekarang sering kali malah diabaikan. Kadang keluarga nggak paham tanda bahaya, malah marah atau defensif," ujarnya.