Reformasi Polri Harus Kembalikan Polisi Jadi Alat Negara, Bukan Alat Kekuasaan
Kamis, 13 November 2025 | 20:30 WIB
Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. Polisi sedang mengamankan jalannya sebuah demonstrasi di Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Serangkaian kasus kekerasan aparat, penyalahgunaan wewenang, dan krisis kepercayaan publik membuat agenda reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali menjadi sorotan nasional.
Setelah dua dekade berjalan tanpa hasil signifikan, pemerintah telah resmi membentuk Komite Percepatan Reformasi Kepolisian sebagai upaya baru memperbaiki institusi penegak hukum itu dari dalam.
Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo menegaskan bahwa reformasi sejati harus mengembalikan Polri ke jati dirinya sebagai alat negara yang netral dan profesional, bukan alat kekuasaan.
“Polri harus (kembali) menjadi alat negara, bukan alat kekuasaan. Jangan sampai digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu,” ujar Rudianto dalam Forum Dialektika Demokrasi bertema Reformasi Polri Harapan Menuju Institusi Penegakan Hukum yang Profesional dan Humanis di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Rudianto menilai pembentukan komisi ini menjadi momentum penting untuk menata kembali sistem kelembagaan dan kewenangan Polri secara menyeluruh. Ia menegaskan, reformasi tidak boleh berhenti pada kosmetika birokrasi atau simbol politik semata.
“Yang kita harapkan, reformasi ini menghasilkan Polri yang kuat sebagai institusi publik, profesional dalam penegakan hukum, dan dipercaya rakyat,” tegasnya.
Menurutnya, Komite Percepatan Reformasi Kepolisian harus bekerja secara terbuka, melibatkan masyarakat sipil, dan menyusun peta jalan yang konkret agar reformasi tak lagi menjadi jargon.
Kembali kepada amanat konstitusi
Rudianto juga menegaskan bahwa kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan sudah diatur secara tegas dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan Tap MPR Nomor VII Tahun 2000, yakni berada langsung di bawah Presiden. Ia menolak wacana yang beredar untuk menempatkan Polri di bawah kementerian.
“Konstitusi sudah jelas, Polri berada di bawah Presiden. Jangan lagi ada wacana menempatkan Polri di bawah kementerian. Itu justru mundur dari semangat reformasi,” ujarnya.
Menurutnya, menjaga posisi konstitusional Polri merupakan bagian dari memastikan netralitas lembaga ini di tengah tarik-menarik kepentingan politik.
Rudianto mengingatkan, berbagai peristiwa hukum belakangan menunjukkan reformasi Polri terdahulu belum menyentuh akar masalah.
Ia menyoroti masih banyaknya pengaduan masyarakat terkait lambannya penegakan hukum dan dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh oknum aparat di lapangan.
“Kewenangan besar Polri harus diimbangi dengan tanggung jawab dan akuntabilitas. Reformasi hukum acara harus menjadi panduan agar tidak ada lagi praktik penyalahgunaan kewenangan atau ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Kegagalan reformasi, menurutnya, berakar pada lemahnya sistem pengawasan internal dan absennya visi jangka panjang dalam membangun budaya kepolisian yang melayani.
Bagi Rudianto, penguatan institusi Polri bukan sekadar urusan struktur, melainkan bagian penting dari penguatan negara hukum dalam sistem demokrasi.
Seluruh elemen bangsa juga perlu mengawal reformasi ini agar Polri menjadi lembaga yang profesional, modern, dan humanis.
“Polri harus berdiri tegak di atas semua kepentingan rakyat, bukan menjadi alat kekuasaan. Inilah makna sejati Polri sebagai alat negara di bawah Kepala Negara,” pungkasnya.