Revisi UU Sistem Perbukuan Didorong untuk Memperkuat Ekosistem Literasi Nasional
Senin, 13 Oktober 2025 | 11:05 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
Langkah ini dinilai penting untuk memperkuat ekosistem literasi nasional dan menghapus berbagai kesenjangan dalam industri perbukuan.
Baca Juga
Merespon Penundaan RUU Sistem Perbukuan
“Ini sebenarnya barang lama, saya sudah menjadikan ini niatan dari awal, cuman waktu di Baleg periode kemarin enggak sempat, karena fokus pada RUU PPRT, RUU Masyarakat Hukum Adat dan RUU Pendidikan Kedokteran. Barulah periode 2024–2029 ini karena sudah tidak di Baleg, sekarang di Komisi XIII, ini saya seriusin,” kata Willy dalam keterangan tertulis yang diterima NU Online, Senin (13/10/2025).
Menurutnya, salah satu persoalan utama dalam UU Sistem Perbukuan saat ini adalah adanya pemisahan yang kaku antara buku pelajaran sekolah dan buku umum. Skema tersebut mengakibatkan kebijakan subsidi lebih berpihak pada buku pelajaran, sementara buku umum kerap terabaikan.
Baca Juga
Menjadikan Buku sebagai Suluh
“Hal paling fundamental adalah di dalam UU 3/2017 itu mendikotomikan antara buku diktat sekolah sama buku umum, sehingga alokasi subsidi fokus itu hanya pada diktat sekolah. Nah, buku yang umum tidak dapatkan perhatian yang selayaknya. Konteks inilah kemudian bahwa semua buku itu adalah materi pembelajaran, semua buku itu adalah sumber ilmu pengetahuan,” jelas Willy.
Politikus Partai NasDem itu juga menilai ekosistem perbukuan nasional masih menghadapi berbagai hambatan, seperti ketimpangan royalti bagi penulis, biaya distribusi yang tinggi, dan tekanan pajak yang berat.
“Penulis itu paling top Pramoedya itu paling dapat cuma 15 persen tapi yang lain-lain ya 7 persen rata-rata. Bisa bandingin dengan penulis di Barat, pengarang Harry Potter JK Rowling itu kaya naudzubillah. Di kita, habis itu hanya untuk distribusi, 50–60 persen habis untuk distribusi,” ujar Willy.
Ia menambahkan bahwa sektor perbukuan juga dibebani berbagai pajak yang memberatkan, mulai dari PPN 11 persen untuk buku, pajak impor, hingga pajak kertas yang mencapai 22 persen.
“Yang paling gila dari proses ini adalah pajak kertas. Kertas-kertas itu dipajakin 22 persen,” tambahnya.
Willy menjelaskan, revisi UU Sistem Perbukuan akan difokuskan pada lima aspek utama yaitu skema subsidi, kebijakan afirmatif, pengaturan harga kertas, peningkatan royalti bagi penulis, serta efisiensi sistem distribusi.
Ia menilai, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam dunia literasi yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan dan inspirasi untuk memperkuat kebijakan di bidang ini.
“Kalau kita belajar dari sejarah kita, kita enggak jelek-jelek amat juga. Ini bangsa hebat. Sumatra Tengah di awal abad 20 itu sudah menjadi pengekspor buku. Kota Padang Panjang yang kecil itu aja ada 8 penerbit. Buya Hamka kawin itu dari honor menulis,” tutur Willy.
Ia optimistis revisi ini akan mendapat dukungan dari pemerintah, terutama Presiden Prabowo Subianto, yang disebutnya memiliki komitmen terhadap literasi nasional.
“Kalau saya yakin, karena Pak Prabowo itu orang yang komit terhadap literasi. Kenapa, ini amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ini instrumennya. Kalau enggak, masa kita mengalami declining IQ secara serius, apalagi sekarang hoaks luar biasa,” pungkasnya.
Rancangan perubahan UU Sistem Perbukuan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026. Willy menargetkan, sebelum tahun 2025 berakhir, RUU tersebut dapat ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR.