Pustaka

Angan Dipupuk Ingin, Ikhtiar Perempuan Gapai Pendidikan Tinggi di Luar Negeri

Rabu, 19 Februari 2025 | 09:30 WIB

Angan Dipupuk Ingin, Ikhtiar Perempuan Gapai Pendidikan Tinggi di Luar Negeri

Jilid muka buku Sekolahlah Tinggi-Tinggi: Perjalanan Perempuan Mengejar Cita ke Empat Benua (Foto: NU Online/M. Syakir NF)

Banyak jalan menuju Roma. Barangkali itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan keragaman para penulis buku Sekolahlah Tinggi-Tinggi: Perjalanan Perempuan Mengejar Cita ke Empat Benua dalam menggapai cita-cita mereka untuk bersekolah tinggi-tinggi di luar negeri. Betapa beraneka macam langkah dan tantangan yang mereka hadapi dalam mewujudkan harapannya itu.


Rasanya, sekolah tinggi hanyalah mimpi belaka bagi sebagian di antara kita, apalagi di luar negeri, bagi perempuan pula, yang masih kerap dianggap tidak perlu berpendidikan tinggi karena hanya akan mengurus rumah tangga. Bukan sekadar mimpi, tapi mimpi di siang bolong alias angan-angan saja.

 

Mulanya, hal serupa juga dirasakan mereka para penulis buku ini. Namun angan itu terus didorong dan dipupuk dengan ingin sehingga muncul ikhtiar dan upaya dalam mewujudkannya. Jika angan belaka, tentu tak ada langkah satu pun yang mereka gerakkan menuju ke arah sana. Namun, keinginan yang kuat itu memaksa mereka untuk mengambil langkah taktis, strategis, dan realistis demi mewujudkan cita agar tidak hanya menjadi angan saja.


Hal itu tak berarti mereka tak menghadapi 'halangan rintangan yang membentang', meminjam frasa di lagu Kera Sakti. Masing-masing memiliki tantangannya sendiri-sendiri, mulai dari kegagalan dalam sekian banyak pendaftaran, terpisah jarak dari keluarga, keterbatasan finansial, hingga problem saat menempuh pendidikannya.


Sudah barang tentu tantangan itu mereka hadapi dan bahkan melaluinya dengan segala daya upayanya. Sebab, mereka sedang menunaikan perintah Allah swt dan Nabi Muhammad saw, yakni belajar. Hal tersebut ditegaskan dalam sebuah hadits yang masyhur, thalabul ilmi faridlatun 'ala kulli muslimin. Ta’ pada akhir kata faridlatun merupakan bentuk penegasan, bahwa mencari ilmu betul-betul wajib bagi setiap individu seorang Muslim.


Dalam hal ini, saya teringat pesan kiai saya, bahwa kewajiban belajar datang dari Allah swt. Maka biarlah Dia yang memenuhi kewajiban-Nya untuk kita dapat menunaikan kewajiban itu. Ia meyakini sekaligus meyakinkan, bahwa orang belajar bakal menemukan jalannya sendiri dalam upaya menunaikannya. 


Langkah mula
Sejumlah penulis sudah menaruh cita-cita bersekolah tinggi hingga ke luar negeri sejak kecil mula. Lien Iffah Naf’atu Fina, misalnya, yang sudah mencatat nama lengkapnya dengan imbuhan Prof. Dr. di bagian depannya pada masa duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan menurut penuturan ibunya, ia sudah bercita-cita hendak keliling dunia meski ia sendiri tak ingat apa yang membuatnya demikian.


Mimpi itu terus bertumbuh dengan semakin terbuka cakrawala pandangannya, bahwa dunia itu amat luas. Sampai pada akhirnya, ia melabuhkan pendidikannya di Negeri Paman Sam, tepatnya di Hartford Seminary untuk masternya pada tahun 2013 dan The University of Chicago untuk program doktoralnya pada tahun 2019. Pendidikan di sana ia pilih setelah menamatkan studi sarjana dan master pertamanya di UIN Sunan Kalijaga dan Pesantren Darul Ulum Jombang, pendidikan yang ia pilih karena banyak alumninya yang keluar negeri. Mimpinya kian bertumbuh dengan mendengar dua sosok perempuan yang berkuliah di luar negeri, Mustaghfiroh (seniornya di kampus) yang kuliah di Florida International University dan Maghfiroh (istri rekannya di kampus) yang kuliah di Universitas Leiden, Belanda.


Senada dengan Lien, Lailatul Fitriyah telah menanam cita-cita serupa ke alam bawah sadarnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kelas 5 SD, demikian katanya, ia sudah menempel poster bergambar ikon kota-kota impian, macam Liberty di New York, Gedung Putih di Washington DC, Menara Eiffel di Paris, dan Menara Pisa di Roma. Mata yang terus bertatapan dengan gambar-gambar itu menggerakkannya untuk tekun belajar bahasa Inggris.


Berbeda dengan Lien dan Fitriyah, Nor Ismah baru menanam mimpinya seusai menamatkan program sarjananya beberapa tahun. Sebab, ia tidak ingin 'begini-begini saja'. Baginya, itulah 'Aha Momen' sampai kemudian membulatkan tekadnya melanjutkan studinya pada program master. Beberapa beasiswa ia daftar, tetapi yang berhasil ia tembus adalah International Leadership Program dari Ford Foundation untuk berkuliah di University of Hawaii at Manoa, Amerika Serikat. Pun ia juga melanjutkan studi doktoralnya di Leiden University, Belanda dengan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan.


Tantangan
Sebagaimana disebut di atas, ada beragam tantangan yang dihadapi para penulis dalam menunaikan tugas belajarnya. Khofidotur Rofiah, misalnya, yang dipandang miring oleh orang lain gegara melanjutkan studi di Polandia dengan meninggalkan dua putrinya. Dua hal yang dikomentari orang, yakni Polandia yang dipandang bukan negara tujuan studi dan tindakan meninggalkan anaknya yang masih balita. Namun, tekadnya bulat manakala ibunya meridainya sembari meyakinkannya, "Allah akan membantu jalan orang yang berniat menuntut ilmu." Keluarganya sangat mendukungnya untuk melangkah studi. 


Tentu problemnya tidak berhenti di situ. Naluri ibu tentu saja rindu terhadap anaknya. Keinginannya untuk membawa serta keluarganya ke Polandia juga terbentur keterbatasan biaya jaminan yang demikian tinggi. Karenanya, ia meyakinkan diri untuk fokus menuntaskan tugas belajarnya.


Stigma serupa juga dialami Nor Ismah kala memutuskan untuk studi di Amerika mengingat ia juga meninggalkan dua putrinya. Bahkan saat studi doktoral di Belanda, ia juga dalam kondisi mengandung putri ketiganya. Sebagaimana Rofiah, ia beruntung karena memiliki keluarga yang sangat mendukung keputusannya. 


Berbeda dengan Rofiah dan Ismah, Lailatul Fitriyah justru menghadapi tantangan dari lingkungan terdekatnya. Keterbatasan biaya membuat keluarganya meminta dirinya untuk menghentikan studinya. Namun alasannya bukan cuma karena itu, tetapi juga stigma terhadap dirinya sebagai perempuan. Ia menolak permintaan itu dan bertekad membiayai studinya secara mandiri. Hal itu ia jalani dengan menerjemahkan artikel, mengajar les bahasa Inggris untuk anak-anak orang kaya, hingga melatih debat di sekolah-sekolah elite.


Bekerja yang dijalani sembari kuliah sarjana juga dijalani Miftakhul Jannatin. Saat itu, ia bekerja paruh waktu sebagai petugas survei dan tutor les. Keinginan yang kuat untuk studi di luar negeri juga membuatnya tidak memedulikan omongan orang lain yang mendemotivasinya.


Dari pengalaman di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa setiap individu memiliki jalan dan masalahnya masing-masing. Tinggal bagaimana ikhtiar dan tawakkal kita dalam menelusuri jalan tersebut dan menghadapi masalah-masalahnya. Tidak ada satu orang pun yang mengetahui kita besok bakal bekerja apa, demikian Al-Qur’an surat Luqman ayat 34 mengingatkan. Karenanya, kita perlu berusaha semaksimal mungkin dengan jalan dan langkah yang diridai-Nya.


Syakir NF, Pelayan di Perpustakaan Cipujangga, Padabeunghar, Pasawahan, Kuningan, Jawa Barat


Identitas Buku

Judul: Sekolahlah Tinggi-Tinggi: Perjalanan Perempuan Mengejar Cita ke Empat Benua
Penulis: Yuyun Sri Wahyuni, dkk.
Tebal: xxii + 194 halaman
Terbit: 2025
Penerbit: Quanta, PT Elex Media Komputindo, Kompas-Gramedia
ISBN: 978-623-006812-6